© Chelsea Lauren/Variety/Shutterstock |
When she was just a girl, she expected the world. But it flew away from her reach, so she ran away in her sleep. In the night, the stormy night, away she’d fly ~ Paradise (Coldplay)
Xylobands itu
mengeluarkan pendar berwarna putih, lalu berubah dalam berbagai kilau warna
pelangi seolah tunduk pada sang dirigen yang berada di tengah panggung.
Perlahan histeria mulai terdengar, saat jemari tangan frontman kebanggaan mereka itu berlarian di atas tuts-tuts piano.
Namun gemuruh
langsung pecah, berkali-kali desibel meningkatnya saat Johnny Buckland
memetikkan gitar listriknya. Tak perlu aba-aba lagi, puluhan ribu penonton yang
memenuhi seluruh jengkal udara Bercy Arena (Accor Arena sekarang) itu tahu apa
lagu yang akan dilantunkan oleh Chris Martin setelah ini.
Paradise.
Bak mantra
yang wajib dirapal oleh para pengikutnya, Chris jelas bukanlah memenuhi
tugasnya sebagai vokalis. Dia adalah sang misionaris yang seluruh lantunan
liriknya disambut dan diikuti begitu antusias. Menandakan betapa besar kekuatan
yang dimiliki band asal London, Inggris itu dalam memberikan pengaruh. Bahkan
termasuk aku yang cuma bisa menikmatinya dari layar-layar gawai dengan resolusi
total 1080p itu.
Ya, salah satu
tampilan live Coldplay dalam
rangkaian Mylo Xyloto Tour itu memang tak pernah gagal membius dan menjadi
salah satu yang terfavorit sejak aku mendengarkan Paradise hampir satu dekade lalu itu, saat usia-usia sekolah.
Sejak kutonton
di kanal YouTube resmi Coldplay, video konser mereka di Paris pada 14 Desember
2011 itu selalu membuncahkan harapan, ‘Kapan
ya kira-kira bisa nonton konser Coldplay secara langsung?’
Lalu impian
itu kemudian menguap begitu saja saat aku sadar, aku tinggal di Indonesia.
Cerita dari Belahan Bumi Utara
kapal pesiar AIDAnova via Cruise Industry News |
“Makin ke sini
itu cuaca Eropa makin nggak normal. Udah aku rasain sejak sekitar tahun 2017.
Peralihan musim jadi mundur, kayak di Jerman itu pernah dingin doang dan nggak
ada salju. Bahkan di 2021 ini, summer
kayak cuma bulan Juni-Juli aja, matahari hampir nggak ada, cuaca berangin,”
Aku diam
mendengarkan ocehan temanku. Deni Cahyadi namanya. Hampir lima tahun terakhir
ini, dia bekerja di AIDA Cruises. Kami bertemu dalam satu rombongan belajar
Kelas Inspirasi 2017 lalu di Malang, dan aku langsung merasakan kedengkian luar
biasa mengetahui betapa seru pekerjaannya, mengelilingi samudera belahan bumi
utara dan singgah di negara-negara Eropa yang entah kapan bisa kudatangi.
“Siapa bilang
jalanan Eropa itu selalu bersih? Sama aja kok. Di sini juga ada bau-bau pesing
gitu, sama kayak di Indonesia,” kelakarnya waktu kami berbincang lewat video call WhatsApp beberapa hari lalu.
Aku melihatnya begitu ceria di bawah sinar matahari siang Santa Cruz de
Tenerife di Kepulauan Canary, Spanyol sana, sedangkan aku menahan dingin malam
kota Malang.
Sebagai
pekerja kapal pesiar, Deni memang bisa mendatangi negara-negara Skandinavia
yang sudah sejak lama dianggap sebagai kota-kota yang layak huni. Islandia,
Finlandia, Swedia dan Denmark adalah beberapa negara Eropa utara yang pernah
dipijaknya, saat kapal pesiarnya merapat.
Namun kali ini
perbincangan kami bukan mengenai pongahnya atas bentang alam Norwegia,
sungai-sungai super jernih di Islandia atau mungkin kebiasaannya meminum
secangkir kopi sambil menatap senja samudera Atlantik. Kali ini aku penasaran
dengan kondisi climate change di
Eropa sana.
Pada bulan
Januari 2020 lalu, dilaporkan bahwa wilayah barat Norwegia mengalami gelombang
panas dengan suhu mencapai 19°C. Sebagai masyarakat negara tropis, aku bertanya
pada Deni apakah memang orang-orang Norwegia terbiasa dengan suhu di bawah
titik beku sampai-sampai temperatur kota Malang saat dini hari yang menusuk itu
dianggap terpanas?
gletser mencair di Norwegia, ungkap peninggalan Viking © Adventure |
Deni
mengangguk. Meskipun orang-orang Norwegia merasakan kehangatan, tetap saja ini
merupakan alarm dari alam bahwa perubahan iklim sebagai dampak global warming (pemanasan global) memang
terjadi dan nyata adanya.
Menguatkan
penuturannya, Yvonne Wold selaku Walikota Rauma, Norwegia kepada BBC
menyebutkan kalau pencatatan suhu 19°C itu adalah rekor baru untuk cuaca hangat
di sana. Karena di bulan Januari 2020 itu, orang-orang yang seharusnya bermain
ski malah mengenakan kaos bahkan berenang di laut.
Deni juga
menyinggung soal beberapa wilayah di Eropa yang turut mengalami perubahan cuaca
ekstrim. Termasuk dengan bagaimana banjir katastropik terjadi di Jerman pada
pertengahan Juli 2021 lalu. Terparah dalam 50 tahun terakhir, banjir yang
melanda sebagian besar negara bagian Rhineland Palatinate dan North
Rhine-Westphalia itu disebut menewaskan sedikitnya 133 korban jiwa, seperti
dilansir Tempo.
banjir bandang di Rhineland Palatinate © CNN |
“Bahkan
sekarang kalau kapal lagi lewat samudera atlantik, lapisan-lapisan es itu
banyak yang lenyap. Beda dengan beberapa tahun lalu waktu awal kerja. Sengeri
itu emang perubahan iklim,” tegas Deni.
Ucapannya mengingatkanku
pada kabar menggetarkan bahwa bongkahan es raksasa di perairan Antartika yakni
A68a tengah sekarat dan pecah kembali pada awal 2020 lalu. Sebagai bongkahan es
terbesar di dunia yang pernah setara luasnya dengan pulau Bali, membelahnya
A68a ini jelas disebabkan Bumi yang makin hangat karena global warming.
Lagi-lagi, perubahan
iklim ini memang nyata dan bukan dongeng masa lampau.
Kentut Sapi yang Lebih Berbahaya dari Karbondioksida
‘Apa sih Rai yang memicu pemanasan global
sampai-sampai iklim ini berubah?’
Jejak karbon
alias carbon footprint.
‘Emang jejak karbon itu apaan sih?’
Jejak karbon
adalah jumlah gas buangan alias emisi yang dilakukan oleh manusia dan binatang.
Ya, secara ilmiah aku dan kalian ini tidak bisa tidak mengeluarkan emisi.
Bahkan waktu kita bernapas saja, sudah ada CO2 alias karbon dioksida
yang dikeluarkan. Dengan fakta ada 7,8 miliar manusia di Bumi ini, bisa kamu
bayangkan berapa besar CO2 yang keluar ke udara dalam satu menit
saja?
Namun masalah
utamanya bukanlah di situ, karena CO2 bukan satu-satunya emisi yang ada
di udara, meskipun memang memiliki porsi terbesar. Ada zat-zat lain yang dianggap jauh lebih beracun yakni nitrogen
dioksida (N2O), metana (CH4) , nitrous oksida (N2O),
hydroperfluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (CFCs) dan sulfur heksaflorida (SF6).
Nah, gas-gas berbahaya ini rupanya bisa menangkap panas matahari di atmosfer yang
akhirnya menimbulkan fenomena efek rumah kaca.
© has-environmental |
Disebut
demikian karena gas-gas itu memang bekerja selayaknya rumah kaca yang mampu
‘menangkap’ panas hari pada siang hari sehingga ketika malam, suhu di dalam
rumah kaca itu tetap hangat. Dalam konteks atmosfer bumi, efek rumah kaca ini
sebetulnya berfungsi untuk menjaga suhu bumi supaya temperatur siang dan malam
tak berbeda jauh. Tapi karena jumlah emisi makin tinggi, akhirnya sinar
matahari yang terperangkap di dalam atmosfer memicu global warming.
Imbasnya,
es-es di kutub mencair.
Ekosistem dan
keanekaragaman hayati hancur.
Naiknya suhu
permukaan laut.
Perubahan
iklim ekstrim dan akhirnya memicu bencana.
Di Indonesia
sendiri, Berton Panjaitan selaku Kepala Sub Direktorat Pencegahan dan
Kesiapsiagaan BNPB kepada Liputan6 menyebutkan kalau tujuh dari sepuluh bencana
dalam kajian BNPB terkait perubahan iklim. Bencana-bencana itu adalah banjir
bandang, longsor, kekeringan, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem, abrasi,
kebakaran lahan dan hutan (karhutla).
‘Waduh, ngeri amat! Terus kita harus gimana dong, Rai’
Kurangi jejak
karbon.
‘Maksudnya berhenti bernapas, gitu?’
Hmm. Bagaimana
kalau kalian kuajak untuk mulai membatasi kentut sapi?
‘...’
Aku tidak
bercanda. Ini adalah sesuatu yang sudah seharusnya kalian tahu.
Kalau selama
ini kalian mengira CO2 yang dikeluarkan manusia adalah satu-satunya biang kerok
emisi dan menyebabkan pemanasan global, maka itu salah besar. Ada gas metana
yang dianggap jauh lebih mengerikan karena metana adalah gas yang 23 kali lebih
berbahaya daripada CO2. Metana adalah zat yang lebih baik dalam hal
mengikat panas, apalagi jika dibandingkan dengan CO2. Metana bahkan
mampu bikin bumi hangat 21 kali lipat dari karbon dioksida.
Dan penghasil
metana ini bisa kamu temukan di sekitarmu yakni sapi. Terungkap bahwa emisi
metana pada sapi ini setara dengan industri bahan bakar fosil. Sapi
mengeluarkan metana dari hasil fermentasi saluran pencernaan dan kotoran.
© Twitter @kelaspintar_id |
The Sun
melaporkan jika seekor sapi dalam satu harinya menghasilkan 160 – 320 liter gas
metana dan mencapai 200 kilogram dalam setahun. Metana-metana yang keluar dari
sendawa dan kentut sapi ini rupanya memiliki porsi sebesar 14% atas gas-gas
rumah kaca penggerak global warming.
Sebagai hewan pemamah biak seperti domba dan kambing, proses pencernaan sapi
melewati serangkaian fermentasi yang dipenuhi bakteri penghasil gas metana di dalam
organnya.
Jika
Kementerian Pertanian mencatat ada sekitar 18 juta sapi di Indonesia pada Maret
2021 kemarin, bisa bayangkan berapa banyak metana yang dilepaskan ke udara?
Tentu luar
biasa masif dan terbang di atmosfer sebagai gas rumah kaca.
Perlahan tapi
pasti, kentut-kentut sapi inilah yang turut menggiring bumi menjadi oven
raksasa dan akhirnya mengancam kehidupan manusia di dalamnya.
Coldplay dan Mimpi Panjang Zero Emisi
Membuat emisi
metana dan gas-gas rumah kaca hilang dari Bumi ini tentu adalah sesuatu yang
luar biasa mustahil. Anggap saja semua orang berhenti mengonsumsi daging sapi
sehingga populasi sapi di Bumi menjadi nihil dan tak ada metana yang keluar
dari kentut-kentut mereka, apakah artinya global
waming tinggal cerita dongeng?
Jelas tidak,
sayang.
Masih ada
pabrik-pabrik yang beroperasi, kendaraan-kendaraan bermotor mengeluarkan polusi
dan manusia yang menghembuskan napas.
Hal inilah
yang akhirnya membuat pegiat iklim mencanangkan NZE (Net-Zero Emission) sebagai puncak harapan masa depan, di mana emisi
karbon sepenuhnya diserap oleh Bumi lewat berbagai kegiatan manusia supaya
pemanasan global tak akan terjadi. Gagasan atas NZE ini rupanya sesuai dengan
COP 21 di Paris tahun 2015 lalu, yang akhirnya melahirkan Paris Agreement (Perjanjian Paris). Di mana setiap negara di Bumi
wajib menurunkan emisi mereka yang sudah dimulai sejak tahun 2020 lalu.
Kamu harus
ingat bahwa dalam penerapan NZE ini, bukan berarti menjadikan tak ada sama
sekali emisi karbon terlepas ke udara. NZE bertujuan membuat karbon negatif
yang artinya emisi karbon yang diproduksi bisa diserap sepenuhnya sehingga tak
perlu menguap ke atmosfer.
Apa yang bisa
menyerap karbon-karbon tersebut?
Benar.
Tumbuhan.
Si hijau yang
kerap dilupakan, ditebang dan bahkan dibiarkan mati itulah pemegang kunci masa
depan peradaban manusia. Tumbuhan seperti kodratnya melakukan fotosintesis
dengan menyerap karbondioksida, tentu akan membantu mengurangi jejak karbon di
Bumi. Semakin banyak tumbuhan yang ada, semakin besar peluang kita untuk menang
dalam peperangan melawan global warming.
Tapi-tapi kan jejak karbon tidak hanya karbon dioksida? Bukankah tumbuhan tak bisa menyerap metana dan gas rumah kaca lainnya?
Tepat sekali.
Untuk mengurangi yang lainnya, ini adalah tugas manusia.
Termasuk bagaimana para peternak sapi mulai menggunakan teknologi NMR (Natural Methane Reducing) lewat dedaunan yang mengandung tannin, sebagai pakan hewan-hewan pemamah biak. Daun-daun seperti daun jati, kaliandra dan mahoni diyakini bisa menekan gas metana yang keluar dari sapi-sapi itu.
Atau mungkin bagaimana dorongan untuk menggunakan biogas yang berbahan baku gas metana dan karbon dioksida, sebagai energi alternatif utama pengganti LPG di masa depan.
Namun sebagai #MudaMudiBumi, aku mengajak kalian dalam suasana Sumpah Pemuda kali ini. Melakukan sebuah hal kecil #UntukmuBumiku. Dan inilah Sumpah Pemuda versiku!
Aku bersumpah untuk memperbanyak jalan kaki baik sehari-hari atau saat solo travelling. Bahkan meskipun sedikit mengkhianati darah Minangku, aku akan mencoba mengurangi konsumsi daging sapi yang kuharap bisa memberikan sumbangsih menurunnya kentut sapi
Aku saat menjelajahi Toraja dengan jalan kaki © Hamri W |
Sebuah langkah mungil yang kuharap bisa bergabung dalam gelindingan bola salju raksasa yakni menghentikan peluang kenaikan suhu bumi sebesar 2°C di tahun 2100 nanti, demi mencapai NZE.
Tenang saja, saat ini seluruh belahan Bumi, ada banyak sekali upaya yang telah dilakukan untuk menjadikan nol-bersih emisi dari berbagai pihak. Aku ingat bagaimana Deni bercerita melalui WhatsApp
beberapa waktu lalu.
“Kebetulan
kapal pesiarku, AIDAnova itu adalah kapal pesiar pertama di dunia yang pakai
tenaga full LGN (Liquified Natural Gas). Kapal itu bahkan udah dapet sertifikat blue angel, sertifikat dari Uni Eropa
untuk perusahaan-perusahaan yang emang konsisten go green. Dari 13 kapal milik AIDA Cruises, baru tiga yang udah
pakai bahan bakar LGN, ada satu kapal lagi yang nyusul,”
Sekadar informasi,
LGN sendiri adalah gas alam cair. Di mana LGN ini sudah diproses sedemikian
rupa sehingga bagian impuritas (pengotor) dan hidrokarbon fraksi berat telah
hilang. Kemudian gas alam ini melewati tahapan kondensasi pada tekanan atmosfer
dan didinginkan hingga -160°C, sehingga jadi cairan.
Melihat makin
banyak perusahaan yang paham pengurangan jejak karbon, aku jadi ingat pada
komitmen Coldplay. Ya, band yang
kusukai tapi sangat sulit ditonton itu bahkan sudah memikirkan sebuah tur
konser yang tidak merusak lingkungan. Kamu bisa menonton track list mereka di album EVERYDAY
LIFE yang dirilis pada November 2019 lalu, di mana menurut Chris, ini
merupakan gambaran atas perasaan mereka terhadap lingkungan.
Sementara
untuk tur konser dunia mereka di tahun 2022 untuk promosi album MUSIC OF THE SPHERES, Coldplay bahkan
berikrar memangkas emisi karbon dioksida hingga 50%, jika dibandingkan
konser-konser mereka di tahun 2016-2017 lalu.
Sampai
melakukan konsultasi dengan pakar lingkungan di Universitas Oxford, aku termasuk yang cukup takjub
dengan komitmen itu.
Kamu tentu
tahu bahwa selama ini konser Coldplay selalu identik dengan teknologi tinggi
yang menghiasi panggung mulai dari lampu-lampu gemerlap hingga arsitekturnya. Demi
mewujudkan pengalaman konser yang tak terlupa, Coldplay siap menggunakan sumber
energi terbarukan termasuk panggung kinetik.
suasana konser Coldplay di Prancis |
Ya, di saat
kita jingkrak-jingkrak menonton
Coldplay, panggung kinetik itu akan menghasilkan energi gerak. Tak berhenti di situ, konser ini juga akan
menggunakan lampu bertenaga surya, minyak goreng bekas dan tentunya penerbangan
dengan pesawat yang memakai energi bersih meskipun itu artinya anggota Coldplay
harus membayar tiket lebih mahal. Coldplay juga siap menanam satu pohon untuk
setiap satu tiket konser yang terjual, sebagai upaya penghentian deforestrasi.
Lantas adakah
harapan Indonesia bisa menggelar konser Coldplay?
Promotor tentu
harus bekerja keras. Selain karena negeri ini masih berjuang mengurangi emisi
karbon, Coldplay menyebutkan salah satu syarat dalam konsernya untuk
menggunakan bahan-bahan lokal negara di lokasi saat konser, demi mengurangi
emisi pengangkutan barang seperti dilansir Forest Digest.
Demi memuaskan
pengalaman penonton, Coldplay juga meminta pihak promotor menyiapkan kembang
api dan konfeti yang bisa terurai di udara. Termasuk juga keberadaan alat-alat
penangkap karbon besutan perusahan asal Swiss, Climeworks.
Sebuah syarat yang bisa dibilang sangat sulit dilakukan oleh promotor Indonesia untuk saat ini.
Tentu akan
menjadi sebuah pengalaman luar biasa bisa menyaksikan Paradise, Fix You, Viva La Vida, Adventure of a Lifetime, Hymn for the
Weekend, The Scientist, Yellow, A Sky Full of Stars, In My Place sampai Biutyful dan My Universe secara langsung di negeri ini. Apakah itu bisa terjadi? Sudah pasti bisa, seiring dengan pengurangan jejak karbon hingga 90% yang memang direncanakan pemerintah terjadi pada tahun 2050 nanti.
Sambil menanti
konser Coldplay terwujud di Indonesia, yuk bareng-bareng kurangi emisi karbon.
Tidak hanya berharap sapi-sapi berhenti kentut, coba lakukan hal-hal kecil dari
dirimu sendiri, seperti semudah mencabut charger
ponsel dan laptop yang tidak terpakai. Karena, inilah momen yang tepat
untuk #TimeforActionIndonesia!
Sumber:
Forest Digest, Mongabay, Kompas, Tempo, CNN, BBC, CNBC, VOI, Tirto, Pertamina
Baca ini nambah insight banget mbak, aku baru tau bahwa Coldplay adalah band sedetail itu dalam memikirkan emisi global dampak dari konsernya. Pantesan sempet mikir kok rasa-rasanya band itu ga pernah ke Indonesia padahal aku suka lagu mereka
BalasHapushuwaaa aku baru tau klo kentut sapi tuh penghasil metana yang jadi salah satu sumber efek rumah kaca dan kerusakan lingkungan. Yap, itu baru aktivitas makhluk hidup aya belum lagi dari hasil2 produksi gas buangan pabrik yang beroperasi tiap hari. Dan memang balik lagi, kita harus turut menjaga bumi, tumbuhan pun punya peran yang sangat penting buat menyerap gas2 di bumi, biar bisa jaga bumi kita
BalasHapusDulu sih sudah sempat tahu kalau seandainya tahi sapi itu bisa digunakan sebagai bahan bakar karena bisa menghasilkan gas metana. Apalagi kentut nya ya. Menarik sih memang dan kita juga bisa mengambil bagian agar bumi kita bisa diselamatkan dari pemanasan global.
BalasHapusSebagai ibu rumah tangga, menghemat listrik, air, meminimalisir sampah plastik, itu yg baru bisa dilakukan untuk mendukung bumi kita terselamatkan dari pemanasan global. Satu lagi yg belum bisa saya lakukan, adalah kuliah ambil jurusan kehutanan
BalasHapusSekarang tapi udah bisa memanfaatkan gas metana yang dikasilkan oleh sapi menjadi biogas. Bude aku yang ternak sapi juga udah memasang instalasi biogas sendiri. Aihhh tapi apakah perhelatan konser Coldplay bisa mungkin terwujud di negeri kita tercinta ini? Masih menjadi tanda tanya dan mister besar ya Rai.
BalasHapusAku kemarin kayak udah baca ini terus ternyata belum ninggalin komen yah wkwkw.
BalasHapusCuma mau ngomong : aku juga ga doyan sapi, alhamdulillaah. Aku ikut menyelamatkan bukan? wkkww. Tapi emang bener sih, pas baca bukunya yual hariri itu terbukti kalau salah satu penyumbang ERK ini sapi2 yang disembelih dan dikonsumsi
Saya penggemar Coldplay juga ni.. makin terpesona aja sama Coldplay karena udah berkontribusi mitigasi perubahan iklim.. kalau kotoran sapi bisa dibuat biogas ya.. kalau kentut kayanya belum ada gimana cara mengolahnya hehe
BalasHapusKeren banget program timbal baliknya coldplay untuk bumi.. Apakah konser seperti itu bisa tetap terlaksana apabila mereka tampil di indonesia?
BalasHapusNah itu masalahnya, hiks. Hanya Tuhan dan pak Luhut yang tahu
Hapusyaampun mbaa pas baca judulnya aku tuh mak deg, karena aku kan termasuk jama'ah coldplay-iyah wakakak.. tapi memang aku juga setuju sama langkah2nya coldplay sejak beberapa tahun lalu yang memakai pendekatan yang lebih sustainable untuk karya2nya
BalasHapusMemang gak mudah benar-benar bisa nol gas emisi. Namun setidaknya, mengurangi tentu bisa, dan jadi kerja bersama ya
BalasHapusMembaca tulisan Rai tentang jejak karbon, sangat mudah dipahami.
BalasHapusJika semua anak muda lebih mementingkan jalan kaki, salah satu yg bisa menekan gas emisi dr kendaraan. Jika petani bebenah, buangan gas dr sapi juga bisa dimanfaatkan. Semoga bumi baik2 saja.
Jadi PR banget ini tentang konsumsi daging sapi yang cukup tinggi di banyak negara. Sumbangan kentutnya tenyata berbahaya buat masa depan kita sendiri. Memang perubahan iklim sudah ga bisa ditawar lagi, harus diatasi karena dampaknya cukup berat. Salut dengan Coldplay yang komitmennya kuat pada energi terbarukan. Layak ditiru band lain.
BalasHapusKentut sapi ternyata jadi penghasil metana yang besar ya. Duh jadi merasa bersalah karena masih suka konsumsi daging dan produk olahan susu sapi. Jadi punya tanggung jawab untuk ikut menjaga supaya kerusakan lingkungan nggak makin parah.
BalasHapusKyaaa tulisannya daging banget ya kak, dari mulai konser, kentut sapi, mangrove dan bikin pencerahan banget buat kita lebih sayang planet ini
BalasHapuskeren banget sih coldplay ini bisa memikirkan sampai kesana karena selama ini sangat jarang ditemui artis yang tidak hanya sekedar konser tapi memikirkan tentang lingkungan, dan juga aku baru tau kalau kentut sapi bahaya sekali bagi lingkungan ini
BalasHapusAku takjub banget informasi di artikel ini..jujur, nggak pernah terbayang jika dampak dari kentut sapi bisa sefrontal ini untuk bumi kita. Big thanks Aray sudah menulis cantik tentnag tema ini. Dan pengingat juga buat yang muda untuk berkiblat seperti Coldplay ya
BalasHapusah iya, aku tuh ngefans sama Coldplay
BalasHapusmereka nggak hanya menghasilkan musikalitas yang bagus, tapi juga punya kepedulian tinggi terhadap lingkungan hidup ya mbak
Mindblowing banget pembahasannya. Menarik kak. Tapi memang akupun ngeri sama climate change ini. Karena dah berasa tiap hari panasnya luar biasa :'( apalagi fenomena antartika yg semakin lenyap.
BalasHapusPembahsan kentut sampai coldplay sungguh bikin speechless. Amazed sih sama coldplay, rolemodel.
Salut ya untuk coldplay, dia begitu peduli dengan efek emisi gasbuang. Semoga oneday coldplay bisa manggung di Indonesia ya, artinya kita sudah selangkah lebih dekat dalam meyelamatkan bumi.
BalasHapusSepertinya sudah banyak ya peternak sapi yang menggunakan kotoran sapi sebagai pengganti gas khususnya untuk memasak, seperti kenalanku peternak sapi perah didaerah sleman jogja yang pernah aku kunjungi..
BalasHapusBtw, keren banget ya coldplay yang peduli banget dgn lingkungan sampai detail seperti itu :) salut deh :D
duh gimana dong aku suka banget sapi, apa harus belajar untuk benci yaa karena kentutnya dan kotorannya,. btw salut banget sama coldplay,,,yang begitu peduli dengan efek emisi gas buang
BalasHapusKentut sapi bisa jadi biogas juga gak sih mbak? Aku jadi penasaran deh sama bunyi dan baunya. Betewe bagus nih idenya Coldplay yang peduli bumi
BalasHapusMasuk wishlist juga diam-diam sih nonton konser Coldplay ini, tapi belum bisa kalau mesti ke luar negeri, hehehe. Wah, sebagai fan, aku baru tahu lho detailnya soal konser ramah lingkungan ini. Btw waktu pertama kali lihat judul ini di IG Mba, aku kira arahnya ke kotoran ternak sebagai sumber bahan bakar alternatif, ternyata bukan ya, hehehe.
BalasHapuskeren banget Coldplay, bikin konser yang zero emissions
BalasHapussebetulnya banyak teknologi untuk mengurangi emisi
seperti sampah yang mengkonversi sampah menjadi gas untuk masak
sayang gak diseriusin
mbak aku gele ng3 deh dengan pengetahuan mbak arai, band ini akupun tak tahu lho , wah ini aku menyimak sedikit ttg ini di akun ig mbak arai sekag aku baca tuntasnya rasanya duh sapi,pdahal banyak yg suka dg kandungan daging maupun susunya tinggikan ya kalo gini jaid bingung mana yang kita pilih kan
BalasHapusjadi ingat judul sebuah filmpendek berjudul gara gara kentut ,,tampaknya receh ternyata tidak
Menarik nih. Aku beneran baru tahu. Terima kasih banyak ilmu baru nya sangat bermanfaat bagi aku. Semoga dikedepannya ada yg bisa dengen seruis menanganinya
BalasHapusTulisannya rinci dan rutut banget kak. enak di baca dan gak bikin bosan meskipun banyak hihi. dan pastinya banyak pengetahuan baru yang aku dapatkan.
BalasHapuskeren banget ini, semoga makin banyak yang cepat peduli yaa dengan kondisi lingkungan kita. Mantap kak
BalasHapusWah keren banget ini. Ya ampun. Tadi pas baca judulnya, apa hubungannya dengan kentut sapi. Ternyata begitu ya, ternyata kentut sapi banyak berpengaruh terhadap emisi karbon dioksida
BalasHapusAku terpana baca cerita tentang kentut sapi eh tapi emang beneran baru tahu kalau ternyata kentut sapu itu menghasilkan gas metana . Tapi benar2 nambah pengetahuan nih. Apalagi Mbak mengemas tulisan yang panjang dengan kata-kata yang mudah dipahami dan tidak bosen buat dibaca :)
BalasHapusMakasih mba Rai buat wawasannya nih, kentut sapi ternyata mengandung metana ya dan suka banget ama Coldplay yang sudah memulai pake energi terbarukan. Mari semangat menjaga.
BalasHapusAku juga suka coldplay mbak. Lagunya yang duet bareng BTS juga sering aku puter.
BalasHapusTapi spesial crish martin, aku penasaran akrena doi kekasihnya dakota johnson haha