Pemandangan di puncak Gunung Welirang |
“Gunt, ayo bangun. Rai, bangun. Djomb, bangun, udah kubikinin minuman buat kalian. Setengah jam kita lanjut summit ya,”
Suara dua rekanku naik gunung itu terdengar seperti alarm yang membangunkanku secara paksa. Ya, tubuhku masih meringkuk di dalam sleeping bag, enggan beranjak karena dia sungguh ketakutan dengan suhu lembah Lengkehan yang mencapai 11°C itu. Namun mendengar kalimat pertama tadi, kuenyahkan perasaan posesif untuk kembali tidur.
Langsung kuambil dan kupasangkan headlamp di kepala, tak sengaja menyorot rekanku yang juga meringkuk di sebelahku. Sinar headlamp itu membuatnya menggeliat dan akhirnya menegakkan posisi duduknya. Tampak enggan betul terbangun, tapi tidak punya pilihan.
Kulihat jam di layar ponselku, pukul setengah empat pagi. Bar sinyal internet sama sekali lenyap dari kemarin sore ketika kami baru saja memasuki area hutan raya Raden Soerjo ini. Sinyal ponsel semakin tak muncul ketika langkah-langkah kami makin tinggi menuju Lengkehan, area camping sebelum puncak Welirang.
Kukenakan sandal gunung milik rekanku dan mencoba bangkit perlahan, keluar dari tenda.
Angin dingin langsung berhembus dan menembus tulang-tulangku, Lengkehan benar-benar tidak ramah sama sekali pagi ini. Namun karena aku sudah tidak sanggup menahan rasa ingin buang air kecil, akupun langsung berjalan menuju rerimbunan dengan bermodalkan sinar headlamp di kepala.
Hampir satu jam kemudian, persiapan summit attack kami sudah selesai. Kini kami berlima sudah mengenakan sepatu gunung, sarung tangan, merapikan jaket dan celana, mengecek air minum dan beberapa snack di daypack, siap menuju puncak setinggi 3.156 mdpl itu.
“Kita harus mendaki puncak Kembar 1 dulu, terus turun lembah, baru deh sampe ke Welirang. Ya kalau lancar, minimal dua jam lah perjalanan,” jelas Otus, senior yang selalu mengisi posisi leader team setiap kami mendaki gunung.
Aku mengangguk
Perjalanan pendakian gunung kali ini jelas tidak mudah. Bahkan bisa kubilang bakal cukup sulit.
Namun ketika kakiku yang sudah begitu letih karena sejak Subuh tadi dipaksa melaju di jalanan terjal dan luar biasa menanjak hingga kemiringan 60° mencapai puncak Welirang, hanya rasa kepuasan dan ketakjuban yang kurasakan.
Hamparan langit di Puncak Welirang |
Rindu.
Aku sangat rindu dengan langit biru tanpa batas dan tak terhalang yang menyapaku kembali di setiap puncak gunung. Alasan yang selalu membuatku ingin melakukan pendakian.
Janji Birunya Langit dari Hutan Belantara
Langit di atas Laut Jawa |
Kalau kalian bertanya padaku, sebetulnya mendaki gunung tidaklah pernah menjadi hobiku. Saat sekolah menengah dulu, aku hanya sempat satu kali ikut ekstrakurikuler pencinta alam yang berakhir kabur, karena tidak sanggup dengan pelatihannya yakni bergelantungan memanjat pohon besar di kebun sekolah.
Hanya saja ketika aku memasuki fase quarter life crisis dan merasa jenuh dengan pekerjaan di media online, aku mulai mengiyakan ajakan naik gunung yang dimulai di Panderman.
Sejak itu, aku yang sebetulnya sangat malas berolahraga ini begitu menikmati jam-jam pendakian yang begitu melelahkan itu. Harus mengatur napas satu-persatu saat jalan makin menanjak, menahan rasa pusing ketika stok oksigen yang berkurang, membawa beban puluhan kilogram dalam carrier menjulang, menahan udara dingin menembus kulit sampai menembus hutan belantara, bukanlah sesuatu yang pernah kukeluhkan lagi.
Bahkan bisa dibilang, itu adalah sebuah candu yang selalu ingin kuulang.
Hanya saja ketika aku memasuki fase quarter life crisis dan merasa jenuh dengan pekerjaan di media online, aku mulai mengiyakan ajakan naik gunung yang dimulai di Panderman.
Sejak itu, aku yang sebetulnya sangat malas berolahraga ini begitu menikmati jam-jam pendakian yang begitu melelahkan itu. Harus mengatur napas satu-persatu saat jalan makin menanjak, menahan rasa pusing ketika stok oksigen yang berkurang, membawa beban puluhan kilogram dalam carrier menjulang, menahan udara dingin menembus kulit sampai menembus hutan belantara, bukanlah sesuatu yang pernah kukeluhkan lagi.
Bahkan bisa dibilang, itu adalah sebuah candu yang selalu ingin kuulang.
Ranu Kumbolo di Semeru |
Ya, langit biru.
Aku begitu menyukai memandang hamparan langit biru tanpa batas itu.
Saat aku masih kecil, aku selalu menduga kalau langit biru itu adalah sebuah kebetulan, buah keisengan Sang Maha Perkasa saat mencipta semesta.
Namun ternyata menurut Ensiklopedia Britannica, ada tiga faktor penyebab warna langit. Pertama adalah panjang-pendeknya gelombang cahaya yang masuk, kedua molekul dan ketiga ialah partikel debu di udara.
Dalam pelajaran sains dulu, kita tentu dijelaskan bahwa cahaya matahari yang terlihat berwarna putih itu sebenarnya terdiri dari setidaknya tujuh warna pelangi yakni merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Nah, gelombang-gelombang cahaya ungu dan biru yang pendek itu lebih mudah diserap oleh molekul udara daripada warna merah, jingga dan kuning yang lebih panjang.
Sedangkan untuk warna birunya, NASA menjelaskan melalui situs resminya bahwa mata manusia lebih sensitif terhadap cahaya biru daripada cahaya ungu. Dua gas terbesar di atmosfer yakni nitrogen (78,08%) dan oksigen (20,95%) lebih banyak menangkap gelombang cahaya biru yang pendek sehingga membuat langit membentang begitu biru.
Saat matahari terbit dan tenggelam, warna langit akan berubah dan dihiasi semburat merah, jingga dan kuning karena gelombang-gelombang panjang ini lebih mampu bertabrakan dengan molekul udara dan merupakan fenomena alami.
Namun langit bisa berwarna putih keruh karena adanya polusi.
Dalam pelajaran sains dulu, kita tentu dijelaskan bahwa cahaya matahari yang terlihat berwarna putih itu sebenarnya terdiri dari setidaknya tujuh warna pelangi yakni merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Nah, gelombang-gelombang cahaya ungu dan biru yang pendek itu lebih mudah diserap oleh molekul udara daripada warna merah, jingga dan kuning yang lebih panjang.
Sedangkan untuk warna birunya, NASA menjelaskan melalui situs resminya bahwa mata manusia lebih sensitif terhadap cahaya biru daripada cahaya ungu. Dua gas terbesar di atmosfer yakni nitrogen (78,08%) dan oksigen (20,95%) lebih banyak menangkap gelombang cahaya biru yang pendek sehingga membuat langit membentang begitu biru.
Saat matahari terbit dan tenggelam, warna langit akan berubah dan dihiasi semburat merah, jingga dan kuning karena gelombang-gelombang panjang ini lebih mampu bertabrakan dengan molekul udara dan merupakan fenomena alami.
Namun langit bisa berwarna putih keruh karena adanya polusi.
Langit biru di gunung Bromo |
Dibandingkan di alam bebas, langit-langit di perkotaan tentu terlihat lebih kusam karena tingginya polusi udara.
Namun apakah kalian yakin kalau langit di alam bebas akan selamanya tampak biru?
Bagaimana jika akhirnya hutan-hutan yang selama ini melepaskan oksigen lewat proses fotosintesis digunduli dan tak ada lagi yang menyerap karbon berbahaya?
Mungkin langit biru hanya akan jadi kenangan.
Ya, belantara gagal menjanjikan birunya langit kepada manusia karena hijau yang sudah menghilang.
Memanusiakan Semesta, Dengar Alam Bernyanyi
Pada awal Januari 2021 lalu, pernah viral unggahan mengenai kondisi deforestrasi di Kalimantan yang begitu meresahkan. Sebagai pulau dengan area hutan hujan tropis terluas di Indonesia, Kalimantan memang bukan hanya sekadar paru-paru Ibu Pertiwi, tapi juga Bumi.Dalam gambar itu terlihat betapa kawasan hutan Kalimantan dalam waktu tujuh dekade terakhir, mengalami penyusutan yang cukup mengerikan.
unggahan viral kondisi hutan Kalimantan |
Kendati kemudian dibantah oleh LAPAN karena dianggap terlalu berlebihan padahal kenyataannya tak seekstrem itu, tetap tak bisa mengurangi fakta jika deforestrasi di negeri ini terutama Kalimantan, telah terjadi.
kondisi deforestrasi Kalimantan menurut LAPAN |
Tentu saja deforestrasi ini seperti bom waktu yang akan menggelindingkan lingkungan ke ancaman lenyapnya keanekaragaman hayati (kehati), emisi karbon, kesehatan masyarakat dan akhirnya bencana alam.
Bisa saja, langit biru akhirnya hanya tinggal kenangan kalau hutan benar-benar lenyap dari Bumi Indonesia.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan?
Haruskah kita menjadi ranger dan menghentikan upaya-upaya penggundulan hutan dengan cara apapun?
Ada satu langkah yang begitu ringan bisa kita lakukan.
Lewat lagu.
‘Bila kau ada waktu, lihat aku di sini. Indah lukisan Tuhan, merintih ingin kau kembali, beri cintamu lagi.Tidak butuh waktu lama bagiku untuk jatuh hati pada lagu ciptaan Laleilmanino itu.
Bila kaujaga aku, kujaga kau kembali. Berhentilah mengeluh, ingat, kau yang pegang kendali.
Kau yang mampu obati, sudikah kau kembali?
Pandanglah indahnya biru yang menjingga. Simpanlah gawaimu, hirup dunia. Sambutlah mesranya bisik angin yang bernada, dengar alam bernyanyi’
Lirik-lirik yang disenandungkan seolah membawaku berimajinasi ketika para penghuni belantara bernyanyi. Mengutarakan kerinduan, kesedihan dan harapan untuk tetap lestari pada manusia, kasta tertinggi makhluk hidup di semesta ini.
Sebuah nyanyian dari alam.
Mungkin tampak seperti langkah kecil, tapi setiap kali kita mendengarkan lagu itu di platform musik legal seperti Spotify, Youtube, Apple Music sampai JOOX, kita sudah melakukan kontribusi untuk Bumi.
Kok bisa begitu?
Karena lagu yang terpilih sebagai official theme song Y20 Indonesia itu akan menyumbangkan sebagian royaltinya untuk konservasi dan restorasi hutan adat di Kalimantan.
Sebuah aksi mungil yang jika aku, kamu dan kalian lakukan, akan memberi dampak yang besar. Bersama-sama dengan #EcoBloggerSquad, aku siap mengajak siapapun untuk lebih memahami dan mendengarkan keinginan belantara dan langit lewat Dengar Alam Bernyanyi.
Bukankah seperti itu cinta terjadi?
Hal-hal kecil yang akhirnya terbiasa.
Jadi apakah kalian siap membalas sapaan salam dari langit dan hutan di penjuru Bumi?
Mungkin tampak seperti langkah kecil, tapi setiap kali kita mendengarkan lagu itu di platform musik legal seperti Spotify, Youtube, Apple Music sampai JOOX, kita sudah melakukan kontribusi untuk Bumi.
Kok bisa begitu?
Karena lagu yang terpilih sebagai official theme song Y20 Indonesia itu akan menyumbangkan sebagian royaltinya untuk konservasi dan restorasi hutan adat di Kalimantan.
Sebuah aksi mungil yang jika aku, kamu dan kalian lakukan, akan memberi dampak yang besar. Bersama-sama dengan #EcoBloggerSquad, aku siap mengajak siapapun untuk lebih memahami dan mendengarkan keinginan belantara dan langit lewat Dengar Alam Bernyanyi.
Bukankah seperti itu cinta terjadi?
Hal-hal kecil yang akhirnya terbiasa.
Jadi apakah kalian siap membalas sapaan salam dari langit dan hutan di penjuru Bumi?
Salam balik buat langit dan hutan. Sampaikan terima kasihku karena ketegaran selama ini. Semoga aku bisa ikut menjaga biru dan hijaunya mereka.
BalasHapusaku baru aja dengar musiknya dari youtube... easy listening ya... dan tulisan mbak Arai cakep storytellingnya.
BalasHapusWawawawa, dipuji koded nih jadi salting akutu hahaha. Iyes, lagunya emang cakep banget, akupun sekali denger udah langsung suka. Yuk dengerin yang sering lagunya biar makin banyak hutan Indonesia yang dibantu
HapusKontribusi sederhana untuk melestarikan hutan tanpa perlu ke hutan yaitu dengerin lagu Dengar Alam Bernyanyi. Btw, kalau ke gunung kirain pada pakai sepatu gunung..
BalasHapusEmang pake sepatu gunung kok kak, tapi tetep bawa sendal gunung selama ngecamp. Kalau pas trekking kita langsung pake sepatu semua. Gunung2 di Indonesia sekarang mayoritas wajib sepatu gunung.
HapusAlam tambah bersahabat dan terdengar nyanyian menyejukan hati kalau kita saling menjaga alam ini dan tidak merusak
BalasHapusMelihat hutan bagian dari healing dari rutinitas kerja. Namun miris rasanya penyejuk jiwa itu makin kencang deforestasi nya.
BalasHapusSemoga lewat nyanyian alam banyak mengetuk pintu hati siapapun agar bis menjaga alam dengan bijak
Melihat langit biru yang jernih itu selalu mampu membuat sebingkai senyum di wajah.
BalasHapusSemoga kita semua dapat berpartisipasi dalam menjaga birunya langit dengan menjaga hutan yang masih tersisa.
Mulai dari hal kecil yang berdampak besar buat keberlangsungan alam. Siap ikut mengkampanyekan lagu alam ini.
BalasHapusPemandangan alamnya kereen ya kakk, rasanya pengen banget naik gunung tapi takut di tengah jalan asmaku kambuh (gusti yeni)
Senangnya bisa bersahabat dengan alam ya mbak. Menikmati langit biru dan indahnya pegunungan. Saya naik gunung pertama kali dan terakhir kali di Panderman juga. Pas semester satu. Kenang kenangan banget pernah naik gunung .
BalasHapusBerkontribusi untuk kelestarian alam itu mudah ya kak
BalasHapusSalah satunya dengan mendengarkan lagu ini
Aku sudah dengerin, lagunya enak
Bahagiaaaa! Itu kata yang terlintas saat melihat langit biru, Ya Allah itu langit biru di Bromo cakep banget sumpah 😍😍😍
BalasHapusSudah lama ingin ke alam
BalasHapusApa daya rutinitas pun segunung untuk sekadar menengok ke atas
Langit biru seolah langka karena polusi
Saatnya bangkit dan dengarkan suara alam
lagunya enak didengerin ya mba, bisa cocok ama telingaku haha terlebih lagi cara menyampaikan pesan juga enak. kadang aku jadi teringat ama lagunya maliq yg judulnya mata hati telinga. pesannya jadi mudah sampai ke pendengar
BalasHapusDari tahun ke tahun kondisi hutan di Indonesia ini semakin mengkhawatirkan.
BalasHapusAku sedih ngliatnya dan semoga dengan mendengarkan lagu "Dengan Alam Bernyanyi" menggugah hati dari kita semua dari mulai blogger, influencer hingga tatanan tertinggi di negara ini turut menjaga dan melestarikan hutan Indonesia.
Cantiknya pemandangan alam dari ketinggian. Sayangnya hutan Indonesia memang makin sempit karena tergerus dengan peradaban manusia. Di daerah saya sendiri di jawa Timur, area kaki Gunung Lawu juga terus dibangun sehingga wilayah hutan banyak yg dibabat dijadikan tempat wisata alam. Judulnya memang wisata alam, tapi tetap saja mengurangi kawasan hutan alam dengan bertambahnya beton dan aspal.
BalasHapusWalaikumsalam semesta.
BalasHapusSelalu rindu jika mendengar nyanyin alam. Sekaligus takjub akan setiap keindahan yang Tuhan lukiskan