teluk Bowele dari ketinggian |
Saat itu suasana begitu genting.
Negeri ini memang baru saja merayakan kemerdekaannya.
Namun kabar indah itu tentu butuh waktu untuk sampai ke seluruh penjuru
Nusantara, termasuk di Jawa Timur. Bahkan di Malang sendiri, gemuruh kebebasan
itu harus menjalar lewat udara, setelah Syahrudin menyelundupkan bunyi teks
Proklamasi di kantor berita radio Soerabaja Hosokyoku, dua hari usai 17 Agustus
1945.
Ya, perjuangan belumlah berakhir.
Terutama bagi masyarakat di kawasan Tapal Kuda seperti
Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo dan Kabupaten Lumajang sana.
Senjata-senjata laras panjang dan runcingnya bambu masih terus menemani mereka
bergerilya, menjaga nyawa dari musuh-musuh di selatan.
Bagi mereka, terus bergerak adalah harga mati. Kaki-kaki
lelah itu terus berjalan, menembus belantara dan melintasi perbukitan tak
bertuan. Mencoba mencari peruntungan di daerah yang lebih nyaman, jauh dari
ancaman serdadu Negeri Matahari Terbit maupun kaum kulit putih.
Hingga akhirnya para pejuang yang mengungsi dari tahan
kelahiran mereka itupun berhenti. Lahan-lahan di lembah perbukitan Tirtoyudo
yang menghunus langsung ke Samudera Hindia, dipilih menjadi tempat mereka
bersemayam.
Sebuah tempat yang tanpa diduga akan menjelma menjadi
potongan nirwana milik Kabupaten Malang di kemudian hari.
Tempat yang hingga saat ini tanpa henti merapalkan
jampi-jampi perjuangan, untuk mereka yang mencari penghidupan di dalamnya.
Sang Pencuci Otak Tanpa Gelar Sarjana
Saya sendiri adalah orang yang terkendala pendidikan. Hanya lulusan SMP tapi motivasi saya sangat besar untuk mengenalkan desa. Saya ingin berkontribusi untuk tempat kelahiran saya ~ Agung Tri Ono, penggerak KBA Lenggoksono
Cuaca begitu terik siang itu di hari Rabu, 29 Desember
2021. Matahari sepertinya mengobarkan keperkasaannya tanpa ampun. Namun
perempuan-perempuan tangguh itu sama sekali tidak terganggu. Galaknya sengatan
matahari bukanlah alasan mereka beranjak.
Mereka semua bahkan bergeming di bawah sang mentari,
saling bersandar dari bahu ke bahu, memotong sampah-sampah plastik hingga
menjadi persegi seukuran kuku. Sesekali mengeluh bagaimana gunting yang dipakai
tidak lagi tajam untuk memotong, atau plastik-plastik bungkus produk rumah
tangga itu belum tercuci bersih.
Senda gurau terlihat dari kulit-kulit wajah sawo
matang mereka yang tertarik kencang. Tidak ada jarak usia di sini. Mau lansia,
setengah baya, baru berumah tangga hingga gadis-gadis belia. Tangan-tangan
mereka begitu terampil menjejalkan ratusan persegi plastik kecil-kecil itu ke
sebuah botol. Dihujam oleh kayu panjang hingga tak tersisa ruang di bagian
dalamnya, botol-botol plastik bekas minyak atau air minum itupun berubah status
menjadi ecobrick.
“Tiap hari Sabtu kita ada kegiatan bersih lingkungan
sambil bawa sampah plastik. Nanti dikumpulkan sampah plastiknya karena memang
kan misi kita untuk mengendalikan sampah di RW 01 ini. Baru nanti sampah-sampah
plastik yang tidak bisa didaur ulang itu kita bikin jadi ecobrick,” ungkap Hartining dan Yati bergantian.
Tidak ada raut rendah diri seperti khas masyarakat
pelosok dari kedua Ibu Dasawisma di RT 02/RW 01, Dusun Lenggoksono, Desa
Purwodadi, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang ini. Bahkan bisa dibilang,
sepasang mata mereka tampak berbinar percaya diri menatap saya dari balik lensa
kamera, saat menjelaskan metode ecobrick
tersebut.
proses dan hasil pengolahan ecobrick |
Tanpa ragu mereka memberitahu bahwa setiap botol ecobrick memiliki berat berbeda. ada
yang 2,5 ons ada yang hingga empat ons. Semakin berat ecobrick itu, sudah jelas semakin besar beban yang harus
ditumpunya.
Celotehan mereka terus berlanjut dengan kebanggaan.
Memamerkan ecobrick-ecobrick itu yang
sudah menjadi tiang-tiang gerbang rumah pengganti kayu, sampai ada yang sudah
dirangkai menjadi tempat duduk dan aksesoris cantik seperti tas hingga dompet.
Tidak hanya mengolah sampah-sampah anorganik yang sulit terurai itu, warga Lenggoksono juga menyulap limbah-limbah rumah tangga menjadi POC (Pupuk Organic Cair). Limbah organik dengan aroma luar biasa tak sedap itu disimpan dalam wadah-wadah yang tertutup rapat.
Dibiarkan berfermentasi selama 15 hari sebelum akhirnya cairan yang sudah mengendap itu dibawa ke kebun-kebun mereka, sehingga menjadi lebih subur tanpa perlu pupuk kimia produksi pabrik besar.
wadah-wadah POC di salah satu rumah warga Lenggoksono |
Saya terdiam.
Kepongahan orang kota benar-benar tidak berlaku di
sini.
Rasa penasaran saya membuncah, meletup keluar dari
tubuh saya yang sebetulnya sudah sedikit lelah usai menempuh 2,5 jam perjalanan
darat dengan sepeda motor seorang diri dari Kota Batu.
Siapakah orang yang menjadi penggerak kesadaran
perempuan-perempuan Lenggoksono ini?
Siapakah sosok yang mengobarkan api semangat bahwa
sampah tidak harus berhenti dengan dibuang? Bahwa sampah haruslah dipilah dan
diolah demi lingkungan?
Dan saya pun bertemu dengannya.
Agung Tri Ono, penggerak Kampung Berseri Astra Lenggoksono |
Pria berusia 32 tahun itu tak muncul seperti pahlawan kesiangan.
Pun seolah mengklaim kalau hanya berkat dirinya seorang-lah para perempuan
Lenggoksono ini begitu lugas bercerita soal ecobrick,
hingga pemanfaatan limbah dapur jadi pupuk kompos di lahan toga depan rumah,
kebun-kebun cengkih dan kopi sampai areal persawahan.
Karena bagi Agung Tri Ono, kecintaan luar biasanya
pada Dusun Lenggoksono jauh lebih besar daripada puja-puji dari semua orang.
Dia bahkan memilih berdiri menepi saat saya
berkeliling lingkungan tempatnya tinggal. Agung membiarkan bapak-bapak, ibu-ibu
dan kalangan muda sepertinya yang bergantian cerita. Dia hanya sesekali memberi
tambahan informasi yang diperlukan, sambil mendengarkan para warga berganti
mengurai kisah.
Ya, pria yang cuma berakhir di bangku SMP karena
minimnya kesempatan menempuh pendidikan tinggi sebagai anak desa inilah sang
‘pencuci otak’ warga kampungnya.
Bersama Kasembadan, pakdhe yang begitu dekat layaknya
seorang Ayah baginya itu, Agung mengubah peradaban dusun yang bisa dibilang
dulu tertinggal, kini menjelma menjadi salah satu Kampung Berseri Astra (KBA)
dengan kualitas teratas.
Lenggoksono, Desa Para Pejuang dengan Semangat Tanpa Batas
“Saat awal melakukan perubahan itu sulit. Tanggapan
mereka bahkan meremehkan, apakah anak muda seperti saya bisa dipercaya? Apalagi
RW 01 tempat kami tinggal ini tidak punya gedung pertemuan. Kita memakai
posyandu saat itu, sambil memulai program pertama yakni penghijauan,” papar
Agung memulai ceritanya siang itu.
Bukan tanpa alasan kenapa Agung mengenalkan
penghijauan kepada para warga. Karena baginya, penghijauan sesuai dengan salah
satu tema yakni lingkungan selain budaya dan wisata kriya kala itu.
“Bagi saya, kalau kita melakukan perubahan untuk
lingkungan, dampaknya juga akan ke wisata pula. Sehingga pastinya bakal lebih
berkelanjutan,” tambahnya sambil memakan pisang goreng yang tentunya bahan
didapat dari kebun warga sendiri.
Dan berawal dari penghijauan itu pula, kini hampir di seluruh enam RT dalam lingkup RW 01 di Dusun Lenggoksono sudah memiliki kebun TOGA
(Tanaman Obat Keluarga). Kalian bisa dengan mudah menemukan tanaman jahe,
kunyit, temulawak, kencur, sirih, temu ireng, lidah buaya, sambilata, binahong
hingga beluntas di beberapa rumah.
tanaman Toga dan jamu segar Lenggoksono |
Saya bahkan menghabiskan dua cangkir jamu kunyit asam,
pun membawa satu botol untuk dibawa ke kota yang diberikan secara cuma-cuma
oleh warga setempat. Tanpa pemanis buatan, jamu itu bahkan terasa begitu segar,
sesegar bagaimana lingkungan Lenggoksono dalam ingatan saya.
Bak gadis remaja yang tahu caranya bersolek, dusun
yang dikelilingi perbukitan hijau dan berpagar Samudera Hindia ini bahkan semakin
bersih dalam kurun waktu satu tahun saja. Gereja dan Masjid yang berdiri
berdampingan mungkin sebuah bukti yang tak perlu menjelaskan lebih lanjut,
betapa toleransi telah mendarah daging dalam benak warganya.
“Desa kami ini dulu adalah daerah pengungsian
tentara-tentara Indonesia yang melawan para penjajah. Mereka hidup di sini,
saling bercocok tanam dan mencari hasil bahari di laut. Tapi karena ikan mulai
sulit, beberapa di antara mereka mencari hewan buruan di hutan,” cerita
Kasembadan saat kami sedang duduk bersantai di tepian sungai sambil melihat
beberapa anak sedang asyik berenang.
Usianya memang tak muda lagi, sudah 65 tahun. Namun
mata Kasembadan begitu berbinar saat bercerita mengenai cikal bakal kampung
yang dia cintai ini. Saya mau tak mau menyadari betapa semangat membara yang
dimiliki Agung, begitu mirip dengan yang terpancar dari kerut-kerut wajah tua
Kasembadan.
pakdhe Kasembadan dan tumpukan daun cengkih siap disuling |
“Konon dari cerita leluhur saya, ada orang yang tengah
memburu babi hutan alias celeng di bukit. Celeng itu kemudian berhenti, lenggok
di bawah pohon sono atau angsana (sono kembang). Dari situ dia bilang ‘ini
nanti kalau zaman berubah, daerahnya bernama Lenggoksono’,” urainya sambil
menatap hutan-hutan di dekat sungai.
Pandangan mata saya mencoba mengikuti Kasembadan.
Menembus hutan mencari keberadaan pohon angsana itu. Tidak terlihat memang.
Tapi saya tahu bahwa pohon yang kerap dijuluki raksasa rimba itu memang begitu
besar. Mampu mencapai 3,5 meter tingginya, angsana memiliki dedaunan lebat
mirip kubah dengan cabang-cabang merunduk hingga ke tanah.
Di dekat kami duduk, seorang anak mencoba melompat
dari batu ke sungai. Tawa rekan-rekannya berderai saat tahu dia tak bisa
melakukan lompatan secara sempurna.
“Penduduk kampung kan biasanya yang penting anaknya
bisa baca tulis, tidak perlu sekolah tinggi karena bisa bekerja di kebun. Tapi
bagi saya, pendidikan itu penting karena itulah yang bisa mengubah kualitas
diri manusia,” ungkap Agung memecah keheningan yang menggelayut di antara kami.
“Orang-orang kota selalu berpikir bahwa masyarakat
Lenggoksono ini punya banyak uang. Mungkin kami memang seperti itu karena kami
memiliki banyak hasil bumi yang bisa jadi penghasilan. Tidak ada warga kami
yang jadi buruh, kami semua berjuang untuk diri sendiri,” lanjut Agung sambil
memanggil seorang anak yang sedang bermain di sungai, untuk sedikit menjauh
dari area yang cukup dalam.
Saya terdiam, benar kiranya jika leluhur masyarakat
Lenggoksono ini adalah para serdadu perang. Puluhan tahun semenjak moyangnya,
perjuangan memang menjadi denyut kehidupan mereka.
Dan bunga api perjuangan itulah yang mengalir dalam
pemikiran Agung. Gagal menjadi salah satu penerima SATU Indonesia Awards 2017
bukanlah menjadi penghenti langkahnya. Pemuda dengan kulit terbakar matahari
khas masyarakat pesisir ini tahu, bahwa perjuangannya demi Lenggoksono tidaklah
terbatas pada piala.
Peradaban Berubah, Masa Depan Membuncah
Diletakannya ponsel Android yang sedari tadi dia
pegang. Kaki kecilnya melangkah ke dalam rumah, mengambil sampur alias selendang tari yang sejurus kemudian sudah terikat di
pinggangnya. Tubuhnya bergerak seiring dengan alunan kendang, kenong dan gong
kecil yang ditabuh laki-laki dewasa, sesuai dengan tarian yang sudah tentu dia
hapal di luar kepala.
Bersama tiga bocah perempuan dan satu orang anak
laki-laki lainnya, tangannya gemulai menari. Suara gemerincing memenuhi udara
ketika gongseng-gongseng di kaki
kelima penari itu saling beradu dengan alunan irama gamelan.
bocah-bocah penari Lenggoksono |
“Di sini semua anak bisa jadi penari, mau laki-laki
atau perempuan. Mereka biasanya latihan di sanggar tiap Sabtu malam. Mereka
juga siap ditanggap, tampil menari di
Balai Desa Purwodadi,” jelas Agung dengan suara sedikit tenggelam oleh musik
Jawa itu.
Sejak terpilihnya Lenggoksono sebagai salah satu KBA
di tahun 2021 ini, perubahan besar memang terjadi. Perkampungan yang dalam
benak masa kecil Agung sering ada sampah berserakan itu telah berubah 180
derajat. Jalan-jalannya sudah tertata rapi, pun dengan halaman-halaman rumah
warganya.
Namun perubahan peradaban itu tidak serta-merta turut
menghilangkan tradisi budaya kuda lumping yang sudah jadi ikon Desa Purwodadi
dari generasi ke generasi.
Bahkan Ibu-Ibu kampung juga masih banyak yang melakukan
tabuh lesung. Ya, tradisi klothekan
ini memang menjadi salah satu seni tradisional yang mulai tergerus zaman,
padahal sebagai penanda sekaligus memperkuat betapa guyub dan rukunnya
masyarakat.
Ibu-Ibu asyik tabuh lesung. anak-anak bermain egrang |
Mereka paham betapa pentingnya kebersihan lingkungan,
betapa pentingnya kesehatan dengan penanaman tanaman obat dan keberadaan
posyandu yang rutin dihadiri bidan dari pusat kota itu. Mereka pun tetap
menjunjung tinggi produktivitas dengan mengolah sampah-sampah anorganik menjadi
bahan layak jual, olahan jamu-jamu segar, produksi kopi bubuk sampai keripik
pisang yang diambil dari hasil bumi mereka sendiri.
Kita ini orang-orang desa. Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau memperjuangkan Lenggoksono? Apa iya orang-orang dari Dampit atau dari Malang? Kita harus terus berjuang dan berubah menjadi kampung yang aman, indah serta damai, ~ Kasembadan
Dan ketika bola salju perubahan itu sudah mulai
digelindingkan oleh Agung, Lenggoksono pun menatap asa baru di masa depan
sebagai Desa Wisata.
Model pemberdayaan masyarakat melalui pariwisata alias
CBT (Community Based Tourism) ini memang
sejalan dengan mimpi besar Agung, saat dia memilih tema lingkungan dengan
program pertamanya yakni penghijauan kampung. Sekadar informasi, CBT ini pernah
diwujudkan dalam PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri
Pariwisata oleh Pemerintah Indonesia Kabinet Bersatu era Presiden SBY.
Menurut Goodwin dan Santil (2009), CBT bisa menjadi
konsep pengembangan destinasi wisata lewat pemberdayaan masyarakat lokal karena
mereka semua turut andil dalam proses perencanaan, penyampaian pendapat hingga
pengelolaannya kelak. Hal ini senada dengan pendapat Suansri (2003) mengenai
CBT, yang merupakan pariwisata dengan aspek-aspek berkelanjutan lingkungan,
sosial dan budaya.
asrinya rumah-rumah di Dusun Lenggoksono |
Atau bisa saja Lenggoksono yang menawarkan suasana
segar dan lingkungan sehat ini mengikuti jejak Dusun Pentingsari, Desa
Umbulharjo, Cangkringan, Kabupaten Sleman yang sudah selama bertahun-tahun ini
dikunjungi wisatawan menyaksikan rutinitas harian penduduk setempat sekaligus
berkunjung ke obyek-obyek wisata yang ada. Keramahan yang terpancar jelas akan membuat siapapun nyaman berlama-lama di Lenggoksono.
Agung (berbaju hita) dan penggerak KBA Lenggoksono lainnya |
Sebagai potongan Nirwana, Lenggoksono memang terletak
di antara dua teluk besar Desa Purwodadi sana. Teluk itu memanjang dan
melintasi tiga buah pantai cantik yakni Wediawu, Lenggoksono dan Bolu-Bolu.
Adanya air terjun Banyu Anjlok di Bolu-Bolu membuatnya lebih menonjol dibanding
pantai-pantai lain di pesisir selatan Malang.
Asa menjadikan Lenggoksono termahsyur seperti Desa Panglipuran
di Kubu, Kabupaten Bangli pulau Bali sana tentu bukanlah pepesan belaka.
Bahkan meskipun para pemangku kekuasaan Kabupaten
Malang belum banyak yang menjejak di Dusun Lenggoksono, warga kampungnya sudah
melangkah bersama menjadi Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata).
Mereka semua tahu bahwa berkembangnya Lenggoksono
menjadi lebih baik akan mendatangkan multiplier
effect. Dan gerbang perubahan itu telah dimulai oleh Astra saat mengajak
serta Agung pada bulan Oktober tahun 2020 lalu.
Sayap Harapan itu Bernama Astra
Agung (berbaju hitam) dengan warga Lenggoksono |
“Kami memiliki leluhur yang adalah para pejuang dan
itu tetap menjadi tradisi hingga kini. Pihak Astra pernah bertanya kepada warga
di Lenggoksono, apa yang akan mereka lakukan jika Astra tidak membantu? Dan
mereka tanpa ada yang menyuruh serta meng-koordinir, memilih untuk tetap
menjalankan dan memperjuangkan program-program yang menjadikan Lenggoksono
lebih baik. Saya saat itu benar-benar haru dan sangat bangga,” kenang Agung
sambil berjalan di sebelah saya.
Tatapan matanya berbinar dan penuh percaya diri. Kini
dia tidaklah berjuang sendiri. Tepat di belakangnya langkah-langkah perubahan
itu diikuti oleh masyarakat tempatnya tinggal.
Agung tak menampik bahwa kehadiran Astra yang memilih
Lenggoksono sebagai salah satu KBA unggulan memang membuat masyarakat jadi
lebih peduli pada alam. Baginya, Astra yang memiliki program kerja sangat besar
dengan fokus pada kegiatan sosial demi masyarakat ini adalah wadah sekaligus
jalan mereka untuk menjadi jauh lebih baik.
“Saya pernah gagal di SATU Indonesia Award, tapi itu
tidak membuat saya berhenti. Saya hanya meragukan diri yang cuma seorang anak
desa, tanpa gelar akademisi apa-apa. Saya berangkat dari konservasi lingkungan
di laut lewat pemeliharaan terumbu karang. Saya yakin, kepedulian besar untuk
alam adalah kunci perubahan yang diapresiasi betul oleh Astra,” lanjut Agung
sambil menyapa beberapa warga untuk dikenalkan pada saya siang itu.
gerbang KBA Lenggoksono |
Tentu perjalanan KBA Lenggoksono ini masihlah sangat
panjang. Jika ada kekurangan yang boleh disebutkan, akses jalan adalah jawaban
terbesar. Rusaknya jalan menuju Desa Purwodadi ini bahkan sudah lama
didengungkan oleh para Pokdarwis Bowele (Bolu-Bolu, Wediawu dan Lenggoksono)
sejak Agustus 2020.
Saya mau tak mau setuju memang. Karena setelah
melewati kawasan Desa Sumbertangkil. jalanan berlubang hingga rusak parah
benar-benar menguji kesabaran, meskipun akhirnya hamparan birunya laut di teluk
Bowele dari ketinggian mempu membayar keletihan perjalanan itu.
Apalagi pada bulan Juni 2021 lalu, hujan deras yang
mengguyur Malang Raya hingag semalam suntuk itu sempat membuat jembatan menuju
pantai Lenggoksono terputus meskipun saat saya melintasi, jembatan itu sudah
tersambung lagi.
Wahyu Hidayat selaku Sekda Kabupaten Malang sempat
mengurai janji pembenahan akses jalan Lenggoksono itu kepada Malang Times pada
tahun 2020 silam. Sudah menjadi salah satu program prioritas, rencana itu masih
harus mengalami penundaan lantaran rasionalisasi dan refocusing sehingga diperlukan penetapan PAK (Perubahan Anggaran
Keuangan) lagi.
Agung (berbaju hitam) duduk di samping Kasembadan (berbaju biru) |
Namun seolah tidak berpangku tangan, Agung dan warga
Dusun Lenggoksono tetap fokus pada mimpi mereka menjadi KBA dengan SDM yang
jauh lebih baik. Kini dengan layar yang sudah dikembangkan Astra, Lenggoksono
siap berlayar dari ujung lautan Malang selatan menuju samudera wisata dunia.
“Harapan saya ke depan adalah apa yang sudah kami
lakukan ini bisa memberikan dampak yang lebih luas. Kami sebagai penggerak
Kampung Berseri Astra akan terus mempertahankan konsistensi supaya masyarakat
tetap semangat menjalankan kampung,” paparnya di penghujung perjumpaan kami di
tepi pantai Lenggoksono sore itu.
Saya bisa melihat sepasang mata Agung menatap hamparan Samudera Hindia yang jauh di depannya sana. Tampak betul dia seolah bangga bahwa mimpinya itu kini mulai perlahan terwujud. Sedikit tergelak mengingat bagaimana warga desa pernah benar-benar tak tahu apa itu Astra ketika KBA ini memulai langkahnya.
pesona pantai Bolu-Bolu, Lenggoksono, Banyu Anjlok |
“Semoga kami segera diketahui oleh para pemangku kekuasan. Kami ingin apa yang kami miliki ini mampu dilihat pihak luas. Lenggoksono punya potensi yang luar biasa, baik dari segi wisata, peternakan, perkebunan, lingkungan dan tentunya budaya,” tutupnya sambil tersenyum lebar.
Tetaplah bersolek hai Lenggoksono, kelak kita berjumpa
lagi, pastikan keramahan kalian tidak pernah tergerus tipu-tipu dunia fana ini.
Deskripsi tentang Desa Lenggoksono dan kemajuan masyarakat di sana buat saya ingin juga berkunjung ke sana, Mbak.
BalasHapusKayaknya daerahnya asri, adem dan pasti nyaman karena keramahan warganya.
Salut dengan penduduknya yang mau diajak bergotong-royong mewujudkan kampung berseri Astra. Semoga desa mereka makin maju ya
BalasHapusSalute untuk warga Desa Lenggoksono yang saat ini sudah dengan kesadaran sendiri mengolah sampah untuk menciptakan lingkungan yang asri, serta menjadikan daerahnya menjadi salah satu Kampung Berseri Astra. Semoga juga jadi desa wisata yang banyak dikunjungi wisatawan.
BalasHapusasri sekali ya di kampung Lenggoksono ini. semua warga nampak bersahaja dalam saling membantu untuk menciptakan lingkungan yang asri. aku pernah datang ke salah satu kampung berseri Astra juga, memang untuk membuat sebuah habit berubah sulit sekali, salut aku!
BalasHapuskeren ya sama kegigihan mas Agung Tri Ono bisa ngajak masyarakat buat penghijauan, pembaruan kampungnya sampe bikin pengolahan sampah jadi eco brick, bikin jamu dari tanaman obat keluarga juga jadi bisa memberdayakan masyarakat kampung berseri astra lenggoksono yaa, dan ternyata dapet dukungan juga dari Astra
BalasHapusSalut dan menginspirasi banyak orang untuk bisa menjaga lingkungan agar tetap hijau. Bisa kita contoh ya
Hapuswah menarik sekali ya produk ecobrick ini bagus banget dimanfaatkan untuk mengurangi limbah plastik nih, dan sangat useful yaaa, jujur aku baru tau loh nih setelah baca tulisanmu mba
BalasHapusWah keren nih bisa jd contoh buat desa yang lain mengenai Pemanfaatan sampah2 bisa jd barang yg bermanfaat dan tak ada warga yg jadi buruh
BalasHapus
BalasHapusLautnya bagus ya. Indah banget. Air nya juga jernih.
Kebudayaannya juga masih kental. Nilai leluhurnya masih terjaga
Melihat cerita ini, aku jadi kangen Jayapura... kondisinya kurang lebih mirip seperti ini... kalo jaman sekarang sabtu minggu agendanya kebanyakan ke mall.. kalau dulu ketika ku di jayapura agenda sabtu minggu adalah men ke sungai.. itu udah senanng bangett... abis main di sungai minum es cendol bareng :)
BalasHapusLuar biasa ya Desa Lenggoksono ini. Daya tariknya benar2 kaya akan budaya, pengolahan dan ramah lingkungan. Mencintai lingkungan untuk generasi saat ini dan akan datang. Salut.
BalasHapusOalah jadi banyu anjlok itu masuk di desanya Lenggoksono. Terkenal sih banyu anjlok nya. Keren nih storytellingnya. Semoga menang ya..
BalasHapus
BalasHapusBanyak sosok pahlawan di dunia real ini yang tidak tersorot kamera. Salah satunya ya mas Agung Tri Ono bisa ngajak masyarakat buat penghijauan dan pembaruan kampungnya. Inspiratif
Jadi berwarna ya Desa Lenggoksono ini, dan tentunya pemberdayaan di sana sangat baik, sehingga sama-sama saling membangun desa untuk makin dikenal dan bisa menjadi pemasukan juga sebagai desa wisata
BalasHapussalut sama orang2 yang konsisten membuat pupuk cair dari sampah. aku aja ga kuat huhu.. tapi memang manfaatnya tuh lebih kerasa baik untuk tanaman maupun kebersihan lingkungan ya mba
BalasHapusSalut buat perjuangan mas Agung mengubah Lenggoksono menjadi indah seperti saat ini. Nah, dia bisa menang KBA itu diusulkan atau Astra yang survei sendiri ya kak? Duh pingin banget ada orang seperti mas Agung itu di kampung aku. Dan bisa mendapatkan bantuan dari Astra utk mengubah desaku seperti Lenggoksono. Semoga terwujud. Salut buat Astra yang melakukan CSR ke kampung2 seperti ini. Kemajuan negara emang harus diwujudkan dari desa.
BalasHapusKeren banget ini jadi kampung impian sepertinya ya.. Andai semua tempat bisa dapat kesempatan untuk berkembang seperti ini, keren Astra dan para penggiatnya :)
BalasHapusudah suasananya asri, orang-orangnya juga guyub sekali. semoga banyak CSR kayak gini di kampung-kampung lainnya juga :)
BalasHapusPerjuangan yang tidak megenal lelah, mashaAllah~
BalasHapusHasilnya pun bisa dirasakan maksimal dan semoga menurun kebiasaan baiknya hingga generasi berikutnya.
Lestari Desa Lenggoksono bersama Astra.
Pengolahan sampah menjadi salah satu tantangan bagi masyarakat baik di desa khususnya di kota. Namun semangat dan kesadaran masyarakat Lenggoksono sungguh menggugah. Bahwa manusia dapat memilih, ingin merusak atau menyelamatkan bumi ini.
BalasHapuswadah wadah POC menarik sih, belum pernah sy lihat sebelumnya. Cmn soal pengelolaan sampah, kurleb ud pernah mengunjugi KBA Rajawati di Jakarta
BalasHapusterharu banget bacanya, melihat sebuah perkembangan sebuah daerah ditangan para pemuda Indonesia, semoga makin banyak generasi mudah yang berkontribusi terhadap perkembangan daerah
BalasHapusbener, kalau baca cerita begini, rasanya bangga banget sama pemuda Indonesia yang berani membuat perubahan ya buat negerinya. Hal sederhana tapi dampaknya wow..
HapusSaking asri dan bersihnya udah lebih dari kampung wisata saja ya...
BalasHapusSuatu saat pengen main ke sana. Belajar banyak tentang kehidupan dan program yang sangat luar biasa itu...
Jadi pingin ke Malang, terutama ke Lenggoksono ini buat belajar ke mas Agung. Soalnya kampungku dari dulu ngga berubah sama sekali. Anak2 pintarnya malah merantau ke kota. Ya mengejar kehidupan yang lebih baik. Tapi kan desanya ngga berkembang sama sekali, sampai saat ini.
BalasHapusDesa emg butuh orang2 seperti mas Agung ini. Termasuk sentuhan CSR dari swasta, terutama dari Astra. Semoga KBA makin melebar ke penjuru negeri. Biar makin banyak desa yang lestari dan sejahtera.
Masya Allah, salut sama pak agung yaa. Mampu jadi motivator yang hebat untuk dirinya sekaligus penduduk desa. Kampung berseri Astra lenggoksono makin berjaya, makin nyambung dan rukun penduduk nyaq
BalasHapusKampungnya terlihat asri dan nyaman. Keren nih warganya...Btw, ngomongin ecobrick, kelihatannya simple masuk2in doang ke botol. Tapi kalau ga benar2 padat harus di ulang lagi. Diriku dulu pernah bikin dan nyerah hahaha....
BalasHapussalut banget sama mas Agung yang dengan gigih menjadikan kampung lenggoksono menjadi kampung yang berdaya pada penduduknya. pastinya hal ini sangat berarti baginya dan juga warga kampung
BalasHapusKBA Lenggoksono persisi seperti yang Mbak Arai deskripsikan ya, bak gadis yang tahu caranya bersolek, rapi banget desanya dan lengkap dengan TOGA, ada olahannya pula. Mbak Arai sampe abis 2 cangkir ya minum kunyit asemnya, enaak
BalasHapusLuar biasa buat penggagasnya, saya yakin perjuangan buat menyadarkan masyarakat tidaklah mudah. Pasti banyak gelombang pertentangan yang dialami.
BalasHapusSalut buat Astra yang memberikan apresiasi tinggi terhadap orang-orang yang berkiprah buat lingkungan
baca ini dan amazinggg banget sama kepedulian pak Agung dengan lingkungannya.
BalasHapusAku bertahun-tahun tinggal di Malang dan dulu sering ke Kepanjen juga tapi baru tau ada daerah bernama Lenggoksono
bersih banget desanya ya, aku suka kalau liat pemukiman warga yang seperti ini
kegiatan warganya juga terarah
Selalu terkesima kepada orang-orang hebat seperti Pak Agung ini. Tak peduli apapun latar belakangnya, tapi memiliki semangat untuk perubahan yang lebih baik. Mengajak sesama warga untuk menjadikan Lenggoksono jadi tempat yang penuh karya dan berdaya saing.
BalasHapusPatut dicontoh oleh desa-desa lainnya nih.
Waaah takjub banget aku liat Lenggoksono yang kece abis. Aku krlamaan hidup di metropolitan haus sekali suasana oerkampungan adem asri dan sejuk dipandang seperti ituuuu
BalasHapusSemoga Lenggoksono semakin maju yaa, btw salut banget sama pengolahan sampahnya. Patut dicontoh...
BalasHapusSalut dengan orang-orang yang memiliki kepedulian tinggi terhadap daerahnya, seperti pak Agung ini. kebanyakan orang muda sekarang pilih meran tau dibandingkan membangun daerahnya. Melihat perkembangan Lenggoksono, rasanya kampung halamanku yang sejak 30 tahun yang lalu tak banyak berubah perlu melakukan studi banding ke sana.
BalasHapusAku baru sadar, Lenggoksono ini dekat dengan rumah adik iparku yang ada di Kabupaten Malang. Sungguh luar biasa untuk menuju ke sana. Dan benarlah..sesampainya di Desa yang indah ini rasanya betah sekali. Suasana yang masih alami dan dinginnya udara di siang hari sekalipun, menambah semangat para penduduk Desa untuk terus produktif.
BalasHapusKeren banget Lenggoksono, warga di sana saling peduli untuk menjaga kelestarian lingkungan dengab mendaur ulang sampah plastik. Bahkan tradisi di sana masih berjalan. Pantas saja didukung Astra sebagaibKampung Berseri Astra. Btw, pantainya cantik banget. Jadi pengin ke sana.
BalasHapusAku pernah coba membuat ecobrick tapi baru di satu botol saja. Hihi. Bermanfaat banget sih kalau bisa memanfaatkan bahan2 bekas ya kak. Warga memang harus peduli dengan lingkungan sekitarnya.
BalasHapusDesa Lenggoksono di foto terlihat bersih dan asri banget, jalannya desanya bisa bersih gitu. Salut juga untuk upaya pengolahan sampahnya demi ikut menjaga kelestarian lingkungan. Btw, itu pantainya bikin jadi kangen mantai
BalasHapusEnak ya mbak kalo masyarakatnya mau diajak maju. Di sini KBA gak begitu hidup.
BalasHapusMasyaAllah terlihat asri desa Lenggoksono ini. Pasti berkunjung ke sana jadi betah banget. Tempat yang cocok buat healing diri dari penatnya aktivitas kerja
BalasHapussukses dan sehat selalu untuk kakak ya :D
BalasHapusTulisan dan foto-fotonya bikin pengen ke lenggoksono. Desanya menarik banget selain pemandangannya, warganya juga semangat-semangat semua.
BalasHapus