https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Cerita Pahlawan Untuk Bumi dari Negeri di Bawah Angin

Rabu, 26 Oktober 2022

Burung besi ini merengek.

Tubuhnya tampak begitu lega setelah berhasil keluar dari awan dan memasuki fase descent. Aku bisa mendengar suaranya menderu semakin gaduh, seiring dengan pilot yang mengatur daya mesin pesawat dan melakukan pergerakan turun dengan kecepatan konstan.

Selalu sudut yang sama ketika pesawat semakin mendekati bandara saat approaching yakni tiga derajat.

Aku tersenyum, sudah cukup lama akhirnya aku kembali bisa melihat langit ibukota negeri ini. Langit yang keruh tapi tanpa kusadari ternyata cukup kurindukan.

Ya, tahun memang sudah berlalu. Tapi satu hal yang mungkin tak pernah berubah dari Jakarta, kondisi angkasa yang masih sama seperti saat aku mengingatnya, begitu kelabu di ketinggian.

Langit Jakarta seolah mengeluarkan gema protes yang serupa di siang hari ini. Keluhan atas karbon-karbon yang dikeluarkan oleh manusia bebal yang melintas di dalamnya.

Jakarta, memang bukan tempat yang tepat untuk bernapas.
kondisi polusi udara di Jakarta
kondisi polusi udara di Jakarta
Tak percaya?

Greenpeace melaporkan pada awal September 2022 lalu, bahwa sekitar 93% warga Jakarta Raya setiap harinya tanpa sadar menghirup udara berbahaya dengan konsentrasi polutan lima kali lebih besar daripada standar batas aman.

Jika PM (Particulate Matter) 2,5 yang direkomendasikan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sesuai batas aman adalah 5 mikrogram/meter3, maka warga Jakarta Raya memiliki konsentrasi rata-rata tahunan mencapai 25 mikrogram/meter3.

Udara-udara polutan yang dihirup oleh semua warga Jakarta termasuk kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, orang lanjut usia hingga penyandang disabilitas.

Tentu apa yang dilaporkan Greenpeace ini sesuai dengan data World Air Quality Index pada pertengahan April 2022 lalu. Di mana saat itu kualitas udara Jakarta ada di kategori tidak sehat karena tingkat polusinya di angka 174 dan menjadi 180 pada pertengahan Juli 2022. Tak heran kalau akhirnya lembaga data kualitas udara IQ Air, meletakkan Jakarta di posisi puncak dari 10 kota paling berpolusi di Tanah Air.

Berdasarkan fakta itu, Michael Greenstone selaku pencipta AQLI (Air Quality Life Index) dari EPIC (Energy Policy Institute at the University of Chicago) sampai menyebutkan kalau dampak polusi udara di Jakarta bisa enam kali lebih berbahaya dari penyakit AIDS.

Greenstone bahkan menegaskan kalau polusi udara di Jakarta sudah sebanding dengan aktivitas merokok dan tiga kali lebih berbahaya daripada mengonsumsi alkohol. Imabsnya, sekitar 10,3 juta jiwa penduduk Jakarta Raya kehilangan harapan hidup rata-rata hingga 2,4 tahun.

Udara Jakarta, sudah semakin tidak layak bagi manusia.

Namun, apakah hanya di Jakarta?

Jawabannya adalah tidak.

AQLI melaporkan kalau pada tahun 2020, seluruh provinsi di Indonesia memiliki tingkat polusi udara melebihi ambang batas WHO. Di mana Maluku adalah satu-satunya provinsi dengan tingkat polusi terendah, itupun sudah menyentuh 6,5 mikrogram/meter3.

Negeri ini, benar-benar akan terselimuti polusi.

Alarm Kiamat dari Perubahan Iklim

banjir bandang
Pria itu berhenti di pinggir jalan, melilhat layar ponsel untuk mengecek kembali alamat tempat barang akan dia kirim.

Matanya mengerjap sesekali, sedikit mengeluh di balik masker karena panasnya udara ibukota. Terdengar suara batuk teredam dari mulutnya, tak hanya sekali tapi sampai beberapa kali. Akan semakin memburuk ketika berada di tengah kemacetan jalanan Jakarta.

Ramdan namanya. Seorang kurir yang hanyalah satu dari jutaan orang pencari kehidupan di Jakarta yang setiap harinya berjibaku di jalanan tak hanya berjuang mencari penghasilan, tapi juga oksigen. Saat diwawancara Rakyat Merdeka, Ramdan tak bisa menutupi lagi suara batuk yang semakin keras dia alami, seolah-olah dirinya seorang perokok berat.

Ya, Ramdan hanyalah segelintir dari banyaknya warga ibukota yang menjadi korban ganasnya polusi udara.

Tentu bicara soal penyebab polusi udara, ada banyak hal yang menjadi pemicu. Mulai dari pembakaran bahan bakar fosil dari kendaraan bermotor sampai gas buang pabrik dan industri yang semuanya melepaskan zat-zat polusi alias polutan berbahaya ke atmosfer Bumi.
jejak polusi dari emisi karbon
Namun polusi udara bukan satu-satunya pencemaran di dunia ini yang memicu perubahan iklim.

Yang tak kalah mengancam makhluk hidup datang dari pencemaran air oleh sejumlah polutan beracun seperti pembuangan limbah padat ke badan air, pembuangan limbah industri, kotoran manusia serta hewan hingga limpasan pertanian yang mengandung pestisida.

Bisa membayangkan bagaimana jika polutan berbahaya itu mencapai sumber-sumber air manusia?

Mungkin apa yang terjadi di Kota Minamata, Prefektur Kumamoto, Jepang pada tahun 1958 bisa menjadi bukti yang paling mengerikan.

Aksi PT Chisso membuang lembah kimia ke Teluk Minamata sejak tahun 1932 itu langsung memberikan dampak dahsyat pada warga sekitar yang mengonsumsi ikan. Polutan merkuri (Hg) atau air raksa yang berbahaya dari industri baterai milik Chisso, menimbulkan wabah di mana ratusan orang meninggal dunia karena lumpuh saraf mulai tahun 1949.
Iwazo Funaba, salah satu korban tragedi limbah Minamata
Iwazo Funaba, salah satu korban tragedi limbah Minamata
Tanpa disadari oleh manusia, pencemaran udara dan air adalah dua hal utama yang menggiring Bumi ke jurang bencana.

Namun jika disuruh mencari biang kerok utama, berdasarkan laporan IPCC (Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim) pada April 2022, Bumi kini berada dalam jalur cepat ke bencana iklim karena polusi udara akibat emisi karbon yang disebabkan oleh efek GRK (Gas Rumah Kaca).

Seperti halnya rumah kaca yang merupakan bangunan dengan dinding dan atap terbuat dari kaca untuk menagkap panas sinar matahari saat siang, sehingga bisa terperangkap dalam bangunan yang membuat suhu saat alam tetap hangat, begitu pula efek GRK pada Bumi.

Di mana Bumi memang bertindak seperti bangunan rumah kaca raksasa yang menjebak panas sinar matahari di atmosfer. Tujuannya jelas agar suhu Bumi tetap hangat ketika malam hari. Gas-gas yang menjebak sinar matahari itu disebut sebagai GRK yaitu karbondioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4) dan freon (SF6, HFC dan PFC).

Tanpa adanya gas-gas rumah kaca itu, seorang ilmuan bernama Joseph Fourier menyebutkan kalau suhu permukaan Bumi bakal anjlok 15,6°C.

Hanya saja zat-zat GRK itu justru mulai jadi ancaman ketika peradaban manusia semakin bersemangat melakukan Revolusi Industri. Tepatnya di era tahun 1950an, emisi karbon terus meningkat seiring dengan kemajuan industri dan lambat laun membentuk selimut polusi di atmosfer.

Bisa bayangkan kalian yang terus-menerus menambah lembar demi lembar selimut saat malam hari hingga akhirnya jadi terlalu tebal? Tubuh akan terasa makin panas, bukan? Begitulah yang dialami Bumi.

Penebalan #SelimutPolusi karena konsentrasi karbon di udara membuat temperatur Bumi semakin tinggi alias pemanasan global (global warming). Tak butuh waktu lama, global warming memicu perubahan iklim (climate change).

Bak bola salju yang terus menggelinding, perubahan iklim di berbagai penjuru dunia menyebabkan kegagalan panen besar-besaran, mencairnya glaiser (bongkahan es) sehingga kadar air laut meningkat, menipisnya lapisan ozon pada atmosfer yang selama ini melindungi Bumi dari bahaya radiasi sinar ultraviolet (UV) matahari dan pada akhirnya meningkatkan risiko kepunahan spesies makhluk hidup karena berbagai bencana alam akibat cuaca ekstrem.

Ya, manusia sendiri yang menggiring Bumi ke akhir zaman.

Memang kita inilah yang dengan sukarela melangkah ke kiamat.

Tabungan Masa Depan dari Belantara Indonesia

hutan hujan tropis Leuser
hutan hujan tropis Leuser
Dengan berbagai skenario mengerikan soal perubahan iklim, memangkas emisi karbon adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh manusia. Karena bagaimanapun juga, selimut polusi membuat bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim.

Beruntung sebagai orang Indonesia, upaya mengurangi emisi karbon mendapat bantuan yang luar biasa dari belantara.

Ya, hutan yang ada di seluruh penjuru Tanah Air adalah salah satu solusi untuk mengatasi polusi dan menghentikan laju roda perubahan iklim. Hal ini sesuai dengan laporan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) mengenai hutan yang mampu menyerap sekitar 25% emisi karbon. Dengan luas area hutan Indonesia menurut FAO pada tahun 2020 sebesar 92 juta hektar, selimut polusi tentu bisa dihajar dengan udah.

Nusantara adalah salah satu paru-paru dunia yang sangat dibutuhkan miliaran orang di Bumi.

Dan dari banyaknya spesies pohon yang ada di belantara Indonesia, trembesi bisa dibilang sebagai salah satu primadona yang disebut-sebut sebagai sang juara dalam hal menyerap karbondioksida. Berdasarkan penelitian Endes N Dahlan selaku dosen Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2007-2008, trembesi (Samanea Saman) mampu menyerap 28.488,39 kilogram CO2 selama setahun.
Pohon Trembesi berusia 400 tahun di Karibia Timur
Pohon Trembesi berusia 400 tahun di Karibia Timur
Kendati merupakan pohon yang berasal dari Amerika, trembesi rupanya tersebar luas di kawasan dengan iklim tropis hingga sub tropis. Sebagai pohon yang ‘tahan banting’, trembesi bahkan bisa bertahan di lahan yang tergenang air maupun cuara ekstrem seperti kekeringan selama maksimal empat bulan dengan suhu 20°C - 38°C.

Namun, tak hanya trembesi yang tersebar di hutan-hutan wilayah Jawa saja bisa menjadi penyelamat dunia dari perubahan iklim.

Jenis hutan lain yang menyimpan harapan makhluk hidup di Bumi adalah lahan gambut.

Setidaknya menurut Pantau Gambut, ada sekitar 13,34 juta hektar lahan gambut di Tanah air dengan simpanan karbon mencapai 57,4 gigaton.

Potensi ini juga diketahui oleh sejumlah peneliti dari Conservation International yang sempat merilis lokasi-lokasi penyerapan karbon tertinggi di Bumi dalam jangka waktu lama. Di mana lokasi-lokasi itu adalah permafrost (tanah beku) di Siberia, rawa-rawa di pantai barat laut Amerika, lembah Amazon, cekungan Kongo dan tentunya kawasan gambut dan mangrove di Kalimantan.

Sekali lagi menjadi bukti bahwa hutan Indonesia memang benar-benar sultan.

Jadi, Siapkah Kalian Menyelamatkan Bumi?

lahan gambut di Indonesia
lahan gambut di Indonesia
Dikaruniai hutan hujan tropis, kawasan gambut dan mangrove yang begitu melimpah, Indonesia memang tak dipungkiri memiliki peluang untuk menjadi pahlawan bagi bumi

Namun tentu saja keinginan itu tak akan bisa terwujud jika kita sebagai manusia tak ikut turun melakukan hal sederhana demi perubahan iklim.

Ya, tak perlu menghijaukan hutan ribuan hektar seorang diri, karena sejumlah hal sederhana ini sudah pasti mampu membuat bumi kembali tersenyum. Apa saja? Berikut beberapa di antaranya:
  • Bijak menggunakan energi listrik dengan mematikan lampu yang tak terpakai atau mencabut kabel charger ponsel yang tak terpakai
  • Mengurangi penggunaan air minum dalam botol kemasan dan sedotan plastik, demi memangkas sampah yang dapat mencemari lingkungan
  • Melakukan pengelolaan sampah dengan memisahkan yang organik serta non organik
  • Mengendallikan jejak karbon (footprint) dengan bijaksana menggunakan kendaraan bermotor. Jika perlu, lebih memilih memakai transportasi massal
Tentu saja sebagai #MudaMudiBumi, sejumlah aksi kecil yang kusebutkan di atas sangat sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh #TeamUpForImpact.

Namun jika aku memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dan bisa membuat kebijakan #UntukmuBumiku, rasa-rasanya aku ingin mengusulkan agar setiap bayi yang baru lahir dan setiap jiwa yang meninggal dunia, wajib menanam bibit pohon trembesi lewat perantara para walinya.

Bukan hanya itu saja, penanaman bibit pohon trembesi juga menjadi wajib ketika setiap dari kita resmi masuk jenjang TK, jenjang SD, jenjang SMP, jenjang SMA dan bangku kuliah. Sehingga dalam satu kehidupan yang kita jalani sebagai masyarakat Indonesia, kita setidaknya akan menyumbangkan tujuh bibit pohon trembesi.

Dengan harga bibit pohon trembesi yang berkisar puluhan ribu rupiah dan bisa tumbuh hingga 1,5 meter dalam waktu satu tahun saja, bisa dibayangkan ada banyak area hutan di negeri ini yang akan selalu menghijau kembali dengan trembesi.
infografis hutan
© Arini Maulidia
Jelas dibutuhkan otoritas dan pengawasan pemerintah dalam hal pengelolaan dana masyarakat untuk pembelian sekaligus penanaman bibit pohon trembesi kelak.

Meskipun terdengar seperti impian yang terlalu muluk-muluk, kebijakan itu jelas akan membuat kita masyarakat Indonesia sebagai sebaik-baiknya manusia yang hidup di Bumi.

Aah, aku jadi ingat dengan Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu yang menyebutkan bentang alam Sumatera hingga Maluku sebagai Tanah di Bawah Angin. Disebut demikian karena Indonesia memang merupakan daerah tempat bertemunya angin-angin tropis, sehingga Nusantara adalah gerbang negeri di bawah angin yang begitu strategis dan jadi primadona perdagangan kuno, Jalur Rempah.

Tentu sangat menyenangkan bisa menjadi penyelamat Bumi sebagai manusia dari negeri di bawah angin.

Jadi, apakah kalian mau ikut melakukan hal sederhana bersamaku?

Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life