foto: AFP Photo |
“Nah itu Rai, tinggi banget kan? Batangnya bulat silindris sempurna dan bisa sampe setinggi empat puluh meter lebih,”
Aku menolehkan kepalaku ke arah yang ditunjuk oleh tangan Marolop sedari tadi. Aku pun menemukannya. Sebuah pohon menjulang dari lebatnya belantara, beberapa meter di sisi kananku yang duduk di samping jendela. Kuamati batangnya. Tak salah lagi. Itu adalah pohon meranti.
Mataku terbuka lebar, aku tersenyum senang.
Sebagai anak Jawa-Minang yang menghabiskan hidup sejak kecil di Malang, melihat pohon meranti secara langsung tentu bisa dibilang sebagai pemandangan yang cukup langka. Biasanya aku melihat meranti dalam bentuknya yang sudah menjadi kayu dan dibuat sebagai barang-barang mebel.
“Sayang ya kamu nggak bisa lihat pohon ulin, pasti bakalan lebih takjub. Kayaknya di hutan ini jumlah pohon ulin sangat sedikit. Kalau orang Kalimantan Tengah biasanya nyebut kayu dari pohon ulin itu tabalien. Sedangkan orang Dayak umumnya nyebut pohon ulin itu bulian,”
Perhatianku teralihkan sepenuhnya pada cerita Effendi Buhing yang duduk di depanku.
Meskipun tengah menjadi sopir dari mobil Hilux yang kami berlima kendarai, Pak Buhing –seperti kami menyapanya-, tak mengurangi kisah-kisah yang diurai dari mulutnya.
Hutan di pedalaman Kalimantan yang kulalui dengan AMAN |
Aku tak menyalahkan nada suaranya yang terdengar seperti menyimpan kerinduan kala berbicara soal ulin. Ulin sang pohon besi ini memang memiliki ikatan yang cukup kuat terhadap masyarakat Dayak seperti Buhing.
Namun nada bicaranya berubah dan terdengar marah ketika membahas populasi ulin yang bisa dibilang hampir punah di Kalimantan ini.
Pembukaan wilayah hutan untuk kepentingan konversi tanpa mengindahkan urusan keanekaragaman hayati adalah salah satu penyebab rusaknya habitat alami ulin. Belum lagi penebangan liar yang sepertinya sudah menjadi kisah sehari-hari masyarakat Dayak pedalaman, sampai karhutla (kebakaran hutan), membuat ulin mungkin hanya akan tinggal nama di masa depan.
Apalagi setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan kayu ulin dari daftar pohon yang wajib dilindungi, lantaran adanya protes dari pengusaha sawit, aku bisa menangkap rasa frustasi yang dipendam oleh Buhing.
Bagaimana dirinya tidak kecewa berat, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan sekaligus Ketua BPH (Badan Pelaksana Harian) PD AMAN (Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Lamandau ini bahkan belum pernah bertemu pohon ulin secara langsung. Buhing hanya menemui ulin dalam bentuknya sebagai kayu-kayu gelondongan di atas tanah-tanah latosol yang tentunya sudah dipenuhi sawit. Padahal sang kayu besi itu merupakan pohon endemik Borneo.
Kini ulin seperti halnya banyak masyarakat adat Dayak di Kalimantan, seolah dicabut paksa dari tanah-tanah kelahiran mereka. Sebuah siklus yang tak pernah putus, seperti halnya bagaimana oksigen-oksigen mulai terganti oleh metana saat gambut terbakar.
Kebakaran Hutan dan Panglima Burung Suku Dayak
Penyambutan rombongan kami di Lubuk Kakap |
“Adil ka’talino bacuramin ka’saruga basengat ka’jubata,”
“Arus, arus, arus,”
Aku diam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Jelas sama sekali tak memahami kalimat dalam bahasa Dayak itu.
Menangkap kebingunganku, Ferdi Kurnianto pun menggeserkan posisi duduknya mendekatiku. Pria berambut gondrong yang kutahu saat ini menjabat sebagai Ketua BPH AMAN Kalteng (Kalimantan Tengah) itu tersenyum penuh arti.
“Itu salam khas Dayak, Rai. Bisa dibilang juga falsafah hidup kami. Asalnya dari bahasa ahe punya suku Dayak Kanayatn. Makna luasnya itu, tidak boleh ada ketidakadilan di muka bumi ini. Terus dijawab sama orang-orang, amin, amin, amin,”
Aku mengangguk paham, Ferdi kemudian tersenyum ramah.
Mengikuti ekpedisi bersama rekan-rekan AMAN di pedalaman perbatasan Kalimantan Tengah – Kalimantan Barat selama sepuluh hari pada Februari 2023 kemarin, memang sebuah hal yang membawa banyak pelajaran bagiku. Dulu aku berpikir kalau suku Dayak adalah kelompok manusia tertutup yang sangat tidak ramah dengan orang-orang yang berasal dari luar pulau.
Namun ketika aku akhirnya mendarat di Bandara Iskandar Pangkalanbun dan dijemput oleh sejumlah rekan dari AMAN Kotawaringin Barat, pandanganku jadi berubah.
Masyarakat Dayak sebagaimana masyarakat-masyarakat adat di seluruh Indonesia, adalah pribadi yang begitu santun dan sangat menghargai lingkungannya. Pemikiran mereka berpusat pada kesejahteraan bersama dan berdampingan dengan alam secara damai. Meskipun mungkin akan dianggap kolot, seperti itulah cara mereka bertahan pada arus modernisasi tanpa berniat meninggalkan warisan leluhurnya.
Aku masih ingat betapa ramahnya masyarakat Dayak yang menyambut rombongan kami kala bermalam di Landau Kantu, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah maupun di Lubuk Kakap, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat kala itu.
Seperti bagaimana tradisi Dayak, kami disambut dengan prosesi potong pantan, ikat tongang di pergelangan tangan kanan, sampai mencicip seteguk tuak kebanggaan mereka. Bagi masyarakat Dayak, sebagaimana falsafah hidup mereka yang dijelaskan oleh Ferdi, tidak boleh keadilan menjadi hal yang lazim di bumi ini. Semua makhluk berhak diperlakukan secara berimbang. Mau manusia, hewan, hingga tumbuhan.
Kesetiaan dan prinsip keadilan itulah yang membuat masyarakat Dayak bertahan tinggal di pedalaman Kalimantan. Banyak dari mereka memilih berada jauh dari riuhnya ibukota demi melindungi rimbanya. Bahkan untuk menuju tempat mereka kita harus menembus hutan belantara dan perkebunan sawit yang dipenuhi tanah latosol, sehingga akan sulit dilewati kendaraan bermotor saat hujan lebat menerjang. Arus listrik di sini sangatlah terbatas dan ruang gerak mereka semakin dikepung oleh korporasi-korporasi sawit. Sudah ada banyak hutan adat yang dialihfungsikan sehingga masyarakat Dayak pedalaman memang semakin terhimpit.
Penelusuran Sungai Batang Kawa |
Sebuah potret warga pedalaman yang benar-benar jauh dari hingar pemerintah pusat.
Sebuah kemirisan bagaimana negeri ini memperlakukan garda-garda terdepan pelindung hutan.
Bahkan hampir setiap tahunnya, masyarakat Dayak harus berjibaku dengan banyaknya penduduk Kalimantan lain perihal karhutla.
Dalam laporan Kompas pada minggu kedua Agustus 2023 kemarin, kebakaran lahan mulai berdampak pada kualitas udara di Kalteng. Menurut data BPBPK (Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran) Provinsi Kalteng, ada 30 kebakaran dalam waktu 24 jam saja dengan luas sekitar 42,7 hektar lahan. Tak heran kalau satelit memantau adanya 341 titik panas yang semuanya tersebar di 14 kabupaten dan kota seluruh Kalteng.
Seolah mengulang kembali tragedi karhutla pada tahun 2015 yang pemicu terbesarnya adalah pembukaan lahan terutama di rawa gambut, Kalimantan harus bersiap menyambut ‘kawan lama’. Ya, jika kita melihat sejarah, lahan gambut adalah pemicu utama bencana asap di Kalimantan yang semuanya berawal dari proyek tahun 1995 ketika 1,4 juta hektar lahan gambut di Kalteng dibuka serta dirusak.
Kebakaran lahan gambut Kalteng foto: Dionisius Reynaldo Triwibowo/KOMPAS |
“Waktu itu udara pagi tidak bisa lagi kita nikmati, bahkan untuk dihirup. Saya harus memakai kain basah buat nutup wajah supaya bisa menyaring udara. Asap-asap kelihatan menguning. Saya waktu itu sudah bilang, kalau gambut dirusak ya bakal seperti itu akibatnya tapi tidak ada yang mau dengar. Karena ketika gambut terbakar, hanya hujan yang bisa hentikan,”
Tentu ucapan Iber Jamal, selaku tokoh adat Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng itu hanya bisa kubayangkan. Iber adalah satu dari sekian suku Dayak yang menjadi saksi hidup bagaimana tragedi karhutla itu membuat Kalimantan bak neraka.
Seolah tidak berhenti, bahkan selama tahun 2023 ini berjalan, ada 334 kebakaran di Kalteng dengan total area terdampak mencapai 723,4 hektar dengan Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur dan Pulang Pisau sebagai kabupaten dengan area terbakar terbesar.
Membakar lahan gambut dengan berbagai alasan adalah titik awal lingkaran setan. Ketika gambut itu terbakar, emisi karbon akan memenuhi udara yang akhirnya memicu global warming (saat ini global boiling) lalu kemarau berkepanjangan, dan akhirnya adalah karhutla.
Jangan remehkan lingkaran setan ini karena kebakaran hutan bisa memmicu anomali La Nina. Di mana dalam sebuah penelitian yang dilakukan NCAR (National Center for Atmospheric Research) di Amerika Serikat), serta dipublikasikan di Science Advances, disebutkan kalau kebakaran hutan hebat yang terjadi di Australia pada sepanjang 2019-2010, memicu terjadinya anomali suhu Pasifik Tropis dan peristiwa La Nina tiga tahun terakhir.
Sekadar informasi, La Nina terjadi saat Pasifik Tropis mengalami pendinginan sehingga membuat kawasan Amerika Utara lebih kering dan hangat, padahal seharusnya memasuki iklim musim dingin. Imbas perubahan iklim itu, membuat wilayah Australia dan Indonesia jadi lebih basah. Dan ketika La Nina ini terjadi selama tiga tahun berturut-turut, ini adalah peristiwa yang langka.
Dalam catatan Pantau Gambut, ada 16,4 juta hektar KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut) di seluruh Indonesia yang sangat rentan terbakar. Di mana 8,03 juta hektar HKG di antaranya berada di Kalimantan dan sekitar 1,88 juta hektar dilaporkan berisiko tinggi sangat rentan terbakar. Dari belasan juta itu, lagi-lagi Kalteng menempati posisi pertama sebagai pemilih lahan gambut yang rawan membara.
Kalau sudah begini, haruskah tanggung jawab menjaga gambut hanya dibebankan pada masyarakat Dayak?
Pada mereka yang akan kesulitan memperoleh oksigen?
Seolah tidak berhenti, bahkan selama tahun 2023 ini berjalan, ada 334 kebakaran di Kalteng dengan total area terdampak mencapai 723,4 hektar dengan Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur dan Pulang Pisau sebagai kabupaten dengan area terbakar terbesar.
Membakar lahan gambut dengan berbagai alasan adalah titik awal lingkaran setan. Ketika gambut itu terbakar, emisi karbon akan memenuhi udara yang akhirnya memicu global warming (saat ini global boiling) lalu kemarau berkepanjangan, dan akhirnya adalah karhutla.
Jangan remehkan lingkaran setan ini karena kebakaran hutan bisa memmicu anomali La Nina. Di mana dalam sebuah penelitian yang dilakukan NCAR (National Center for Atmospheric Research) di Amerika Serikat), serta dipublikasikan di Science Advances, disebutkan kalau kebakaran hutan hebat yang terjadi di Australia pada sepanjang 2019-2010, memicu terjadinya anomali suhu Pasifik Tropis dan peristiwa La Nina tiga tahun terakhir.
Sekadar informasi, La Nina terjadi saat Pasifik Tropis mengalami pendinginan sehingga membuat kawasan Amerika Utara lebih kering dan hangat, padahal seharusnya memasuki iklim musim dingin. Imbas perubahan iklim itu, membuat wilayah Australia dan Indonesia jadi lebih basah. Dan ketika La Nina ini terjadi selama tiga tahun berturut-turut, ini adalah peristiwa yang langka.
Dalam catatan Pantau Gambut, ada 16,4 juta hektar KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut) di seluruh Indonesia yang sangat rentan terbakar. Di mana 8,03 juta hektar HKG di antaranya berada di Kalimantan dan sekitar 1,88 juta hektar dilaporkan berisiko tinggi sangat rentan terbakar. Dari belasan juta itu, lagi-lagi Kalteng menempati posisi pertama sebagai pemilih lahan gambut yang rawan membara.
Kalau sudah begini, haruskah tanggung jawab menjaga gambut hanya dibebankan pada masyarakat Dayak?
Pada mereka yang akan kesulitan memperoleh oksigen?
Upaya pemadaman karhutla di Kalbar foto: Emanuel Edi Saputra/KOMPAS |
Konon di dalamnya rimba Sebayan, berdiam sosok gaib sebagai sang pemimpin tertinggi masyarakat Dayak bernama Panglima Burung. Sebagai pemimpin, Panglima Burung akan senantiasa melindungi warganya dan hanya turun dari singgasananya kala kehidupan orang-orang Dayak terancam. Makhluk yang diceritakan dari generasi ke generasi ini disebutkan luar biasa sakti dan sangat berwibawa.
Mungkinkah Panglima Burung akan membuat perhitungan pada mereka yang membakar belantara tempatnya bersemayam?
Bisakah Kita Merdeka dari Karhutla?
Kalau menurut kalian, siapakah yang paling bertanggung jawab soal karhutla di area gambut?
Masyarakat Dayak?
Penduduk Kalimantan?
Atau, korporasi dalam hal ini pemerintah juga?
Menurut Pantau Gambut, analisis satelit mereka memperlihatkan jika wilayah gambut yang rentan terbakar justru lebih banyak dimiliki oleh korporasi dalam hal ini perusahaan-perusahaan, alih-alih area ladang masyarakat. Setengah dari 8,03 juta hektar KHG di Kalimantan ada di wilayah konsesi beserta area penyangganya (buffer zone). Di mana itu semua jelas milik perusahaan dengan HGU (Hak Guna Usaha) Perkebunan dan Hutan Kayu (IUPHHK).
Semakin buruk karena wilayah-wilayah KHG tak hanya dominasi korporasi, tapi juga bakal disulap pemerintah sebagai lokasi program food estate yang konon dilakukan demi masyarakat.
Dalam kegiatan webinar yang kuikuti bersama rekan-rekan #EcoBloggerSquad bertajuk #BersamaBergerakBerdaya Indonesia merdeka dari Kebakaran Hutan dan Lahan pada 11 Agustus 2023 lalu, perkara food estate ini seolah semakin memperkuat lingkaran setan karhutla yang semua bertitikberat pada gambut.
Gambut yang sejatinya punya empat peran utama pada lingkungan yakni mengurangi dampak bencana banjir dan kemarau karena daya serap yang tinggi, penunjang perekonomian masyarakat lokal lantaran sumber pangan dan habitat hewan, pelindung keanekaragaman hayati, hingga penjaga perubahan iklim berkat kemampuan penyimpan cadangan karbon cukup besar, justru malah ramai-ramai dialihfungsikan.
Materi webinar EcoBloggerSquad |
Padahal saat mengeringkan satu hektar gambut di wilayah tropis, akan ada sekitar 55 metrik ton karbondioksida (CO2) dilepaskan ke atmosfer bumi setiap tahunnya. Jumlah ini setara dengan membakar 6.000 galon bensin.
Belum lagi dengan terlepasnya juga gas-gas rumah kaca yang selain CO2 yakni metana (CH4). Bagi kalian yang tidak tahu, CH4 dilaporkan lebih berbahaya 21 kali lipat dibandingkan CO2 karena kemampuannya menahan panas yang sangat tinggi.
Sungguh mengerikan.
“Merusak gambut itu mudah. Seminggu dibakar saja bisa rusak. Tapi memulihkannya, butuh waktu ribuan tahun,”
Rasa-rasanya, aku hanya bisa sepakat dengan kalimat Lola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut saat webinar bersama kami itu. Manusia, dengan berbagai kepongahan yang mereka miliki, kadang tak pernah menyadari kalau merekalah yang menggiring Bumi ini menuju kiamatnya sendiri.
Lantas, bisakah kita menyelamatkan kengerian ini?
Tentu butuh kerja keras dari segala pihak.
Aturan perundangan soal pemberian izin lahan gambut, water bombing atau TMC (Teknologi Modifikasi Cuaca) jelas jadi tanggung jawab pemerintah. Begitu pula dengan pemadaman manual hingga pembuatan sekat bakar yang bisa dilakukan oleh masyarakat lokal di sekitar area karhutla.
Namun bagaimana dengan kita yang tinggal ratusan kilometer dari Kalimantan?
Tenang, kalian bisa kok melakukan aksi kecil untuk lingkungan #BersamaBergerakBerdaya mendukung penyelamatan bumi dengan menjaga hutan secara mudah. Tak harus ke hutan Borneo, kamu bisa lakukan sejumlah aksi di Team Up For Impact yang sesuai dengan keseharian kalian.
Karena pada dasarnya, hal-hal kecil yang dilakukan bersama jelas bakal bisa memberikan dampak besar untuk semesta.
Maukah kalian sama-sama memerdekakan diri dari kebakaran hutan dan lahan bersamaku?
Baca cerita pembukanya tentang kayu ulin, hatiku gerimis.
BalasHapusDi umur menjelang 50 kayak gini, belum pernah lihat kayu ulin dan dia nyaris punah, hiks. Semoga kelak saat anakku besar dan berkesempatan ke Borneo, masih bisa bertemu dengan si legend kayu ulin
Makin sedih lagi saat baca "Padahal saat mengeringkan satu hektar gambut di wilayah tropis, akan ada sekitar 55 metrik ton karbondioksida (CO2) dilepaskan ke atmosfer bumi setiap tahunnya. Jumlah ini setara dengan membakar 6.000 galon bensin"
Aduuuuh.... sampai kapan manusia terus serakah dan merusak bumi?
Semoga ke depannya karhutla bisa diatasi. Tak ada lagi perampasan tanah adat untuk kepentingan ekonomi. Mari bergerak bersama, jaga bumi
yuk Kak, aku juga mau ikut memerdekakan hutan dari kebakaran hutan dan lahan gambut. Paling tidak dimulai dari hal yang kecil, asal dilakukan kontinu, hasilnya akan berdampak juga kok
BalasHapusDulu zaman kuliah belajar tentang arsitektur tradisional, rumah-rumah adat di Kalimantan, pondasi terbuat dari kayu ulin. Makanya tahan sampai sekarang, engga lapuk. Sedih banget bahwa terancam punah.
BalasHapusTrus kalau karhutla gitu, udara dipenuhi CO2.
Semoga tidak ada lagi karhutla di Indonesia...
Kisah kayu Meranti memang seperti legenda. Di pedalaman Sumatera sana saya juga tak melihat wujud pohon Meranti. Hanya benda-benda saja yang ada. Padahal, Meranti memang sangat dekat dengan kami
BalasHapus.Bahkan desa tetangga pun dinamai desa Meranti.
Kayu meranti, kayu ulin saya juga cuma lihat wujudnya di beberapa bangunan yang sempat saya singgahi saat bertugas ke sumatra, tapi pohonnya belum pernah tahu kayak apa.
BalasHapusDan saya baru tahu kalau pohon ulin bukan termasuk pohon yang dilindungi, dan sebelnya lagi, hal ini karena protes dari pengusaha sawit.
pas banget temen sesama ibuibu di sekolah anak cerita, waktu tinggal di kalimantan dulu rumah-rumah mereka punya pondasi kuat karena dibawahnya terdapat rawa. pondasi itu dibuat dengan kayu ulin. sedih kan kalo sekarang mulai langka. btw, so lucky ka arai bisa ikut kegiatan AMAN, bisa juga melihat langsung kondisi hutan di kalimantan seperti apa dan berbagi ceritanya disini
BalasHapus