https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Berawal dari Kas Masjid, BRI Tembus Batas Geografi dan Digital Terus Memaknai Indonesia

Sabtu, 09 Desember 2023
Maria Sawi di Desa Bena, Kabupaten Ngada, NTT
Maria Sawi, penenun kain tenun ikat Flores di Desa Bena, Kabupaten Ngada, NTT
Negeri ini memang baru terlahir 78 tahun lalu.
Pekik merdeka itu baru terlontar kala Dua Proklamator menggelorakannya dari Pegangsaan Timur.
Namun benih untuk bisa berdiri di kaki sendiri, tak terpengaruh pongah penjajah sudah dimulai puluhan tahun sebelumnya.
Keberanian untuk merdeka itu juga yang dipantik Raden Bei Aria Wirjaatmadja, dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang jadi tempat lahirnya institusi keuangan terbesar di negeri ini.
***
“Kalau mau kirim uang ke makuo (kakak perempuan Ibu, bahasa Minang) memang ya cuma bisa pakai rekening BRI. Yang bisa sampai ke pedalaman sana cuma BRI,”

Aku mendengar penjelasan Ibuku kala kami sedang menyantap sarapan bersama di dapur rumah beberapa tahun lalu itu. Sebetulnya itu hanyalah pembicaraan biasa, tetapi menjadi cukup istimewa karena ini adalah kali pertama aku hendak mengirimkan sebagian penghasilan pertamaku kepada makuo.

Bagiku, makuo mungkin lebih mirip seperti nenek karena memang kebetulan juga beliau-lah dan suaminya yang membesarkan Ibuku. Jarak usia yang cukup jauh bahkan sempat membuat makuo menjuluki Ibuku sebagai anak perempuan tertuanya. Pentingnya peran makuo dalam proses pertumbuhan Ibuku hingga menjadi perempuan yang hebat dan kuat seperti sekarang, membuatku ingin berbagi kebahagiaan saat aku akhirnya memperoleh pekerjaan pertamaku meskipun mungkin tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan makuo untuk membesarkan Ibuku.

Namun kala itu aku sedikit mengalami dilema, sesuatu yang sebetulnya kalau kuingat-ingat terlalu berlebihan, lantaran rekening bank makuo dan diriku berbeda. Setidaknya aku harus selalu merelakan membayar biaya administrasi transfer antar bank, setiap kali hendak mengirimkan uang ke makuo.

Pernah suatu waktu aku meminta pada Ibuku agar makuo mengganti rekening bank yang sama denganku, tapi hal itu ditolak karena memang rumah makuo berada di pelosok. Tepatnya di Jorong Simaung, Nagari Nan Tujuah, Kecamatan Palupuah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Dari Kota Bukittinggi, kalian masih harus menempuh perjalanan selama 2-3 jam lamanya untuk sampai di rumah makuo. Lantaran menembus belantara, bisa dipastikan sinyal internet sangatlah sulit ditemui.

Bahkan saat aku terakhir kali ke sana pada tahun 2016 silam, aku harus menempuh jarak 3-5 kilometer dari rumah makuo untuk sampai ke Pasar Impres Kumpulan di Kabupaten Pasaman demi mendapatkan sinyal internet. Di mana di tempat itu, pula aku melihat satu-satunya kantor cabang bank yang ternyata digunakan makuo untuk mengambil uang tunai kiriman anak-anaknya.

Bisa ditebak itu adalah Teras BRI.
Nasabah di depan Teras Kapal BRI di Kepulauan Seribu
Nasabah di depan Teras Kapal BRI di Kepulauan Seribu foto: istmw
Bagi masyarakat pedesaan seperti makuo yang dalam kesehariannya hampir tak menyentuh internet dan sesekali saja menonton TV, BRI mungkin adalah satu-satunya perantara beliau untuk melihat dunia. Melalui BRI dia akan menerima dan mengambil kiriman uang dari keempat anaknya yang merantau di Jawa, sekaligus menjadi tanda kalau kondisi anaknya sedang baik-baik saja. Tak perlu sibuk membandingkan kartu ATM mana yang lebih keren atau bunga bank mana yang lebih besar, warga desa seperti makuo hanya tahu bank itu adalah BRI. Tidak ada yang lain.

Aku jadi ingat pendapat Raipuddin selaku Kepala BRI Cabang Sorong, Papua Barat kepada JPNN beberapa waktu silam.

Menurutnya alasan kenapa BRI mau repot-repot membuka kantor cabang sekalipun hanya berupa unit terkecilnya seperti Teras BRI di pelosok daerah negeri ini adalah, sebagai upaya untuk mengenalkan sistem perbankan kepada masyarakat-masyarakat pedalaman seperti makuo. BRI hadir sebagai satu-satunya entitas yang meyakini bahwa perbankan adalah hak segala bangsa. Bahwa setiap warga Indonesia berhak mendapat akses perbankan resmi dan terlindungi.

Sebuah mimpi panjang dari Aria Wirjaatmadja yang sudah dihembuskan sejak 16 Desember 1895.
***
Maria Sawi tidaklah berbeda dengan masyarakat Desa Bena lainnya.
Sehari-hari dia menenun kain Flores di teras rumahnya yang menghadapi langsung Gunung Inerie.
Bagi Maria, Inerie adalah segalanya. 
Di mana di puncaknya terdapat singgasana Yeta, sang Dewa pelindung perkampungan Megalitikum itu.
Hidup bergenerasi di pedalaman Flores, 
Maria menolak untuk jauh dari teknologi.
Denyut digitalisasi dipelajari Maria dan rekan-rekan penenun lainnya lewat BRI
***
Kalau kalian pergi ke Purwokerto di Jawa Tengah sana, tepatnya di daerah Sawangan, maka akan menemukan Museum BRI (Bank Rakyat Indonesia) yang menjadi saksi bisu bagaimana perbankan negeri ini dimulai. Semua bermula saat Raden Bei Aria menghadiri sebuah acara syukuran khitan dari anak seorang guru. Menyuguhkan hiburan kesenian tayub, acara khitan itu memang terbilang cukup mewah untuk level seorang guru pribumi.

Mengagetkan karena ternyata demi menggelar acara khitan yang terbilang mewah saat itu, si guru pemilik acara sampai nekat meminjam ke rentenir atau lintah darah. Hal ini terjadi karena bank-bank yang beroperasi di Indonesia masih milik Belanda, sehingga masyarakat di lapisan terbawah tergencet oleh para rentenir.
Tampak depan Museum BRI di Purwokerto
Tampak depan Museum BRI di Purwokerto
Tak ingin kondisi seperti ini terjadi terus, Aria yang kebetulan juga pengurus Masjid Agung Purwokerto pun memanfaatkan uang kas masjid sebagai modal awal yang ternyata terendus oleh penjajah Belanda. Bukannya menyerah, Aria pun mengajak beberapa orang lainnya untuk mengumpulkan modal awal pendirian lembaga De Poerwokertosche Hulp-en Spaarbank Der Inslansche Hoofden yang menjadi cikal bakal keberadaan Bank Perkreditan Rakyat di Indonesia.

Lantaran modal yang terkumpul terus bertambah, lembaga itu akhirnya menjelma sebagai Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren (Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi yang berkebangsaan pribumi) yang lahir pada 16 Desember 1895.

Sepanjang roda sejarah, lembaga yang didirikan oleh Raden Bei Aria itu pun mengalami perubahan nama termasuk menjadi Syomin Ginko saat masa pendudukan Jepang. Hingga akhirnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada Februari 1946, organisasi itu berevolusi menjadi BRI (Bank Rakyat Indonesia).

Selama 128 tahun perjalanannya, BRI sudah menjadi saksi bisu sejarah perekonomian bangsa ini.

BRI bahkan menjadi tulang punggung utama ketika BI (Bank Indonesia) dan ASPI (Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia) mengenalkan metode pembayaran nontunai melalui QRIS (Quick Response Code Indonesia Standart) pada tahun 2019 lalu. Kupikir penggunaan QRIS hanyalah terbatas pada pedagang-pedagang atau merchant yang berada di kota-kota besar saja. Namun ketika aku melakukan perjalanan ke Flores pada November 2022 silam, aku sangat kaget saat melihat label QRIS dari BRI terpajang di Desa Bena, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
Maria Sawi menenun di teras rumahnya di Desa Bena
Maria Sawi menenun di teras rumahnya di Desa Bena
Keberadaan label QRIS dari BRI di Desa Bena memang bisa terbilang sangatlah istimewa dan cukup bertolak belakang.

Bena sendiri merupakan perkampungan megalitikum berusia ribuan tahun di pedalaman Flores. Dari Bajawa, kalian harus menempuh perjalanan sejauh 19 kilometer untuk bisa mencapai Bena yang berada tepat di kaki gunung Inerie. Sebagai kampung kuno, rumah-rumah di Bena terbuat dari batu-batu besar yang memiliki sejumlah struktur megalitikum peninggalan sejak tahun 800 SM, alias sudah berusia lebih dari 1.200 tahun.

Namun siapa sangka, di dalam kampung peninggalan masa purba ini, transformasi perbankan digital justru sudah tumbuh. Sesuatu yang mungkin tak akan terjadi jika BRI tidak ikut terlibat aktif.
Suasana Desa Megalitikum Bena di Flores
Suasana Desa Megalitikum Bena di Flores
“Jadi Mama dan penjual kain tenun lain memang diajari pihak bank sejak tahun 2021. Awalnya sulit belajar, tapi akhirnya sekarang makin memudahkan. Orang-orang dan bule bisa beli kain tenun Mama cuma sodorin HP, tanpa perlu Mama cari uang kembalian lagi. Kalau bayar pakai QRIS itu enak karena uangnya bisa disimpan dan biasanya anak Mama yang ambil ke Bejawa, dua kali dalam seminggu,” cerita Maria Sawi, salah satu penduduk Bena yang juga penjual kain tenun Flores.

Aku tersenyum dan takjub mendengarnya.

Maria Sawi mungkin berusia sedikit lebih muda daripada makuo. Namun usia tua dan tempat tinggal di pelosok daerah pada perkampungan kuno, bukanlah penghalang baginya untuk membantu upaya pemerintah mengenalkan transaksi perbankan digital. Dan bersama BRI, Maria melakukan tugasnya.

***
Bagi BRI, masyarakat Indonesia bukanlah sekadar nasabah belaka.
Mereka adalah oksigen utama BRI untuk terus bertumbuh dan memberi makna pada negeri.
Termasuk bagaimana membangun sebaik-baiknya ekosistem kepada mereka para tulang punggung perekonomian negara.
Pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah)
***
Penjual UMKM di Jakarta Selatan sudah pakai QRIS
Penjual UMKM di Jakarta Selatan sudah pakai QRIS
Nafasnya sebagai lembaga perbankan milik rakyat, faktanya tetap dirawat BRI hingga menyentuh usia hampir seabad. Bahkan BRI sempat ditunjuk pemerintah sebagai satu-satunya penyalur program kredit Bimas (Bimbingan Masal) pada tahun 1969-1984. Di era modern, BRI juga menjadi penyalur kredit untuk UMKM terbesar termasuk di dalamnya bantuan untuk sisi pendanaan, akses pasar, hingga pendampingan.

Bukan tanpa alasan kenapa UMKM memang cukup diistimewakan oleh BRI. Karena bagaimanapun juga, UMKM adalah prioritas pertumbuhan ekonomi nasional sehingga BRI sebagai bank terbesar di Indonesia ikut terlibat menggerakkan roda finansial bangsa. Tak main-main, menurut Menteri BUMN Erick Thohir, dari Rp1.600 triliun kredit UMKM yang dilakukan oleh bank-bank Himbara (bank milik BUMN) hingga September 2023, 83% di antaranya disalurkan oleh BRI.

Sebagai penerima manfaat perbankan langsung dari BRI, para pahlawan UMKM ini juga memilih menggunakan QRIS dari BRI untuk pilihan transaksi nontunai mereka seperti yang dilakukan oleh Maria Sawi. Andri Supriadi selaku pedagang es kelapa muda dan juga nasabah BRI kepada Okezone pun angkat bicara soal pilihannya setia pada BRI.

Menurut Andri, dirinya mendapat tawaran langsung membuat QRIS dari pihak BRI. Keberadaan aplikasi perbankan digital lewat BRImo juga membantu pengusaha UMKM dalam menjalankan bisnisnya. Di mana berkat BRImo yang merupakan upaya digitalisasi BRI ini, siapapun bisa memantau transaksi keuangannya secara online, termasuk mengakses produk-produk perbankan tanpa perlu repot ke kantor cabang.

Kini 128 tahun usianya, BRI enggan berhenti tapi justru semakin tumbuh hebat dan kuat.
Infografis UMKM BRI 2023
Fokus pada tujuan besar yakni memberi pelayanan inklusi keuangan dan new source of growth untuk seluruh rakyat Indonesia adalah upaya BRI untuk terus menjaga pertumbuhan bisnis dan memberikan kontribusi secara economic serta social values. Tak main-main pada akhir 2022 silam, BRI berhasil mencapai rekor laba hingga Rp51,4 triliun alias tumbuh 67,15% secara year on year seperti dilansir KR Jogja. Untuk total asetnya pun, BRI melesat mencapai Rp1.865,64 triliun, nilai yang terbesar di industri perbankan Tanah Air.

Kini ketika ketika roda sejarah negeri ini terus melaju, BRI akan hadir dan ikut menjadi salah satu generator penggeraknya.

Karena BRI, senantiasa akan memberi makna untuk negeri.

Inilah sebuah harapan BRI untuk Indonesia yang akan terus membara.

Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life