Diana bersama murid-muridnya di Mappi | foto: Instagram @diana_cristiana_da_costa |
“Dari Atambua, kami harus melakukan perjalanan tujuh jam lewat darat ke Kupang. Setelah itu kami baru naik pesawat ke Makassar dan transit hampir 24 jam buat ke Timika. Sesampainya di Timika, kami cari pesawat subsidi buat terbang ke Kabupaten Mappi, itu antrinya sangat panjang. Kalau sudah sampai ke Kepi, ibukotanya Mappi, kami lanjut jalan darat sekitar 1-2 jam karena jalanan rusak dan makin buruk waktu musim hujan. Setelah itu kami oper naik perahu selama empat jam, jalan kaki lagi sekitar dua jam, barulah sampai ke Kaibusene di Distrik Haju,”
***
Aku terdiam mendengar ceritanya. Andai di dalam otakku ada semacam proyektor kecil, tentu dia akan menayangkan perjalanan seorang perempuan muda berusia 22 tahun, yang rela meninggalkan berbagai kemudahan hidup di Atambua, Nusa Tenggara Timur, untuk pergi jauh-jauh ke tanah Papua.
Tentu bukan tempat-tempat wisata seperti Raja Ampat yang menjadi tujuannya, melainkan dia berangkat ke sebuah wilayah terpencil di pulau yang sering dijuluki surga kecil di Bumi itu. Tak main-main, lokasi tempat perempuan muda itu akan menghabiskan tahun-tahun awal kedewasaannya adalah sebuah kampung terpelosok di provinsi Papua Selatan, yang untuk tiba di sana bahkan akan membuat banyak perempuan seusianya memilih menggelengkan kepala.
Tapi perempuan yang berbicara padaku lewat sambungan telepon WhatsApp ini jelas bukan perempuan pada umumnya.
Bahkan sejak kecil, dia adalah salah satu keistimewaan yang diberikan Tuhan untuk Indonesia.
Perkenalkan, dia adalah Diana Cristiana Da Costa Ati.
Terlahir dari pasangan orangtua yang tinggal di Timor Timur, Diana mungkin akan menjadi seorang WNA (Warga Negara Asing), andai sang Ibu tidak memilih setia pada Ibu Pertiwi ketika terjadi Referendum tahun 1999 silam, waktu dia masih berumur tiga tahun. Tetap berada di Atambua sekalipun sang Ayah akhirnya memilih menjadi warga Timor Leste, Diana hingga saat ini hanya bisa berjumpa dengan sang Ayah di perbatasan Indonesia dan Timor Leste.
Terpisahkan karena konflik negara dan tak diberi kesempatan memilih selain menerima begitu saja menjadi WNI (Warga Negara Indonesia), Diana justru tumbuh menjadi perempuan yang begitu bangga berdarah merah putih. Terbukti setelah lulus dari SMA, Diana dengan mantap memilih jurusan Pancasila dan Kewarganegaraan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Nusa Cendana Kupang.
Kecintaannya terhadap Nusantara bahkan terus menggebu meskipun dia tumbuh besar sejauh 2.942 kilometer dari Jakarta. Sampai akhirnya Diana menjawab permintaan Indonesia saat dirinya memutuskan ikut dalam seleksi Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) gelombang ketiga.
Dalam program yang dilangsungkan berkat inisiasi Kristosimus Yohanes Agawemu (Bupati Mappi Periode 2017-2022) bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Diana dengan rela hati berangkat ke Papua.
“Apa yang membuat saya ingin terlibat dalam GPDT karena setiap anak Indonesia, berhak mengakses pendidikan dasar. Saya masih ingat bagaimana Bupati Kristosimus waktu itu malu menggaji kami para guru relawan, hanya sebesar empat juta rupiah tiap bulan. Beliau berpikir uang itu tidak cukup untuk makan dan minum di daerah terpelosok. Tapi ini adalah misi kemanusiaan dan rezeki biarkan Tuhan yang mengatur,” kenang Diana.
Kendati begitu perempuan yang lahir pada 12 Februari 1996 ini tak menampik kalau dia memang sangat kaget saat pertama kali tiba di Kepi. Bahkan daerah dia ditempatkan yakni Kaibusene, memang merupakan satu dari dua kampung terpencil di Mappi yang termasuk dalam wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
“Jangankan internet, listrik bahkan tidak masuk ke Kaibusene dan harus pakai tenaga surya. Kalaupun butuh sinyal internet, saya harus ke Kepi dan bayar voucher WiFi yang satu jamnya sebesar dua puluh ribu rupiah. Waktu pertama kali tiba, saya tinggal di rumah salah satu warga karena belum ada rumah dinas. Ketika musim hujan, kami guru relawan harus naik perahu ke sekolah. Saya bahkan sampai kena ISK (Infeksi Saluran Kencing) tiga kali di tahun pertama kerja karena sulit cari air bersih,” cerita Diana sambil tergelak.
Namun hal itu tidak sekalipun membuatnya menyesal.
Bahkan bisa dibilang, ketika dia menginjakkan kaki di Mappi pada Oktober 2018 itu, Diana tahu, kalau Papua memang memanggilnya.
Berantas Buta Huruf, Diana Sempat Hampir Ditombak
‘Dalam wiracarita Mahabharata, tersebutlah seorang panglima gagah berani saat Perang Baratayuda di Kurukshetra bernama Karna. Darah Dewa mengalir dalam tubuhnya sebagai pengakuan dialah keturunan Batara Surya. Hanya saja takdir membawa Karna hidup jauh dari para Pandawa dan mempertemukannya di medan tanding. Berpegang pada pusaka Konta Jaya, Karna tiba sebagai ksatria yang terlalu patriotik. Baginya, balas budi kepada negara harus mewujud dalam pengabdian. Meski nyawanya direnggut Panah Pasopati milik Arjuna, Karna sudah menutup hidupnya sebagai sebaik-baiknya orang yang setia pada negara Astina’
***
Berjuang demi negara di era yang sudah Merdeka ini, sebetulnya bukanlah hal mudah. Nasionalisme jelas bukanlah tentang seberapa sering kita ikut upacara bendera di hari Senin, atau betapa hapalnya kita dengan lagu Indonesia Raya tiga stanza. Jika merujuk pada naskah Jawa kuno Serat Tripama, loyalitas terhadap negara terwujud dari bagaimana kita mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan sendiri. Hal itulah yang dilakukan betul oleh Diana.
Pedalaman Kaibusene begitu mengasah jiwa nasionalismenya. Apalagi saat dia melihat anak-anak di sana terlalu sering dikecewakan oleh pendidikan, lantaran minimnya tenaga guru yang bersedia tinggal untuk mengajar.
Belum lagi anak-anak pedalaman di Kabupaten Mappi itu sudah terbiasa bekerja untuk mencari makan seperti mencari gaharu atau memangkur sagu, membuat orang-orang tua menilai jika tanpa sekolah saja, anak-anak mereka bisa tetap hidup karena alam sudah menyediakan makanan.
Setelah menyelesaikan dua tahun kontrak di Kaibusene dan sempat terhenti lantaran pandemi Covid-19, Diana pun berpindah ke desa Ati di Distrik Minyamur pada 2021.
Ruangan tempat Diana mengajar | foto: Instagram @diana_cristiana_da_costa |
Tak berbeda jauh dari Kaibusene, Ati juga kampung pedalaman yang butuh perjalanan mobil, naik perahu, dan jalan kaki untuk menjangkaunya. Hanya ada satu Sekolah Dasar Negeri di Ati dengan nasib yang cukup miris. Di mana menurutnya, dari total 65 murid SD di Ati sudah satu tahun tidak belajar sama sekali lantaran tak ada guru yang bersedia.
Namun yang saat itu cukup membuat Diana dan dua rekannya sesama relawan GPDT tegang adalah, Ati merupakan salah satu wilayah di Papua Selatan yang masih cukup banyak memiliki simpatisan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
“Saya mengajar Matematika dan Bahasa Indonesia untuk siswa kelas lima dan enam di Ati. Tapi sebelum kelas dimulai, saya dan rekan-rekan lain mengenalkan pendidikan Kewarganegaraan ke seluruh siswa supaya mereka semakin mengenal Indonesia. Fokus utama saya di Ati adalah memberantas buta huruf, karena masih ada siswa SD tingkat akhir yang tidak bisa baca tulis. Akhirnya saya mengajarkan dasar-dasar calistung (membaca, menulis, berhitung). Karena perbedaan budaya, saya bahkan pernah hampir ditombak satu siswa karena saya tegur waktu buang air di kelas,” cerita Diana.
Beruntung saat itu, Ayah dan kakek siswa yang ditegur oleh Diana datang ke sekolah untuk meminta maaf. Bahkan si pelajar itu menyadari kesalahannya dan langsung mengubah perilakunya, sampai akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan dan lulus sekolah dasar.
Sadar bahwa dirinya berada di pelosok, Diana pun mencoba berdamai dengan berbagai keterbatasan di Ati. Mulai dari kelas yang hanya tiga ruangan, sehingga membuat murid-murid ada yang belajar dengan duduk di lantai, minimnya alat tulis, sampai tidak tersedianya buku materi pelajaran yang sesuai.
“Menerapkan kurikulum pembelajaran yang ditetapkan pemerintah di Kabupaten Mappi sangatlah sulit. Saya akhirnya menulis sendiri buku materi pembelajaran berkonsep kontekstual. Misalnya seperti saat mengajarkan perbedaan hewan herbivora atau karnivora, saya langsung memakai contoh binatang yang bisa mereka temui di kampung seperti buaya, babi atau ular. Para siswa juga diwajibkan membawa buku di depan kelas supaya wawasan dan keberanian mereka terasah,” lanjut Diana bangga.
Terbukti berkat kerja kerasnya, anak-anak Ati akhirnya bisa lulus SD dengan layak dan melanjutkan SMP di kota. Bahkan metode pembelajaran yang efektif dan efisien ini membuat siswa SD di Ati yang awalnya sekitar 65 orang, menjadi 80an.
Namun yang saat itu cukup membuat Diana dan dua rekannya sesama relawan GPDT tegang adalah, Ati merupakan salah satu wilayah di Papua Selatan yang masih cukup banyak memiliki simpatisan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
“Saya mengajar Matematika dan Bahasa Indonesia untuk siswa kelas lima dan enam di Ati. Tapi sebelum kelas dimulai, saya dan rekan-rekan lain mengenalkan pendidikan Kewarganegaraan ke seluruh siswa supaya mereka semakin mengenal Indonesia. Fokus utama saya di Ati adalah memberantas buta huruf, karena masih ada siswa SD tingkat akhir yang tidak bisa baca tulis. Akhirnya saya mengajarkan dasar-dasar calistung (membaca, menulis, berhitung). Karena perbedaan budaya, saya bahkan pernah hampir ditombak satu siswa karena saya tegur waktu buang air di kelas,” cerita Diana.
Beruntung saat itu, Ayah dan kakek siswa yang ditegur oleh Diana datang ke sekolah untuk meminta maaf. Bahkan si pelajar itu menyadari kesalahannya dan langsung mengubah perilakunya, sampai akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan dan lulus sekolah dasar.
Sadar bahwa dirinya berada di pelosok, Diana pun mencoba berdamai dengan berbagai keterbatasan di Ati. Mulai dari kelas yang hanya tiga ruangan, sehingga membuat murid-murid ada yang belajar dengan duduk di lantai, minimnya alat tulis, sampai tidak tersedianya buku materi pelajaran yang sesuai.
“Menerapkan kurikulum pembelajaran yang ditetapkan pemerintah di Kabupaten Mappi sangatlah sulit. Saya akhirnya menulis sendiri buku materi pembelajaran berkonsep kontekstual. Misalnya seperti saat mengajarkan perbedaan hewan herbivora atau karnivora, saya langsung memakai contoh binatang yang bisa mereka temui di kampung seperti buaya, babi atau ular. Para siswa juga diwajibkan membawa buku di depan kelas supaya wawasan dan keberanian mereka terasah,” lanjut Diana bangga.
Terbukti berkat kerja kerasnya, anak-anak Ati akhirnya bisa lulus SD dengan layak dan melanjutkan SMP di kota. Bahkan metode pembelajaran yang efektif dan efisien ini membuat siswa SD di Ati yang awalnya sekitar 65 orang, menjadi 80an.
Di tahun 2022, tercatat ada 24 siswa SD Negeri Ati yang lanjut SMP dan pada tahun 2024 ini sudah duduk di kelas VIII. Kemudian di tahun 2023, ada 18 siswa yang lulus serta masuk SMP dan ujian tahun 2024 diikuti 14 pelajar.
“Buta huruf di Papua haruslah diberantas. Tahun 2019 saya pernah mengirim surat terbuka ke Mendikbudristek Nadiem Makarim karena bagi saya, masyarakat di sini sudah punya niat baik sehingga pemerintah wajib memberikan dukungan. Di Mappi ini alat-alat tulis saja sangat terbatas. Sehingga sejak 2021, saya dan guru-guru relawan di Ati juga ikut membantu penyaluran donasi perusahaan serta menghubungkan sejumlah siswa yatim piatu dengan orangtua asuh sampai ke Eropa,” pungkas Diana.
Perjuangan Diana di pedalaman Papua semakin menantang saat masa jabatan Bupati Kristosimus berakhir pada 2022 silam. Hal ini bahkan membuat anak-anak Ati kehilangan bantuan sarana dan prasarana belajar mengajar seperti alat tulis. Karena menurut Diana, mayoritas orangtua murid di Ati tak memiliki penghasilan tetap dan menggantungkan hidupnya dari BLT (Bantuan Langsung Tunai), atau Dana Desa yang dicairkan pemerintah setempat.
Demi pembelajaran yang tetap berjalan lancar sebagai hak anak-anak Ati, Diana sampai meminta donasi lewat media sosial. Hanya saja perempuan yang pada 2024 ini genap berusia 28 tahun itu tak mau menerima uang, melainkan buku, alat tulis, hingga pakaian layak pakai untuk murid-muridnya.
Namun ternyata, Diana justru terpilih sebagai pemenang SIA 2023 di bidang pendidikan.
Bahkan Astra tak cuma sekadar memberikan piala SIA padanya, melainkan juga memberi dukungan penuh kegiatan belajar-mengajar di Ati.
“Astra selalu memberi ruang untuk berkolaborasi, termasuk mengenalkan digital learning lewat pemberian perangkat tablet untuk belajar. Komitmen Astra untuk bersedia menembus wilayah terpencil adalah keputusan yang jarang dilakukan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Astra terus memonitor kegiatan kami, serta bertanya tentang apa yang bisa mereka dukung. Sejak saya mengajar di Ati, baru kali ini saya melihat seluruh siswa mengenakan seragam yang semuanya berkat bantuan Astra,” jelas Diana terharu.
Bukan tanpa alasan kenapa Diana begitu terbawa suasana saat melihat seluruh muridnya di Ati mengenakan seragam sekolah. Karena berbeda dengan sekolah-sekolah negeri di Jawa, mayoritas para siswa di Ati memakai pakaian sehari-hari dan tidak bersepatu saat masuk kelas.
Lokasi SD Negeri Ati yang ada di tengah ladang, membuat para siswa haruslah melewati hutan dan area rawa-rawa. Diana menuturkan kalau ada enam siswa yang tinggal di hutan dan butuh waktu dua jam perjalanan untuk bersekolah.
Namun berbagai perjuangan Diana itu kini sudah membuahkan hasil.
Diana bahkan masih mengingat betapa bangganya dirinya saat pergi ke Kepi dan bertemu murid-muridnya dulu yang kini sudah duduk di bangku SMA, serta ada yang jadi anggota Paskibra. Baginya hal itu bahkan membuatnya jauh lebih bersyukur dan luar biasa senang. Untuk itulah Diana tak akan berhenti untuk mendesak pemerintah agar semakin jeli untuk melihat daerah-daerah pelosok lain di Tanah Air ini yang fasilitas pendidikan dasarnya terbatas.
Kau telah berhasil menjadi sebaik-baiknya manusia Indonesia, yang begitu bermanfaat untuk negeri.
Apa yang sudah kau lakukan Bersama rekan-rekanmu selama ini, adalah bukti hebatnya kemampuanmu Berkarya yang akan mampu memberikan dampak Berkelanjutan luar biasa untuk generasi penerus negeri.
Teruslah terbang dan kepakkan sayapmu, Diana.
Karena dirimu sejatinya memang seindah Cendrawasih, sang burung penghuni Nirwana.
#BersamaBerkaryaBerkelanjutan #KitaSATUIndonesia
“Buta huruf di Papua haruslah diberantas. Tahun 2019 saya pernah mengirim surat terbuka ke Mendikbudristek Nadiem Makarim karena bagi saya, masyarakat di sini sudah punya niat baik sehingga pemerintah wajib memberikan dukungan. Di Mappi ini alat-alat tulis saja sangat terbatas. Sehingga sejak 2021, saya dan guru-guru relawan di Ati juga ikut membantu penyaluran donasi perusahaan serta menghubungkan sejumlah siswa yatim piatu dengan orangtua asuh sampai ke Eropa,” pungkas Diana.
Paspor Masa Depan Untuk Anak-Anak Papua Bersama Astra
Diana saat mengajar di SD Negeri Ati | foto: Instagram @diana_cristiana_da_costa |
Demi pembelajaran yang tetap berjalan lancar sebagai hak anak-anak Ati, Diana sampai meminta donasi lewat media sosial. Hanya saja perempuan yang pada 2024 ini genap berusia 28 tahun itu tak mau menerima uang, melainkan buku, alat tulis, hingga pakaian layak pakai untuk murid-muridnya.
Bahkan di saat dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tak mencapai Ati tepat waktu, Diana sampai rela memakai sebagian penghasilannya yakni TPG (Tunjangan Profesi Guru) dan TKG (Tunjangan Khusus Guru), untuk mendukung proses pembelajaran.
Berkat rekomendasi dari orang lain, Diana terkejut saat dirinya terdaftar sebagai salah satu peserta SATU Indonesia Awards (SIA) di tahun 2023. Hanya saja kala itu Diana tidaklah cukup percaya diri dan sadar kalau dia hanyalah guru kawasan pedalaman, tapi harus bersaing dengan ribuan orang di seluruh pelosok Indonesia yang mungkin lebih berprestasi daripada dirinya.
“Hidup itu tak melulu soal uang dan gemilang karier di kota besar, tapi juga pengabdian terhadap sesama. Saat saya mudik ke Atambua, saya bahkan ingin segera kembali ke Ati karena rindu murid-murid di sana. Hati saya selalu tergerak kalau bicara soal Papua. Kalau kita semua ke kota, kasihan tidak ada yang mau ke pedalaman Papua. Pendidikan itu adalah paspor masa depan bagi anak-anak di manapun mereka berada, termasuk di pelosok. Anak-anak pedalaman harus bisa melanjutkan mimpinya tanpa sulit meneriakkan huruf A sampai Z,”
***
Hingga akhirnya perjuangan tanpa lelah Diana ini membuat PT Astra International Tbk terpikat. Berkat rekomendasi dari orang lain, Diana terkejut saat dirinya terdaftar sebagai salah satu peserta SATU Indonesia Awards (SIA) di tahun 2023. Hanya saja kala itu Diana tidaklah cukup percaya diri dan sadar kalau dia hanyalah guru kawasan pedalaman, tapi harus bersaing dengan ribuan orang di seluruh pelosok Indonesia yang mungkin lebih berprestasi daripada dirinya.
Diana menerima piala SIA 2023 dari Astra | foto: Instagram @diana_cristiana_da_costa |
Bahkan Astra tak cuma sekadar memberikan piala SIA padanya, melainkan juga memberi dukungan penuh kegiatan belajar-mengajar di Ati.
“Astra selalu memberi ruang untuk berkolaborasi, termasuk mengenalkan digital learning lewat pemberian perangkat tablet untuk belajar. Komitmen Astra untuk bersedia menembus wilayah terpencil adalah keputusan yang jarang dilakukan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Astra terus memonitor kegiatan kami, serta bertanya tentang apa yang bisa mereka dukung. Sejak saya mengajar di Ati, baru kali ini saya melihat seluruh siswa mengenakan seragam yang semuanya berkat bantuan Astra,” jelas Diana terharu.
Bukan tanpa alasan kenapa Diana begitu terbawa suasana saat melihat seluruh muridnya di Ati mengenakan seragam sekolah. Karena berbeda dengan sekolah-sekolah negeri di Jawa, mayoritas para siswa di Ati memakai pakaian sehari-hari dan tidak bersepatu saat masuk kelas.
Lokasi SD Negeri Ati yang ada di tengah ladang, membuat para siswa haruslah melewati hutan dan area rawa-rawa. Diana menuturkan kalau ada enam siswa yang tinggal di hutan dan butuh waktu dua jam perjalanan untuk bersekolah.
Diana mengenalkan perangkat teknologi ke murid di Ati foto | dokumentasi pribadi |
Apalagi dengan mulai masuknya internet secara menyeluruh di Mappi sampai Ati sejak tahun 2021, membuat anak-anak Papua pedalaman itu kini mulai memiliki mimpi. Cakrawala cita mereka terbuka seiring dengan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang meningkat berkat Diana dan rekan-rekan guru lainnya.
Diana sendiri saat ini sudah menyelesaikan kontraknya sebagai relawan guru GPDT dan kembali bermukim di Atambua, lantaran sudah resign sejak Oktober 2024. Kendati dirinya begitu sedih harus meninggalkan Mappi yang sudah bertahun-tahun menjadi tempat tinggalnya, Diana kini bertekad untuk belajar lagi demi membuat dirinya jadi lebih baik.
Diana bahkan masih mengingat betapa bangganya dirinya saat pergi ke Kepi dan bertemu murid-muridnya dulu yang kini sudah duduk di bangku SMA, serta ada yang jadi anggota Paskibra. Baginya hal itu bahkan membuatnya jauh lebih bersyukur dan luar biasa senang. Untuk itulah Diana tak akan berhenti untuk mendesak pemerintah agar semakin jeli untuk melihat daerah-daerah pelosok lain di Tanah Air ini yang fasilitas pendidikan dasarnya terbatas.
“Saya berharap kalau Menteri Pendidikan yang baru bersedia datang ke pedalaman. Jangan bikin kebijakan menggunakan sample perkotaan terus, karena akan membuat anak-anak pedalaman selamanya tertinggal. Sistem pendidikan harus diubah. Guru-guru wilayah pelosok seperti kami ini adalah pembuka imajinasi agar anak-anak itu bisa dapat akses ke pendidikan yang lebih tinggi. Mereka berhak sadar kalau ada kehidupan lain di luar sana, selain bertani atau memancing. Nanti setelah studi saya selesai, saya ingin kembali lagi ke Indonesia Timur entah sebagai guru atau dosen.”
***
Diana Cristiana Da Costa Ati, 28 tahun hidupmu adalah keistimewaan. Kau telah berhasil menjadi sebaik-baiknya manusia Indonesia, yang begitu bermanfaat untuk negeri.
Apa yang sudah kau lakukan Bersama rekan-rekanmu selama ini, adalah bukti hebatnya kemampuanmu Berkarya yang akan mampu memberikan dampak Berkelanjutan luar biasa untuk generasi penerus negeri.
Teruslah terbang dan kepakkan sayapmu, Diana.
Karena dirimu sejatinya memang seindah Cendrawasih, sang burung penghuni Nirwana.
#BersamaBerkaryaBerkelanjutan #KitaSATUIndonesia
Tulisan ini diikutsertakan dalam SATU Indonesia Awards 2024
0 Comments