https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Wisata Toraja: Senandung Magis Tanah Orang Langit

Senin, 25 Oktober 2021

perjalanan di Toraja Utara
Stone Forest Tangrante © Ricky Elwarin

Sang surya tampak malu-malu membelah langit malam bumi Celebes. Subuh memang selalu menjadi malam yang tergelap sebelum siang ganti berjaga. Bison besi ini bergerak tanpa henti dari Makassar sedari malam. Menembus berbagai lintasan buatan yang lurus, menanjak dan berkelok mulai dari Maros, Pangkep, Barru, Pare-Pare, Pinrang hingga pagi ini di Enrekang.

Sederet daerah yang tak pernah kubayangkan akan dilalui raga Jawa-Minangku ini.

Kulenturkan kakiku yang terlipat marah, tujuh jam lamanya dia harus menjaga kewarasan. Pengaruh Antimo memang mujarab, pikirku.

Kujatuhkan kepalaku ke sebelah kanan. Mengerjap mencari apapun yang bisa dipandang di balik jendela, masih sangat gelap. Dibandingkan gemerlap lampu perjalanan antar kota di Jawa, Sulawesi memang terlihat begitu misterius dalam kelamnya malam. Seolah itu semua adalah selubung raksasa yang menutupi harta moyang mereka.

Perlahan kegelapan terangkat, rasa kantuk itu sirna dalam hamparan kosmos menakjubkan yang kupandang. Enrekang memamerkan pesonanya. Bukit-bukit hijau di seberang jurang berdiri kokoh bak gapura selamat datang.

Mataku mencari-cari, di manakah Latimojong berdiri? Bagi seorang pendaki Jawa sepertiku, Latimojong memang jadi sebuah mimpi. Sayang kendaraan ini enggan berhenti karena memang Enrekang bukanlah tujuan. Enrekang hanyalah gerbang awal dari persinggahanku.

Dan di sinilah aku berhenti untuk lima hari ke depan.

Rantepao.

Kota mungil yang bahkan cuma sepersepuluh luasnya dari Malang, kota kelahiranku.

Aku telah tiba di tanah orang-orang yang berdiam di negeri atas.

Hidup Untuk Mati, Mati Untuk Hidup

Setiap perayaan adat Toraja, selalu dibicarakan dalam konteks keluarga dengan waktu yang lama. Saya tidak mengatakan upacara, karena rambu solo ini adalah sebuah acara hidup dan mati. Bagi saya tidak ada yang kebetulan, karena semua ini kuasa Tuhan  ~ Daud Pangarunan

Takjub.

Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan ekspresi wajahku saat melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana rambu solo, ritual kematian agung suku Toraja ini digelar.

Satu lagi keinginanku dalam hidup yang berhasil terwujud.

Aku melihat iring-iringan keluarga mendiang Damaris Pasa berjalan menuju Tongkonan-Tongkonan batu a’riri atau pondok-pondok (lantang) dalam balutan busana serba hitam. Bersatu dalam tatapan sedih, bersama mengantar jiwa yang sakit itu menuju Puya, tempat di mana kedamaian abadi berada.

iring-iringan keluarga di Rambu Solo
iring-iringan keluarga Damaris Pasa di Rambu Solo

Salah seorang tetua berjalan di depan barisan. Sedangkan Daud yang mengenakan kain putih seperti sarung, duduk di bangunan utama. Pada ruang tepat di atasnya, ada peti mati berisi jenazah Damaris. Wajahnya berbinar bangga, bisa mengantar kerabat tersayang ke Puya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Daud terus berbicara lantang dalam bahasa adat Toraja yang sama sekali tak kumengerti.

Yang kutahu, kami hari ini datang di acara ma’pasa’ tedong (mengumpulkan kerbau), sebelum akhirnya kembali dua hari kemudian untuk menghadiri ma’tinggoro tedong (penyembelihan kerbau) sejumlah 13 ekor itu.

tedong saleko (kerbau belang) di rambu solo Damaris Pasa
tedong saleko (kerbau belang) di rambu solo Damaris Pasa

Sayang aku tak berkesempatan melihat langsung ritual ma’pasonglo yang jadi ciri khas rambu solo, ketika kain merah panjang dibentangkan oleh pihak keluarga. Begitu pula prosesi ma’badong yang identik dengan tarian banyak orang untuk mengagungkan si mati, dalam perjalanan pertamaku di Toraja Utara ini.

Kubiarkan juga diriku membayangkan hadir di prosesi manombon, saat batu simbuang ditarik lalu ditegakkan dan ditanam berjejer seperti yang kulihat di Bori Parinding, pada hari terakhirku. Di dalam rante Kalimbuang itu, menhir-menhir berdiri bak kompleks megalit Stonehenge di Amesbury, Wiltshire, Inggris sana.

menhir-menhir di rante Kalimbuang
menhir-menhir di rante Kalimbuang, Bori Parinding

Tidak semua orang bisa dimakamkan di sini, harus keluarga. Erong yang terletak menggantung di atas tebing itu menandakan kalau si mati punya silsilah raja. Alasan kenapa orang Toraja tidak dikubur adalah mereka tak ingin yang mati menghabiskan tanah, di mana itu seharusnya dimanfaatkan oleh keturunan yang masih hidup

Berasal dari bahasa Bugis yakni To Riaja dengan makna orang yang berdiam di negeri atas, suku Toraja memang masih memegang erat kepercayaan animisme mereka, Aluk To Dolo. Ajaran luhur Aluk To Dolo menyebutkan kalau moyang orang Toraja berasal dari langit yang dibuat langsung oleh Sang Dewa Pencipta alias Puang Matua dari bahan emas murni.

Tak heran kalau dalam rambu solo, kematian dipahami bukan sebagai kedukaan yang memilukan dan berkepanjangan. Kematian adalah cara orang Toraja untuk kembali ke tempat kelahiran mereka yang berujung di langit. Di mana untuk menuju gerbang Puya, mereka melesat dengan menunggangi arwah tedong yang disembelih.

lo’ko mata Batutumonga
kuburan batu lo’ko mata Batutumonga

Baru kemudian raga-raga mereka disemayamkan di pattane yakni rumah kubur beton, atau dimasukkan di dalam liang kuburan batu seperti yang kulihat di lo’ko mata Batutumonga. Bisa juga keluarga memilih untuk diletakkan dalam erong (peti mati kayu) di gua-gua batu, selayaknya pemakaman desa Kete Kesu.

tengkorak manusia di gua batu Kete Kesu
tengkorak manusia di gua batu Kete Kesu © Prianto Puji Anggriawan

Khusus untuk bayi-bayi yang belum tumbuh gigi, sejumlah etnis Toraja memilih memakamkan jiwa-jiwa suci itu di pohon Tarra, seperti yang ada di Bori Parinding. Di mana jenazah bayi itu dimasukkan ke lubang-lubang pohon Tarra lalu ditutup begitu saja dengan ijuk. Keluarga berharap getah pohon Tarra yang berwarna putih akan menggantikan ASI dari Ibu tercinta agar arwah mereka bisa damai.

makam bayi di pohon Tarra
ijuk di batang pohon Tarra sebagai tanda makam bayi

Sedangkan untuk keturunan langsung leluhur Toraja, mereka berhak meletakkan erong di pusara khusus. Seperti yang kutemui di Londa, Desa Sandan Uai, perbatasan Makale dan Rantepao. Semakin tinggi kasta mereka, raga mereka bisa ditemani Tao-Tao, patung dengan tatapan mata tak berjiwa yang dibuat semirip mungkin dengan si mati.

pemakaman di Goa Londa
erong dan Tao-Tao di Goa Londa

Tak hanya Tao-Tao, keturunan bangsawan bisa menggantung erong-erong mereka di langit-langit Londa. Sebuah goa yang menguarkan aura kematian begitu pekat, menandakan entah sudah berapa generasi meninggalkan tulang belulang kekasihnya di sana.

Magnet Kehidupan Toraja itu Bernama Tongkonan

Desa Kete Kesu
Desa Wisata Kete Kesu

Lahir dan besar di Jawa, aku tak pernah sekalipun membayangkan kalau kaki ini akan berdiri langsung di depan Tongkonan. Rumah-rumah adat suku Toraja yang dulu cuma kulihat di buku pelajaran sekolah itu.

Bagi mereka, Tongkonan lebih dari sekadar hunian.

Tongkonan adalah magnet kehidupan yang mampu memanggil seluruh keturunannya untuk pulang, tak peduli ada di belahan Bumi mana mereka berada. Entah rambu solo sebagai pertanda duka cita atau rambu tuka yang merayakan suka cita, Tongkonan adalah tahtanya.

Tongkonan di desa Pallawa
jajaran Tongkonan di desa Pallawa

Dari banyaknya Tongkonan yang kulihat saat di Toraja Utara, apa yang ada di desa Pallawa jelas paling memukau. Bahkan dibandingkan dengan jajaran Tongkonan di Kete Kesu, rumah-rumah adat ini konon berusia jauh lebih tua.

Aku bergidik saat membayangkan legenda yang pernah terjadi di Pallawa. Konon pemukiman ini adalah saksi bisu tradisi kanibalisme. Ya, ratusan tahun lalu saat ada peperangan antar kampung terjadi, darah dan daging lawan yang kalah lalu terbunuh bisa diminum serta disantap. Pa’lawak nama adatnya, menjadi cikal bakal nama Desa Pallawa setelah diubah dalam proses musyawarah adat pada pertengahan abad ke-11.

Kini orang-orang Toraja memang sudah banyak yang tinggal di rumah-rumah modern meskipun Tongkonan Layuk, sebagai pusat kontrol utama yang Maha Tinggi tetap wajib ada. Ciri khas bangunan ini jelas, tanduk-tanduk kerbau tersusun vertikal di depannya.

tanduk kerbau di depan Tongkonan
rangkaian tanduk kerbau di depan Tongkonan

Mungkinkah tanduk-tanduk itu berasal dari kerbau-kerbau di pasar Bolu yang kukunjungi pada hari kedua kami di Rantepao? Aku tak tahu. Karena yang pasti itu menandakan bahwa semakin tinggi strata sosial si pemilik Tongkonan, tanduk kerbau bakal membumbung bertumpuk.

Dihiasi rahang babi di sisi kanan yang menghadap ke timur dan rahang kerbau di sisi kiri rumah yang menghadap ke arah barat, semua Tongkonan berdiri berjejer ke arah utara, sebagai perlambang di mana leluhur mereka berasal. Rumah panggung kayu yang seluruh bagiannya tak berpaku ini, dilapisi ijuk hitam di bagian atapnya yang melengkung.

Mirip haluan kapal, menurutku.

Tak heran karena dalam penelitian arkeologis ilmiah, nenek moyang suku Toraja diyakini sebagai para pengembara samudera yang berdiam di sekitar Teluk Tonkin, di antara Vietnam utara dan Cina selatan sana.

Mungkin saja Tongkonan-Tongkonan itu adalah gambaran kerinduan mereka pada tanah leluhur yang kini sudah dibatasi kekuasaan negara.

Pesona Utopia Negeri di Atas Awan

gumpalan awan To'Tombi
gumpalan awan To'Tombi © Ricky Elwarin

Pukul empat pagi mobil-mobil kami beriringan meninggalkan hotel Pias Poppies saat hari ketiga dimulai. Aku bergabung dengan mata-mata kantuk para fotografer yang saling memanggul peralatan tempur mereka. Ya, para penangkap cahaya ini akan berlomba memenjarakan mentari di dalam kamera-kamera mereka.

Bison besi yang kami tunggangi berulang kali menggerutu saat sopir memacunya di jalanan menanjak tanpa ujung yang berliku ekstrim. Tujuan kami adalah Lolai, negeri di atas awan. Hawa dingin To’Tombi langsung menusuk kulit saat aku keluar dari mobil. Sebagai manusia Kota Batu, tubuhku ternyata tak terlalu mengeluh pada serangan fajar ini.

Butuh sekitar 30-40 menit untuk menembus jalanan kelam yang dipagari hutan agar sampai di puncak setinggi 1.300 mdpl itu. Semburat merah terlihat di ufuk, sementara gumpalan awan mulai beriring membuka wajah kota Rantepao yang masih enggan terbangun itu. Aku bisa melihat tugu salib Buntu Singki’ berdiri dengan gagah di bawah sana, tanpa pongah menatapku yang sekali lagi terbius utopia Toraja Utara.

tugu salib Buntu Singki’
tugu salib Buntu Singki’ dari To'tombi © Agustinus Elwan

‘Ayo kita pindah ke Lempe. Di sana awannya lebih bagus’

Aku dan dua rekan blogger serta beberapa fotografer lainnya pun sepakat masuk ke mobil. Hanya sekitar lima menit saja, kami sudah sampai di Lempe, puncak Lolai.

Aku tersenyum. Benar kiranya pindah ke Lempe.

Di sini gumpalan awan terbentang bak karpet raksasa tanpa malu. Warnanya yang putih seolah menopang sinar emas sang surya di pagi itu. Sebuah pemandangan yang jelas sulit terlupa, membawaku kembali ke memori puncak Semeru, Arjuno, Penanggungan hingga Panderman di Jawa sana.

Aah, aku memang sangat rindu bercumbu dengan alam.

pemandangan di Lempe, Lolai
hamparan awan di Lempe, Lolai

Tepat jika orang-orang menyebut Lolai sebagai negeri di atas awan. Karena sejauh mata memandang, awan di sini hadir bak ombak di atas samudera, menjanjikan gelombang kehidupan untuk jiwa-jiwa fana di bawahnya.

Puas menikmati kecantikan langit Toraja, perjalanan kami berlanjut di kaki gunung Sesean. Hamparan sawah dengan batu-batu sebesar ukuran rumah tentu menjadi pemandangan yang tak akan bisa kutemui sehari-hari di pulau Jawa. Karena itu aku tak menyalahkan para fotografer yang menuntut mobil berhenti, untuk mengabadikan bentang alam indah itu.

tarian Pa'gellu di Tikala
suguhan tarian Pa'gellu di Desa Tikala

Kecantikan itu semakin sempurna saat siang harinya kami disambut remaja-remaja Toraja yang menyuguhkan pa’gellu. Tarian sukacita yang yang disajikan enam gadis cantik dan tiga laki-laki remaja penebuh alat musik itu membiusku sambil berlatar kemegahan panorama Sesean.

Namun kalau disuruh memilih apakah perjalanan mayapada di Toraja Utara yang paling berkesan bagiku, mungkin ketika kami semua mendaki gunung karst Tangrante di Tikala pada hari keempat.

Dimulai dari danau Limbong, aku memaksa otot dalam tubuhku yang sudah 1,5 tahun ini terlalu asyik bermanja di rumah karena pandemi Covid-19 untuk bergerak. Kakiku seolah enggan berjalan lagi ketika kami mendaki stone forest di Marimbunna.

bukit karst Batutumonga
sawah dan bukit karst Batutumonga © Ricky Elwarin

Toraja seperti tersenyum mengejekku yang berulang kali berhenti mengatur napas. Kalah dengan Ibu-Ibu serta remaja penari pa’gellu yang melangkah cekatan di jalur alam itu, lengkap dengan kostum mereka.

Hingga akhirnya aku sampai di titik karst tertinggi. Menatap Rantepao yang mungil di bawah sana. Tak kupedulikan tangan yang sedikit terluka terkena batu-batu tajam itu, atau kaki yang berdenyut nyeri saat salah langkah. Karena apa yang terhampar di depanku, jelas bukti kalau Sang Maha Esa memang menciptakan tanah orang-orang langit ini dengan senyum penuh cinta.

Inilah sihir tanah Toraja. Dan aku jadi tak berdaya selain terhanyut dalam senandung di dalamnya yang tanpa akhir itu.

Meninggalkan Sepatu Kaca di Toraja Utara

matahari terbit di Lempe
pesona matahari terbit di Lempe

Waktu memang kadang bisa berputar sangat jahat. Melaju tanpa ampun, memaksa diri untuk kembali ke kenyataan dunia.

Ya, perjalananku ini harus segera berakhir. Kubereskan seluruh bawaanku tanpa semangat. Kubiarkan carrier 60L itu memberontak tinggi karena penataan yang sama sekali tidak rapi.

Saling jabat dan senyum mengembang menjadi ucapan terakhir dengan belasan fotografer itu. Para penjerat pendar yang mungkin tak akan pernah bisa kutemui tanpa campur tangan takdir Halikuljabbar.

Aah, mungkin seperti inilah rasa yang membuncah di hati A.J Frost (Ben Affleck) saat harus meninggalkan kekasihnya, Grace Stamper (Liv Tyler) untuk menaiki Freedom menuju luar angkasa di film ARMAGEDDON (1998) itu. Tak sadar aku bergumam lirih, ‘all my bags are packed I’m ready to go, don’t know when I’ll be back again, oh babe I hate to go...’

Tak ada yang bisa kuperbuat memang saat bison besi ini menderu meninggalkan Rantepao, selain melihat lampu-lampu kota berganti dengan pekatnya malam. Berbeda dengan pekan lalu, aku ingin mataku menelan banyak-banyak pemandangan Toraja Utara. Meyakinkan bahwa lima hari yang sudah terlewati ini memang sebuah kisah nyata, bukan sekadar delusi semata.

Awalnya kupikir perjalananku di Geopark Toraja Utara ini seperti mencuri mimpi indah milik orang lain.

Namun ternyata tidak. Akulah yang melangkah secara sadar ke perjamuan magis ini.

Aku adalah Cinderella yang menerima undangan pesta dansa dari panitia Toraja Highland Festival. Mereka pula yang menjadi Ibu Peri dan memberiku gaun cantik serta kereta kencana, lewat rapalan-rapalan sihir adat Toraja. Hingga akhirnya akupun jatuh cinta pada pandangan pertama.

Bukan, bukan kepada pangeran sang pemilik istana, tapi kepada keramahan orang-orang Toraja yang menyambutku dengan tangan terbuka. Entitas Masata (Masyarakat Sadar WIsata) inilah yang mengajakku menikmati harta alam mereka yang luar biasa candu.

Berbeda dengan Cinderella yang tak sengaja melepaskan sepatu kaca di anak tangga istana, aku sepertinya dengan sengaja meninggalkan salah satu sepatu kacaku itu. Pecahannya kubiarkan berdiam di awan-awan yang membungkus Lolai, mengalir di sepanjang sungai sa’dan, tersembunyi di hamparan sawah asri Sesean, atau mungkin hinggap di celah-celah kokoh pegunungan karst di Tikala sana.

Tentu aku tak perlu pangeran berkuda putih untuk menjemputku.

Karena saat raga ini terangkat tinggi di langit Makassar dalam kepak sayap burung besi, aku berjanji untuk menjejak kembali di tanah milik orang langit itu.

Aku belum puas, pekikku dalam hati.

Aku masih ingin melihat ma’nene´dan seluruh ritual rambu solo atau rambu tuka yang luar biasa luhur itu. Aku masih ingin mengecap lezatnya kapurung serta hangatnya sop ubi di malam-malam damai kota Rantepao. Aku masih ingin bersenda gurau sambil mengunyah pa’piong, suguhan bangsawan Toraja yang berupa beras ketan dalam bambu bakar, sambil bercerita ukiran Tongkonan.

Semoga kita bisa bertemu lagi, Toraja Utara.

Dari aku, yang jatuh cinta padamu.


Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life

  1. Baca ceritanya kak arai bikin mupeng pingin ke Toraja nih..

    BalasHapus
  2. Ya Allah kakak, betapa beruntungnya bisa menyaksikan acaranya, dan aku disini masih bermimpi menginjakkan kaki di tanah toraja, ntahlah bagaimana caranya agar akupun bisa menyaksikan setiap proses upacara adat disana, yang jelas aku masih punya harapan, suatu saat akupun bisa disana

    BalasHapus
  3. Impian banget bisa langsung melihat tanah toraja. Dulu waktu di bali kayaknya aku cuma ngeliat replikanya gitu.

    BalasHapus
  4. Hey, Arai!

    Aku mau tanya aja sih, apa nggak merinding gitu pas lihat prosesi pemakaman adat Toraja? Hihi..

    Luar niasa sih bisa lihat langsung adat suku Toraja, apalahi untuk pemakamannya yang terbilang unik.

    Aduh, aku mupeng lho sama negeri di atas awannya. Pasti sejuk dingin-dingin gitu ya hawanya. MasyaAllah..

    Stay save hey, Arai!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha engga kak Kyn, mungkin karena apdet konten lebih penting daripada rasa takut kali ya hahahah. Iyaaa, di Lolai itu sejuk banget banget. Semoga next bisa kesana juga yaaah. Stay safe, kak!

      Hapus
  5. seru sekali bisa mempelajari tentang suku Toraja walaupun belum bisa langsung kesana, sangat unik ya terimakasih tulisannya

    BalasHapus
  6. duh, destinasi impianku nih

    jadi selama belum bisa ke sana, rasanya asyik banget baca tulisan ini serasa ikut Arai menjelajahi tanah Toraja

    BalasHapus
  7. Ingat dulu baca soal Rambu Solo di salah satu majalah wanita terkemuka, sebagai anak kecil takjub gitu ya, apalagi foto-fotonya cukup banyak. Nggak kebayang menyaksikan langsung.

    Btw, lokasi yang di atas awan itu menakjubkan banget! Kayak di dalam mimpi aja ya, padahal betulan.

    BalasHapus
  8. Keren bangett aku sampe membayangkan gimana mulai kamu memulai perjalanan sampe jadilaah rangkaian kalimat yang keren banget iniii.
    Duhh cepetan bikin buku perjalanan sanaaaaa. Aslii ga bosen bacanya

    BalasHapus
  9. MasyaAllah indah banget mbak, semoga ada rejeki main ke sini.
    Berasa berjalan-jalan ke sana betulan.

    BalasHapus
  10. Masya Allah seru banget yaaa, pengen banget jalan-jalan ke daerah yang masih menjungjung tinggi adat istiadat gitu :) semoga terus lestari nih di Indonesia :)

    BalasHapus
  11. MasyaAllah mbak, keren sekali pemandangan dan budaya disana. Pasti sangat menyenangkan bisa menyasikan langsung itu semua. Semoga semuanya tetap lestari kedepannya, alam dan budayanya sangat indah

    BalasHapus
  12. Baca ini jadi kangen bangte pergi ke Toraja lagi, saya ke sana tahun 2013 hua sudah kayak apa tahu sekarang ya, pasti banyak banget yang bisa dikunjungi dan banyak wisata baru

    BalasHapus
  13. Aku juga jatuh cinta hanya dari membaca tulisan ini, unik, keren banget ya. Aku juga penasaran dengan prosesi rambu solo. Penasaran dengan tengkorak-tengkoraknya itu, pokoknya penasaran. Dan selain itu ternyata cantik banget alamnya. Maha Besar Allah dengan segala ciptaan-Nya

    BalasHapus
  14. Wah, ini salah satu tempat yang ingin aku kunjungi. Sudah lama sih, entah kapan bisa terealisasi, hiks. Dengan membaca tulisan ini, bisa menjadi obat kerinduanku akan Tanah Toraja. Terima kasih, kak...

    BalasHapus
  15. MasyaAllah kerennya keberagaman budaya dan alam indonesia. Infonya sangat lengkap dan menambah pengetahuan

    BalasHapus
  16. Seru sekali perjalanan ke Tana Toraja Mba Arai. Melihat secara langsung adat masyarakat setempat, yang katanya bukan hanya upacara semata, tapi lebih dari itu, acara hidup dan mati.

    Impian untuk melihat langsung Tongkonan bisa terwujud. Sungguh suatu rezeki yang tidak diduga sebelumnya ya Mba. Dulu cuma bisa lihat dari buku pelajaran saja, tapi sekarang udah bisa melihat langsung.

    Pemandangan alamnya keren banget. Pasti banyak lagi spot foto yang menarik untuk diabadikan.

    Ah kapan saya bisa traveling ke sana?

    BalasHapus
  17. Aduh saya jadi ikut pengen bisa menginjakkan kaki di Tanah Toraja nih. Selama ni saya singgah di Toraja saat bermain Monopoli Nusantara saja, hehehe....

    BalasHapus
  18. Tanah Toraja atau Tator memeng penuh pesona, Mbak. Adat istiadatnya juga sangat lekat dan lekang sepanjang masa. Dan pas baca kapurung dan sop ubi, langsung jadi ngiler. Dulu pas tinggal di Makassar sering bikin kapurung, karena dapat sagu dari tetangga yang asal Palopo hehehe.

    BalasHapus
  19. Jadi inget trip kerjaku ke Tana Toraja beberapa tahun silam.. sungguh trip yang nggak terlupakan! Sempet ketemu sapi seharaga 1M alias tedong saleko juga hehe

    BalasHapus
  20. Pernah ke Tana Toraja belasan tahun silam, waktu masih SMP. Sayangnya dulu pas ke sana, pas nggak ada perayaan Rambu Solo. Aku tahu Rambu Solo malah baru beberapa tahun terakhir, gara2 di bukunya anak-anak ada nyeritain tentang perayaan ini. Keren ya Indonesia punya banyak budaya, salah satunya ya di TaTor ini.

    BalasHapus
  21. selalu takjub sama cerita-cerita tradisi masyarakat nusantara! Upacara adat hidup dan mati masyarakat Toraja ini emang udah legend banget ya kak, dan pengumpulan 13 ekor kerbau buat upacara juga bukan hal yang mudah menurutku, kekuatan budaya banget tradisi ini!

    BalasHapus
  22. Sebuah catatan perjalanan yang dikemas dengan bahasa yang indah dan seolah olah kita berada di sana. Meski panjang tapi gak bosan bacanya. Senang sekali bisa menginjakkan kaki ke sana

    BalasHapus
  23. Astaga mbak, lihat foto-foto yang mbak pasang nyuci mata banget! Kaget tadi lihat tengkorak haha, kepercayaan-kepercayaan mereka unik ya. Saya jadi pengen ke toraja nih.

    BalasHapus
  24. Toraja tanah yang luhur yaa..
    Semoga dengan banyaknya literasi mengenai Toraja, adat dan istiadatnya masih lestari dan mengundang wisatawan.

    BalasHapus
  25. Saya seperti tersihir dengan kata-katanya Kak Arai dalam melukiskan cerita mengenai perjalan ke Toraja. Seru sekali ya Kak eh cuma saya sendiri belum pernah ke Toraja padahal tinggal di Sulsel.

    BalasHapus
  26. Toraja memang tanah yang berbeda dari lainnya di Sulawesi Selatan
    Ada yang bilang ketika masuk area sini, semua akan bersifat magis

    BalasHapus
  27. Judul tulisan ini dan gaya Kak Arai bercerita tentang perjalanan ke Tana Toraja keren. Suka gaya penceritaannya yang punya daya magis kuat, sekeren dan sekuat budaya dan adat Toraja. Udah lama juga penasaran dan mau injakkan kaki ke Geopark Toraja Utara ini... someday mungkin. Untuk sementara, menikmati cantiknya Toraja dari cerita dan foto-foto teman-teman dulu saja

    BalasHapus
  28. wah seru ke Toraja saya pengen kesana lagi semoga bisa segera ke sana lagi aamiin, pasti banyak banget destinasi wisata yang memang baru niy

    BalasHapus
  29. toraja ini salah satu destinasi yang masuk dalam daftar list tempat yang ingin dikunjungi karena memang penasaran dengan bagaimana keadaan di lokasi. apakah semua isu yang beredar benar adanya, jadi memang pengen tahu detilnya

    BalasHapus
  30. wishlist ke Toraja, dulu waktu ke Makasar ga sempet mampir sana, dan ajakan temen pun waktunya selalu bentrok
    adat tradisinya bener bener terus dilestarikan sampe sekarang, yang bikin penasaran pastinya bisa melihat langsung tradisi rambu solo

    BalasHapus