https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Yang Tidak Kita Bicarakan Saat Kita Membicarakan Kebakaran Hutan dan Lahan

Sabtu, 02 September 2023
foto: Ulet Ifansasti/The New York Times
“Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestrasi,” – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia
Kakiku tampak merajuk.

Sedari tadi dia seolah sengaja menatap kerikil demi mencari alasan untuk bisa sekadar bersandar.

Aku tak menyalahkannya. Karena memang ini adalah pendakian pertamaku kembali, setelah bertahun-tahun lamanya. Bahkan untuk pendakian kembali ini, gunung yang kupilih bersama rekan-rekanku pun tak main-main yakni Welirang. Berdiri setinggi 3.339 meter di atas permukaan laut, Welirang memang jadi salah satu gunung yang sudah lama kuincar selain ‘saudaranya’ yakni Arjuno.

Melakukan pendakian di pagi hari tak seperti biasanya saat malam, aku dan rekan-rekanku memilih berangkat dari Sumber Brantas di Kota Batu yang memang punya jalur pendakian paling ‘bersahabat’. Tentu jika dibandingkan dengan harus melalui Tretes, Pacet atau Lawang, pintu gerbang Sumber Brantas lebih ramah.

Ada tiga pos yang harus kami lalui sebelum berhenti di lokasi camp kala itu, dengan trek pendakian yang didominasi tanah serta menembus belantara Tahura (Taman Hutan Raya) Raden Soerjo. Dihajar langsung dengan kemiringan 35° - 45°, bisa ditebak tubuhku yang jarang olahraga langsung bergejolak. Usai makan siang di pos 2, tanpa terasa kami ternyata sudah mencapai ketinggian 2.357 mdpl.

Seluruh otot dan mentalku kembali lagi diuji kala kami berjalan menuju pos 3 karena medan sudah semakin menanjak dengan kemiringan mencapai 45° - 65°, dengan jalur-jalur pepohonan yang mulai terbuka. Sesekali aku harus mengatur kembali napasku karena jantung yang berdegup kelewat cepat dan kaki yang mulai memberontak.

“Bentar lagi kita sampai Lengkehan, semangat. Asli nggak akan kecewa deh, indahnya nggak kalah sama Ranu Kumbolo,”

Aku memaksakan diri tersenyum mendengar ucapan Otus, rekanku.

Membandingkan sebuah lembah dengan Ranu Kumbolo tentu bisa terbilang berani. Ya, surganya Gunung Semeru itu memang punya keindahan tiada tara yang membuatku masih sangat merindukannya sekalipun sudah dua kali mendaki ke gunung tertinggi di pulau Jawa itu.

“Beda lah mas Tus kalau sama Ranu Kumbolo, kan Lengkehan nggak ada danau. Mungkin indahnya nggak kalah lah dengan savana Bromo, lebih pas,”

Kali ini giliran Sylvi, rekanku yang lain berbicara ketika aku masih sibuk mengatur napas yang memburu. Lagi-lagi pikiranku melayang ke perbukitan yang mengelilingi kaldera Bromo itu dan kerap disebut sebagai bukit Teletubbies, salah satu tempat terindah juga yang dimiliki Indonesia. Dari perbincangan mereka itu, aku seolah memperoleh tambahan semangat. Setidaknya aku tahu kalau lembah Lengkehan yang akan kami tuju ini memang luar biasa indah.

Kupaksakan lagi kaki dan tubuhku yang sudah semakin payah membawa carrier untuk terus melangkah. Hampir tak ada jalan landai yang kutemui karena kemiringannya berkisar 50° - 65°, belum lagi di antara ilalang hutan ada uap-uap Welirang yang menyembur dan harus diwaspadai

Hingga akhirnya aku mulai melihat si cantik cantigi gunung.

Tumbuhan yang memiliki daun muda berwarna ungu ini memang menjadi flora endemik Tahura Raden Soerjo. Biasanya masyarakat lokal menyebut tumbuhan cantigi gunung ini sebagai manisrejo.
Lembah Lengkehan dari Puncak Gunung Kembar I
“Nah, akhirnya, selamat datang di lembah Lengkehan...”

Aku menatap Lila yang berdiri beberapa meter di depanku, dia tampak tersenyum lebar. Sedari tadi aku memang fokus mengamati kaki-kakiku yang melangkah sampai tak terlalu memperhatikan kalau vegetasi yang kami datangi sudah berbeda. Ketika kudongakkan kepalaku, apa yang terhampar di pandanganku sukses membuatku terperangah.

Berada di ketinggian nyaris 3.000 mdpl, Lengkehan adalah tempat datar yang dipenuhi rerumputan luas dan berada tepat di tengah-tengah Gunung Kembar I dan II, Arjuno, serta tentunya Welirang. Di tempat ini, awan-awan tampak luar biasa dekat dan pemandangannya bahkan semakin cantik saat sore hari. Kami akan bermalam di Lengkehan sebelum akhirnya besok Subuh harus mencapai Gunung Kembar I dan melanjutkan jalan ke Welirang.
Lembah Lengkehan Gunung Arjuno
“Nanti kalau mataharinya udah terbit, sepanjang jalur di Lengkehan ini menuju puncak Kembar I bakal ketemu sama sisa-sisa pohon kebakar. Area sini memang rentan sama kebakaran hutan, karena itu pendaki Arjuno-Welirang nggak boleh bikin api unggun,”Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Otus, saat terbangun besok pagi dalam udara yang luar biasa dingin.

Kala itu aku hanya berpikir, memangnya gunung bisa terbakar? Ada yang bisa membakar gunung?

Sebuah pertanyaan konyol yang kemudian menghantamku dengan keras. Karena ketiga gunung yang pernah kusinggahi tadi, sama-sama membara di musim kemarau tahun 2023 ini.

Hutan Indonesia dari Tinggi ke Rendah yang Tak Luput dari Bara

Kebakaran Hutan di Bromo
Kebakaran Hutan di Bromo foto: Muhammad Mada
Tentu kabar kebakaran yang terjadi di jalur pendakian Arjuno-Welirang, Semeru dan savana Bromo mulai bulan Mei hingga September 2023 ini begitu menyesakkan hati. Sebagai orang yang beruntung sudah pernah memijakkan kaki ke gunung-gunung itu, melihat mereka semua terbakar, jelas ada sebuah rasa kehilangan yang tak bisa terucap.

Aku mendengar kabar kebakaran itu untuk kali pertama pada pekan keempat bulan Mei, saat area hutan di wilayah Gumandar, jalur pendakian Gunung Arjuno dan kawasan Patok Besi di perbatasan Mojokerto-Pasuruan pada lereng Gunung Welirang, sama-sama dilahap jago merah. Tak main-main, api menghanguskan lahan ilalang dan cemara gunung hingga seluas 20 hektar, seperti dilansir Kompas.

Keberadaan titik api di area lereng jelas mempersulit proses pemadaman sehingga para pengelola Tahura (Taman Hutan Rakyat) Raden Soerjo, hanya menggunakan peralatan sederhana. Sebuah aksi yang tak bisa kusalahkan, karena kalau kalian pernah melakukan pendakian ke Arjuno-Welirang, tentu akan tahu betapa sulitnya kendaraan bermotor dan alat-alat berat menuju ke titik api.

Namun sepertinya, bara tidak berhenti sampai di sana.

26 Agustus 2023, dilaporkan api membakar area Arjuno-Welirang dengan jauh lebih luas.

Menurut Jumadi selaku Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jatim yang dilansir CNN Indonesia, hingga 2 September 2023 ada sekitar 1.200 hektar lahan di Gunung Arjuno terbakar. Cepatnya api melahap lahan memang dipicu oleh angin yang berhembus kencang, serta gesekan ranting yang melahirkan titik api, sebuah hal lazim terjadi di musim kemarau. Namun tak berhenti di situ, manusia ternyata juga jadi salah satu penyebab terkuat karena ulah para pemburu liar yang memilih membakar lahan demi mempermudah kegiatan pemburuan satwa.

Bodoh.

Sungguh kelakuan makhluk hidup yang mengaku paling sempurna ini sangatlah memalukan.
Menatap Ranu Kumbolo dari Tanjakan Cinta
Menatap Ranu Kumbolo dari Tanjakan Cinta
“Hei, Semeru juga kebakaran! Oro-Oro Ombo gosong!”

Pesan dalam WhatsApp grup yang dikirim salah satu rekanku naik gunung pada pekan ketiga bulan Agustus kemarin membuatku terkejut.

Semeru? Apa yang dia maksud adalah Semeru yang itu?

Gunung yang sudah menutup dirinya selama lebih dari dua tahun itu?

Dan memang, itu benar.

Gunung setinggi 3.676 mdpl yang begitu diidamkan banyak pendaki gunung di Indonesia tidak luput dari kobaran api. Dalam laporan Detik, ada tiga titik kebakaran hutan yang terjadi di kawasan Semeru yakni di wilayah Ungup-Ungup, Cemoro Kandang dan Oro-Oro Ombo. Alang-alang, semak belukar dan pohon cemara adalah tanaman yang banyak dilahap si jago merah lantaran semakin kering akibat musim kemarau.

Sejenak pikiranku melayang ke waktu aku berpijak di Oro-Oro Ombo beberapa tahun lalu.

Kalau kalian mendaki Semeru, tak hanya Ranu Kumbolo yang begitu cantik untuk dipandang. Sesaat setelah kalian berhasil menaklukan Tanjakan Cinta, hamparan luas Oro-Oro Ombo akan memanjakan mata lengkap dengan bunga verbena ungu yang luar biasa indah.

Melihat potongan video bagaimana area yang cantik itu terbakar dan menjadi abu, membuatku semakin sadar bahwa kerinduanku untuk bisa memijak Semeru, kembali harus ditunda lagi.

Sekitar dua pekan setelah Semeru terbakar, giliran savana Bromo yang menjadi korban api. Tepatnya pada 29 Agustus 2023, muncul titik api di kawasan Bantengan yang terletak di lereng sebelah utara jalan Malang-Lumajang yang menjalar ke arah savana dan blok Jemplang.
Kebakaran area Watu Gede di Gunung Bromo
Kebakaran area Watu Gede di Gunung Bromo foto: Muhammad Mada
Saat itu, aku sungguh kehilangan kata-kata.

Ketiga gunung favoritku di Jawa Timur terbakar dalam waktu yang berdekatan.

Apakah keindahan mereka masih tersisa?

Tidak. Bukan itu yang harusnya jadi pertanyaan.

Tapi, apakah yang harus dilakukan manusia untuk mengembalikan hijau mereka?

Padamkan Api dan Tetap Bakar Semangat Selamatkan Hutan Indonesia

Kaldera pasir Gunung Bromo usai terbakar
Kaldera pasir Gunung Bromo usai terbakar foto: Muhammad Hata
Jawaban paling tepat untuk menghentikan kebakaran yang terjadi di Arjuno-Welirang, Semeru dan Bromo tentu adalah memadamkan langsung titik apinya. Namun, aku, kalian dan kita semua, jelas bukan seorang petugas jagawana. Aku bukanlah sang penjaga hutan yang memang mendedikasikan hidup di rimba dan terlibat langsung untuk membuat api berhenti berkobar saat karhutla (kebakaran hutan dan lahan) terjadi.

Kita mungkin tak bisa langsung menjelajah lereng Tahura Raden Soerjo, atau menembus belantara di TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) untuk memastikan kobaran api padam sepenuhnya.

Namun, ada sebuah langkah kecil yang bisa kita lakukan untuk mencegah bagaimana karhutla bisa muncul, setidaknya sebagai masyarakat awam.

Langkah kecil yang bisa kita semua lakukan dari rumah, dari smartphone, dari media sosial tercinta.

Bersama Team Up for Impact, aku memilih untuk melakukan challenge Riset Aktivitas Pelestarian Alam.Riset Aktivitas Pelestarian AlamSebagai seorang #EcoBloggerSquad sejak tahun 2021, aku semakin concern dan tertarik pada kegiatan pelestarian alam yang sering kulakukan saat traveling. Mulai dari penanaman bibit bakau saat aku berkunjung ke Likupang, pelepasan penyu di Pantai Teluk Ujung kawasan TWA (Taman Wisata Alam) Gunung Tunak di Lombok, sampai melakukan adopsi pohon yang diinisiasi oleh Forest Digest dalam kegiatan rehabilitasi 1.000 pohon di Desa Citeko, kaki Gunung Pangrango.

Tak hanya itu saja, aku mencoba untuk menjadi seorang pendaki gunung yang semakin bertanggung jawab seiring dengan pemahamanku yang meningkat atas Riset Aktivitas Pelestarian Alam. Beberapa hal yang sudah kucoba lakukan seperti:

  1. Tidak menyalakan api unggun saat camping, serta lebih bertanggung jawab dalam penggunaan kompor masak supaya tidak memicu titik api di sepanjang jalur pendakian
  2. Membawa trash bag yang berkualitas sehingga tidak mudah sobek dan tercecer saat digantungkan pada carrier kala mendaki
  3. Mengurangi penggunaan plastik kemasan sekali pakai yang bisa memperbanyak sampah yang sulit didaur ulang dan lebih selektif dalam membawa logistik
  4. Tidak mengotori sumber air karena bisa merugikan tak hanya para pendaki, tapi juga binatang dan tumbuhan yang hidup di gunung. Termasuk di dalamnya lebih bijak saat melakukan kegiatan buang air
  5. Membawa turun kembali seluruh sampah
Tentu memang aksi sederhana yang kulakukan ini masihlah jauh dari apa yang sudah diperbuat para petugas jagawana. Namun aku percaya, jika kita semua jauh lebih bertanggung jawab saat berkunjung ke alam, kita akan bisa lebih berguna dalam melindungi alam. Apalagi di saat musim kemarau dan fenomena El Nino.

Sekadar informasi, BMKG pernah mengungkapkan bahwa El Nino merupakan fenomena iklim saat terjadi pemanasan SML (Suhu Muka Laut) di atas kondisi normal pada kawasan Samudera Pasifik bagian tengah. Ketika El Nino terjadi, pertumbuhan awan di Samudera Pasifik bagian tengah meningkat sehingga mengurangi curah hujan di Indonesia.

Kekeringan yang berkepanjangan akibat El Nino di tahun 2023 ini bahkan menurut BMKG bisa terjadi hingga Februari 2024. Kini dengan 79% wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau, ditambah situasi IOD (Indian Ocean Dipole) positif, suhu di Nusantara jelas makin panas dan bukan tak mungkin, bakal memicu kemarau ekstrem.
Menanam bibit bakau di Hutan Mangrove Bahoi-Likupang, Sulawesi Utara
Menanam bibit bakau di Hutan Mangrove Bahoi-Likupang, Sulawesi Utara
Kalau sudah begini, kepada manusia-lah alam berharap untuk tidak semakin dirusak.

Kepada aku, kamu dan kita semualah kelestarian lingkungan dibebankan.

Lakukan hal kecil sederhana mungkin yang kamu bisa untuk Bumi agar senantiasa tetap menjadi sebaik-baiknya tempat untuk kita tinggali.

Ini adalah sesuatu yang sering tidak kita bicarakan saat kita membicarakan kebakaran hutan dan lahan.


Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life