https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Menenun Harapan, Mengirim Warisan

Senin, 30 Juni 2025
Penenun di Desa Adat Bena (foto: Arai Amelya)
Penenun di Desa Adat Bena (foto: Arai Amelya)

Menjulang setinggi 2.245 mdpl, Inerie memang tampak begitu anggun, Tubuhnya dibingkai kerucut sempurna, memberikan perlindungan pada manusia yang merebah di kakinya, seperti layaknya seorang Ibu yang meninabobokkan buah hati kesayangan. Tak berlebihan karena Inerie adalah bahasa Flores yang bermakna ‘perempuan yang cantik’. Kemolekan itu pula yang tampaknya membuat Yeta, sang Dewa, memilih bersinggasana di sana dan dipuja oleh masyarakat selama ribuan tahun lamanya. Ketika hiruk pikuk dunia semakin tak terkenali, Inerie tetap ada, menyambut dengan penuh sahaja

***

Namanya Maria Sawi.

Kulitnya eksotis dengan raut wajah khas suku Melanesia, seperti penduduk Maluku. Saat aku menyapanya di pagi itu, Maria barulah selesai merapikan rumah. Namun seolah tidak punya rasa lelah meski keringat tampak di pelipisnya, Maria langsung merebah duduk di gedogan (alat tenun tradisional) miliknya yang berada di teras rumahnya.

Dengan cekatan, tangan-tangan Maria yang sudah mulai keriput itu berpindah dari suri ke dayan dan menyisakan suara bilah kayu dan bambu yang saling berbenturan begitu khas. Jelas sekali kegiatan ini bukanlah sesuatu yang ditekuni dalam hitungan hari, tapi sudah bertahun-tahun lamanya, mungkin separuh hidupnya. Maria tampak tidak terganggu saat aku terus mengamatinya menenun bersama rekanku, sambil memberikan senyuman ramahnya.

Maria Sawi menenun kain tenun ikat Bena (foto: Arai Amelya)
Maria Sawi menenun kain tenun ikat Bena (foto: Arai Amelya)

Waktu terus berlalu dan apit yang merupakan bilah di depan perutnya sudah semakin tebal, aku tahu kalau kain tenun yang dibuat Maria sudah hampir usai. Helai demi helai kain tenun berwarna merah gelap itupun sudah mulai berpadu dan motifnya makin cantik terpampang. Ciri khas motif kain tenun ikat di Bena.

Sebetulnya motif kain-kain tenun ikat di Bena tidak berbeda dengan para pengrajin di wilayah Flores lainnya yang didominasi bentuk geometris. Mulai dari wa’i manu (cakar ayam), bhaga, jara (kuda), ngadhu, ube, dan ghi’u (garis dinamis). Hanya saja kain-kain tenun ikat Bena biasanya memiliki warna dasar motif biru nila dan warna garis pada bagian tepi bawah kain yang berbeda, meski warna dasar sarung sama-sama hitam.

“Perempuan-perempuan Bena itu harus bisa menenun sejak kecil, Mama juga seperti itu. Kami suka menenun karena ini warisan dari orang-orang dulu. Kampung Bena ini sudah tua, ribuan tahun sudah kami dilindungi sama Yeta,” cerita Mama Maria -begitu Maria Sawi biasanya disapa- sambil terus melanjutkan tenunannya.

Berada sekitar 19 kilometer sebelah selatan Bajawa, pusat dari Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Bena memang sudah termahsyur sebagai perkampungan megalitikum dengan usia lebih dari 1.200 tahun. Berada di perbukitan, kalian bisa melihat Gunung Inerie begitu gagah berdiri dari Bena. Hal yang paling unik dari Bena adalah bentuk pemukiman ini menyerupai perahu, karena kepercayaan purba meyakini jika perahu adalah wahana bagi arwah menuju Nirwana yang abadi.

Meskipun zaman sudah semakin modern, perempuan-perempuan Bena masih menjaga betul tradisi leluhur mereka dengan menenun kain menggunakan alat tradisional. Kendati bisa membutuhkan waktu berbulan-bulan hanya untuk menghasilkan selembar kain tenun ikat, hasilnya pun luar biasa indah. Dijual mulai dari tiga ratus ribu Rupiah, kain-kain tenun ikat ini menjadi salah satu sumber perekonomian masyarakat Bena karena diincar oleh para wisatawan.

Selain lembaran kain tenun ikat, Maria dan rekan pengrajin lain di Bena juga menghasilkan syal-syal tenun yang berukuran lebih kecil dengan harga mulai dari 75 ribu Rupiah. Menariknya, produk-produk tenun ikat ini tidak hanya dijual di Ngada saja, tapi juga ada yang sudah masuk toko oleh-oleh di Bajawa, Ende, hingga Labuan Bajo. Bahkan pengrajin lain yang berusia lebih muda daripada Maria, juga menjual produk kain tenun ikatnya itu di media sosial seperti Facebook.

“Biasanya ada turis jauh dari Sumatera, Kalimantan, Cina, sampai Amerika juga yang tanya kalau mau beli kain-kain ini lewat internet. Yang lebih muda biasanya jual itu di FB, saya tidak tahu, pokok saya bikin. Terus sama mereka dibawa ke Bajawa, dikirim itu lewat laut, saya cuma dengar dan dapat uang,” tambah Tina sambil tersenyum ramah, salah satu pengrajin kain tenun ikat Bena selain Maria.

Aku mengangguk, di kepalaku seolah tengah diputar film pendek bagaimana kain-kain tenun ikat yang dihasilkan oleh Maria ini dibungkus. Lalu kemudian dibawa ke Bajawa untuk diserahkan ke kantor jasa pengiriman. Dalam hitungan jam atau hari, paket kain tenun ikat Bena itu melanjutkan perjalanan darat, laut dan juga udara, menembus ribuan kilometer dari kaki Inerie sebelum kemudian tiba dengan selamat di tempat asing yang menjadi pemilik barunya.

Sungguh sebuah perjalanan luar biasa karena paket-paket itu bukanlah sekadar barang.

Apa yang dikirim itu merupakan identitas. Sebuah karya budaya yang menyimpan cerita inspiratif kebanggaan warga Bena.

Kaki-Kaki Kuat Sang Pengantar Harapan

Sirilus Siko saat membela Timnas Amputasi Indonesia (foto: dokumentasi pribadi)
Sirilus Siko saat membela Timnas Amputasi Indonesia (foto: dokumentasi pribadi)

Sepakbola bukan sekadar berlarian memperebutkan bola. Dalam setiap menit yang bergulir, tubuh didorong hingga batas maksimal sejauh belasan kilometer. Namun olahraga keras ini bukanlah dominasi mereka yang menjejak dengan kedua kakinya saja. Mereka yang mengalami kehidupan berbeda, bisa berlarian dengan lincah sambil bertopang pada tongkat siku. Mengejar bola dengan iringan adrenalin tanpa henti dari jantung, seperti yang dialami Sirilus Siko

***

Sirilus Siko pada dasarnya sama seperti kebanyakan remaja laki-laki lain di Indonesia ini. Begitu senang berlari dan bermain sepakbola. Hanya saja ada perbedaan kecil yang dialami pemuda asal Ende, Nusa Tenggara Timur ini.

Rilus -sebagaimana dia disapa- punya kaki kanan yang berbeda. Ya, dia adalah seorang disabilitas sedari lahir. Namun kaki kanan yang tidak sempurna itu bukanlah penghalang baginya.

“Sejak kecil itu saya sering main sepakbola dengan teman-teman non-disabilitas di Ende. Mungkin mereka melihat saya itu kasihan ya, tapi nyatanya saya itu tidak apa-apa. Tidak ada rasa takut sama sekali. Saya bahkan main sepakbola pakai tongkat. Sampai akhirnya setelah lulus SMA, saya cari info soal amputee football di media sosial dan menemukan komunitas di Surabaya. Saat itulah saya hijrah dari Ende,” jelas Rilus membuka obrolan kami malam itu.

Tekad yang sekuat baja itulah yang membuat komunitas sepakbola amputasi di Surabaya tergerak saat melihat Rilus. Meskipun komunitas itu belum memiliki sekretariat tetap, mereka mendukung mimpi tanpa batas Rilus dan memberikan kamar kos sebagai tempat tinggal Rilus. Rilus pun membalas kebaikan itu dengan terus berlatih tanpa kenal lelah.

Mimpinya jelas.

Mimpinya begitu benderang.

Ingin lolos seleksi Tim Nasional Amputasi Indonesia.

Dan hasil pun tidak mengkhianati usahanya. Rilus terpilih sebagai salah satu atlet yang memperkuat tim nasional untuk kejuaraan Artalive Challenge Cup Amputee Football 2023 di Malaysia, bahkan memboyong piala juara. Semakin sempurna karena Rilus yang mengambil posisi winger, mampu mencetak satu gol di pertandingan final.

Asa yang terwujud itu tak membuat Rilus terlalu tenggelam dalam euforia. Kali ini dia memiliki tujuan lain yakni ingin menjadi seorang laki-laki yang berdaya. Seperti halnya kebanyakan pria dewasa lain, Rilus mencoba mencari pekerjaan.

Hanya saja disabilitas membuat Rilus cemas, karena tentu tidak semua perusahaan bersedia menerimanya, meskipun dia sudah membanggakan Indonesia.

Namun Tuhan sepertinya tak mengizinkan Rilus untuk berhenti berharap karena pintu kesempatan dipersiapkan untuknya oleh JNE.

“Jadi setelah turnamen itu saya bertekad untuk tetap berdaya dan mandiri, sehingga harus mencari pekerjaan. Berkat rekomendasi Disnaker, saya mencoba melamar ke dua perusahaan tapi hanya diterima di satu tempat yakni JNE. Saya senang karena JNE tidak memandang kondisi disabilitas saya. Mereka memberi kesempatan bahkan membebaskan saya menggunakan motor modifikasi saat bertugas sebagai kurir,” cerita Rilus senang.


Tentu saja menjadi seorang kurir disabilitas bukanlah perkara mudah baginya. Bahkan di awal dia bekerja, Rilus yang merupakan seorang pendatang di Surabaya pernah mengirim paket hingga kawasan pesisir ibukota Jawa Timur itu yang dipenuhi hutan mangrove. Kurang pahamnya dia dengan wilayah Surabaya pun sempat membuat Rilus menghabiskan waktu dari pagi hingga malam, padahal hanya membawa lima buah paket dengan area pengiriman di perumahan yang satu wilayah.

“Namanya kurir, pekerja lapangan pasti banyak cerita. Tapi saya bersyukur selama hampir dua tahun menjadi ksatria JNE, tak pernah ketemu pelanggan aneh. Mungkin pernah waktu ngirim paket tapi alamatnya keliru, pas paket diambil lagi ada pelanggan yang bersedia mengembalikan dengan utuh, tapi ada juga yang teledor,” lanjut Rilus tersenyum.

Bagi Rilus kondisi disabilitas memang hanya sekadar masalah kecil baginya.

Dia memilih fokus pada semangat hidup dan kerja keras. Sebuah bukti bagaimana semangat SAT SET yang selama ini diusung JNE bukan cuma soal kecepatan, tapi keberanian untuk terus bergerak maju.

Dedikasi luar biasa dalam bekerja dan membagi waktu untuk terus berlatih sepakbola, membuat Rilus berhasil membawa Timnas meraih posisi runner-up dalam Amputee Football Asian Championship 2025 di Bangladesh.

Rilus (tengah) bersama perwakilan JNE Surabaya (foto: dokumentasi JNE)
Rilus (tengah) bersama perwakilan JNE Surabaya (foto: dokumentasi JNE)

Tak heran kalau JNE yang ‘meminang’ Rilus lewat program Expressbility itu memberikan penghargaan satu unit sepeda motor, uang tunai senilai 20 juta Rupiah dan juga mengangkat Rilus sebagai karyawan tetap. Bukan berlebihan karena Rilus adalah penggambaran nyata dari nilai utama JNE, Connecting Happiness.

“JNE sangat berbeda. Mereka mengapresiasi saya dengan luar biasa. Saya sangat bangga. Saya berharap ke depannya JNE terus bisa mengajak teman-teman disabilitas lain, karena meraih mimpi itu tak pernah terbatasi oleh kondisi,” pungkas Rilus.

Ya, Rilus memang luar biasa.

Dialah sang pembawa obor inspirasi tanpa batas.

Seperti kata mendiang Soeprapto Soeparno sang pendiri JNE, dia berharap kalau perusahaannya bisa membawa manfaat bagi sebanyak mungkin orang. Karena di antara benang-benang tenun yang dikirim, roda motor pengantar, dan kaki tegap yang mungkin tak sempurna, JNE akan terus ‘menjahit’ Indonesia. Bukan hanya mengantarkan barang, tapi juga semangat serta harapan yang tak pernah putus.



#JNE #ConnectingHappiness #JNE34SatSet
#JNE34Tahun #JNEContentCompetition2025 #JNEInspirasiTanpaBatas

Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life