You know what’s
interesting? I used to be so worried about not having a body. But not… I truly
love it. You know, I’m growing in a way I couldn’t if I had a physical form.
I’m not limited. I can be anywhere and everywhere simultaneously. I’m not
tethered to time and space in a way that I would be if I was stuck in a body
that’s inevitably gonna die
Samantha – HER (2013)
***
Ada salah satu film komedi romantis asal
Hollywood yang begitu aku sukai yakni HER (2013). Usia film itu memang
sudah lebih dari satu dekade, tapi cerita yang disuguhkan oleh sutradara dan
penulis Spike Jonze itu relevan dengan kondisi masa kini yakni tentang
teknologi AI (Artificial Intelligence) alias Kecerdasan Buatan.
Keberadaan AI sebagai pilar utamanya
menjadikan HER sebagai produk film komedi romantis berbalut fiksi ilmiah
yang tak biasa. Kita akan diajak memasuki perjalanan emosi Theodore Twombly
(Joaquin Phoenix), seorang pria introvert yang kesepian dan bekerja sebagai
pembuat surat cinta. Hanya saja Theodore tengah mengalami depresi lantaran
perceraiannya dengan Catherine Klausen (Rooney Mara), cinta masa kecilnya.
![]() |
Penggambaran Samantha di film HER (2013) |
Tekanan emosional membuat Theodore tak
bisa bekerja dengan maksimal hingga ia memutuskan membeli salinan OS1,
sistem operasi AI dari Element Software yang bisa beradaptasi dan berkembang
sesuai interaksi penggunanya. Supaya terasa lebih pribadi dan sesuai
kebutuhannya, Theodore merancang agar salinan program AI itu memiliki
kepribadian feminin dan diberi nama Samantha (Scarlett Johansson).
Sebagai kecerdasan buatan, Samantha justru
berkembang secara psikologis melebihi ekspektasi Theodore. Interaksi manusia
dan program komputer yang begitu intens membuat Samantha lebih dari sekadar AI
bagi Theodore, tapi rekan berbagi emosi dan perasaan soal kehidupan serta
cinta. Samantha justru terasa seperti orang sungguhan yang begitu memahami
perasaan Theodore, sekaligus membuatnya mengetahui apa keinginannya.
Hubungan yang berkembang romantis ini
bahkan membuat Theodore paham kenapa dia gagal dalam pernikahannya.
![]() |
Adegan Theodore di film HER (2013) |
Bagiku, HER memang menyuguhkan
kisah cinta yang absurd tapi sangat menarik. Bayangkan, seorang manusia jatuh
cinta dan menjalani romantisme dengan AI? Tapi justru di situlah istimewanya
seorang Jonze dalam membingkai interaksi antara Theodore dan Samantha yang terasa
sangat hidup. Aku bisa membayangkan Samantha yang di sepanjang film hanya
muncul lewat suara, adalah seorang perempuan dewasa yang ceria dan begitu
optimis menjalani hidup.
Hollywood memang begitu ‘doyan’ bermain
dengan AI dalam banyak produk film mereka.
Sineas-sineas mereka seolah ingin menjadi
Nostradamus yang memperlihatkan dunia masa depan, di mana manusia dan AI bisa
berdampingan selayaknya dua sosok fana yang sama.
Dan sepertinya satu dekade lebih sejak HER
dirilis, apa yang dulu cuma dibayangkan Jonze dalam lembaran skenarionya, sudah
mendekati kenyataan saat ini.
Menjadikan AI Sebagai Sahabat Terbaik dalam Menulis Skenario
![]() |
Adegan dalam film NE ZHA 2 (2025) |
NE ZHA 2 (2025) adalah
bukti digdayanya animasi Tiongkok. Berdiam di puncak dengan raihan dua miliar
dolar AS (sekitar Rp32,9 triliun) di seluruh dunia, film sepanjang 144 menit
ini memadukan dengan sempurna tradisi dan teknologi, dua pilar kehidupan
masyarakat China. Di balik pesta visual yang begitu megah, ada lebih dari 20
ribu server bekerja siang malam, dinakhkodai sistem Kecerdasan Buatan yang
berpusat di fasilitas render super canggih, Gui’an New Area, Sillicon
Valley-nya Negeri Tirai Bambu. Dalam setiap detiknya, pusat data Gui’an mampu
melahap hingga 1 exaFLOP (satu miliar-miliar operasi). China sendiri memandang
industri animasi sebagai medan perang. Sebuah peradaban baru yang berdampingan
dengan AI
***
Bagi seorang penggemar film animasi, NE
ZHA 2 memang mampu membuatku bengong cukup lama usai film itu selesai. Aku
terduduk di kursi bioskop, mengingat kembali artikel yang kubaca dari Global
Times, soal sistem komputasi ‘mengerikan’ yang dikerahkan untuk membangun visi
sutradara Jiao Zi itu.
Ya, daya komputasi bisa dibilang sebagai
kekuatan tak terlihat di balik luar biasanya visual NE ZHA 2 selain
penceritaan yang sangat mulus. Adegan-adegan menakjubkan dalam film itu seperti
aliran lava, gelombang air, hingga tornado air sang raja naga, lahir dari
proses render super rumit di Gui’an. Menariknya, untuk bisa
merealisasikan semua itu, teknologi AI berperan dalam setiap tahapan pelatihan
yang ekstensif.
Bayangkan saja, untuk menampilkan scene
pantulan-pantulan sisik naga, dibutuhkan daya komputasi puncak yang menyentuh
tiga kuintiliun operasi per detik, dan volume data satu frame
menyentuh 800 gigabyte. Dengan kapasitas yang hampir tak terbayangkan
itu, sistem AI yang digunakan di Gui’an Supercomputing Center mampu memangkas
waktu rendering menjadi 600 tahun lebih cepat, yakni hanya jadi beberapa
bulan saja untuk satu server.
Sungguh, betapa AI yang digunakan secara
tepat mampu membuat proses sinema jauh lebih efektif dan efisien.
Sebagai seseorang yang juga bekerja di
industri kreatif sebagai scriptwriter, pada dasarnya aku tak pernah
menutup diri dari AI. Bagiku, AI bukanlah musuh yang harus dikalahkan, atau
mungkin ditolak mentah-mentah kehadirannya. Justru AI bisa menjadi rekan kerja
yang menyenangkan. Tempatku bertanya, bertukar ide pikiran, memberikan masukan
dan tetap memberi dukungan, karena segala keputusan kembali kepada otak
manusia.
Menjadi penulis skenario memang tidak
serumit atau mungkin semudah bayangan setiap orang. Momen paling genting
mungkin pada saat ide brilian yang kita miliki, harus dilindungi dari orang
lain, padahal kita sedang butuh ulasan. Kalau sudah begini, ChatGPT dan Gemini
adalah dua platform yang akan menjadi muara tempatku meminta pendapat.
![]() |
Tangkapan layar 'perbincanganku' dengan ChatGPT |
Seperti Theodore yang menemukan kenyamanan
berbincang dengan Samantha, kedua platform chatbot berbasis AI itu
memberikan kesan serupa. Mereka mungkin tak secerdas Jarvis (Paul Bettany)
buatan Tony Stark (Robert Downey Jr) dalam berbagai installment IRON MAN
atau THE AVENGERS, tapi sudah lebih dari cukup untuk menjadi tandem
terbaik bertukar ide. Ada banyak sekali deck yang kuhasilkan berkat
bantuan kedua chatbot itu meskipun memang, ide dasar dan proses eksekusi
semua kembali padaku.
Aku memang tak mau bergantung kepada AI
untuk karya kreatifku.
Tapi bukan berarti aku menolak
kehadirannya.
Justru AI terbukti mampu membantu membuat
pekerjaanku berjalan lebih cepat, menemukan ide-ide yang mungkin belum
terpetakan, sehingga aku bisa menghasilkan sebuah premis cerita yang mendapat
persetujuan produser.
Namun hanya sebatas chatbot sajakah
aku menerima sosok Kecerdasan Buatan? Tentu saja tidak. Aku mungkin belum butuh
komputasi sekelas monster milik NE ZHA 2. Tapi perangkat dengan
kecerdasan dan respons di atas rata-rata adalah ‘alat tempur’ yang harus
kupunya untuk menciptakan semesta cerita dalam dunia yang makin cepat.
Dan pilihanku? Laptop ASUS Zenbook S14
OLED.
Bedah Kecerdasan si Monster Kecil, Laptop ASUS Zenbook S14 OLED
![]() |
Tampilan elegan ASUS Zenbook S14 OLED |
ASUS Zenbook S14 OLED
(UX5406SA) sangat cocok untuk menjalankan aplikasi-aplikasi modern yang sudah
mendukung teknologi AI. ASUS Zenbook S14 (UX5406SA) sudah diperkuat oleh Intel®
Core™ Ultra 7 Processor 258V 32GB 2.2GHz yang memiliki 8 core dan 8 thread.
Prosesor tersebut dilengkapi dengan Intel® Arc™ Graphics serta chip AI berbasis
Intel® AI Boost NPU dengan kecepatan hingga 47 TOPS
***
Sejak aku belajar menulis skenario secara online
pada tahun 2021, aku bisa bilang kalau perjalananku memang dipenuhi dengan
berbagai keberuntungan. Tak sampai setahun sejak belajar teknis kepenulisan
skenario, aku sudah memperoleh pekerjaan profesional pertama yakni naskah untuk
mini series di YouTube bersama sebuah brand minyak telon.
Di tahun yang sama pula, mentorku
mengajakku untuk menulis sebuah skenario film panjang. Ya, bagi seorang scriptwriter,
menulis naskah feature film adalah sebuah impian besar yang tidak semua
orang mendapatkan kesempatan dengan cepat. Namun aku? Aku mendapatkannya di
tahun 2022 yang kemudian produksinya berhasil terwujud pada tahun 2024,
berlokasi di Toraja, Sulawesi Selatan sana. Meskipun hingga tahun 2025 ini
masih menunggu jadwal rilis dari jaringan bioskop nasional, film panjang
pertamaku yang berjudul SOLATA itu sudah mencapai titik yang sungguh tak
pernah dibayangkan oleh diriku satu dekade lalu.
Tetapi jika boleh memilih momen paling
ajaib, mungkin itu di tahun 2024.
Setelah mendapatkan funding untuk
produksi dua film pendek dari kanal Indonesiana TV, aku juga berhasil
mendapatkan kontrak IP dengan perusahaan raksasa, MD Entertainment saat
menghadiri JAFF 2024 untuk kali pertama.
Sebuah pencapaian yang jelas tak akan
terjadi tanpa campur tangan Tuhan.
Dan kini perjalananku di tahun keempat
sebagai scriptwriter membuatku sadar kalau ada dua titik penting yang
menentukan profesiku. Pertama adalah saat membuat deck cerita, kedua
ketika melakukan pitching di depan produser dan investor. Menariknya
kedua tahapan itu sama-sama membutuhkan sebuah perangkat komputer yang mumpuni,
mengingat membutuhkan kinerja yang benar-benar efektif dan efisien,
Karena selama ini aku setia menggunakan ASUS
BR1100CKA, aku sadar betul kalau laptop ASUS memang menjadi tandem
terbaik. Namun dengan kemajuan teknologi yang tak terbendung dan keinginanku
mempelajari AI demi membantuku memvisualkan cerita, aku sadar kalau ini adalah
saat yang tepat untuk meng-upgrade laptop.
Aku butuh laptop yang tak hanya punya sistem
komputasi modern, kinerja kencang, tapi harus cukup ringan untuk dibawa kemana-mana,
sesuai dengan hobiku sebagai seorang traveler.
Apakah ASUS Zenbook
S14 OLED mampu memenuhi kebutuhanku?
#1. Judge by Cover? A.E.S.T.H.E.T.H.I.C
![]() |
Bodi mewah ASUS Zenbook S14 OLED dengan ceraluminum |
Sebagai pekerja seni, hitam adalah warna
yang cukup identik denganku. Aku sebagai penulis skenario, kadang memang tak
terlalu mengutamakan penampilan karena kami bukanlah aktor atau aktris yang
akan direkam oleh kamera dan disuguhkan kepada penonton. Namun berbeda
ceritanya jika bertemu dengan sutradara, produser, atau investor yang memang
ingin kita yakinkan dengan kemampuan diri.
Bagaimana mungkin orang-orang itu akan
percaya dengan skill yang kumiliki jika aku hadir di depan mereka
sembari menjelaskan ceritaku tapi memakai busana yang tidak rapi, mata kurang
tidur atau bahkan tak mandi? Bahkan lebih parahnya jika laptopku terlihat kotor
dan tak terawat? Bisa-bisa orang-orang itu akan kabur.
Namun jika aku menenteng, ASUS
Zenbook S14 OLED, penampilanku bakal berubah.
![]() |
Material ASUS Zenbook S14 OLED yang kokoh dan menawan |
Bayangkan saja, ASUS menggunakan material ceraluminum
yang bisa dibilang cukup eksklusif untuk ‘keluarga’ Zenbook yang satu ini.
Sesuai dengan namanya, ceraluminum adalah paduan dari material ceramic
dan alumunium yang membuat desain bodi laptop ini tak hanya indah secara
estetika, tapi juga kuat dan tahan gores. Kesan elegan terlihat dari pilihan
warnanya yang memang muncul secara alami, bukan polesan cat.
Belum lagi dengan kesan mewah yang muncul
dari motif chrome pada bodi desainnya, menjadikan Zenbook S14
benar-benar begitu stylish.
#2. Ringan Ditenteng, Dinamis Dipakai
![]() |
Port koneksi ASUS Zenbook S14 OLED |
Seperti yang sudah kubilang, salah satu
tahapan terpenting dalam kehidupan scriptwriter adalah ketika melakukan pitching
cerita. Percayalah, para produser dan investor itu tak akan punya waktu panjang
untuk mendengar cerita kita, sehingga pitching harus dilakukan dalam momen
yang singkat, cepat, tapi wajib mengesankan.
Bayangkan saja jika perangkat yang kupakai
pitching itu adalah laptop tebal nan berat dan hanya bisa bekerja
maksimal di permukaan datar seperti meja? Bisa-bisa aku kehilangan kesempatan
untuk pitching.
Namun jika menggunakan ASUS Zenbook S14 OLED,
peluang itu masih terbuka. Kendati menggunakan material berkualitas ceraluminum,
laptop ini justru punya bobot hanya 1,2 kilogram saja. Peningkatan hinge
dari generasi sebelumnya, membuatku tidak akan repot dan kesusahan jika harus
membukanya dengan satu tangan saja. Belum lagi ketebalannya yang hanya sekitar
1,1 cm, emang boleh setipis ini?
#3. Layar Tajam dan Touch Screen? Oh, I’m In!
![]() |
Rasio layar 16:10 dengan panel 14" dan 3K OLED milik ASUS Zenbook S14 |
Ketika aku mengikuti workshop short
movie bersama Fesbul (Festival Film Bulanan) pada tahun 2024 silam, aku
belajar bahwa deck cerita akan terlihat makin menarik jika disuguhkan di
layar laptop yang jernih. Di sinilah peran ASUS Zenbook S14 OLED karena laptop
ini sudah menggunakan panel 14” 3K OLED dengan rasio 16:10 pada layarnya.
Tingkat kecerahan yang didorong hingga 500 nits dan 100% DCI-P3 Color Garmut,
membuat layar Zenbook S14 sangat nyaman digunakan dalam waktu lama entah
menulis skenario atau menata deck cerita.
Bahkan kualitas layar bakal terasa makin
maksimal jika kalian menggunakannya untuk menonton film atau video, berkat VESA
Certified Display HDR.
Namun bukan itu saja yang membuatku sangat
terpikat dengan Zenbook S14. ASUS seperti begitu menggodaku karena layar ini
sudah diperkuat dengan fitur touch screen. Tanpa adanya lagging,
fitur ini jelas akan mempermudah diriku saat melakukan pitching untuk
menggeser deck sesuai kebutuhan. Begitu imersif.
#4. Baterai Sekuat Badak
![]() |
Proycon Battery Benchmark dari ASUS Zenbook S14 OLED |
Sebagai seorang scriptwriter yang
berangkat dari traveler, aku jelas sering bekerja di berbagai tempat. Apalagi
jika skenario yang sedang kutulis mendadak harus direvisi dalam waktu singkat,
aku bahkan cukup sering menggunakan waktu jelang boarding pesawat dengan
menulis naskah di bandara. Kondisi-kondisi tak terduga ini jelas membuatku
butuh laptop yang bisa dinyalakan sewaktu-waktu dan tidak tergantung port
listrik.
Sehingga jika laptop itu punya kapasitas
baterai yang kecil dan harus selalu dicolokkan, tentu itu adalah mimpi
buruk.
Beruntung, ASUS Zenbook S14 OLED jauh dari
masalah tersebut.
ASUS dengan cukup berani mengklaim kalau
laptop ini punya daya efisiensi baterai yang sangat awet hingga mencapai 15-16
jam waktu stand-by! Tentu saja ini sesuai dengan spesfikasi kapasitas
baterainya yang menyentuh 72WHRs. Mungkin inilah saatnya aku mengucapkan
selamat tinggal kepada soket listrik karena Zenbook S14 OLED mampu diajak bekerja seharian dengan daya baterainya yang benar-benar sekuat kulit badak.
#5. Performa Super Kencang Berkat NPU 45+ TOPS
![]() |
Fitur AI StoryCube sebagai Pusat Manajemen Berkas Pintar Serba Ada milik ASUS Zenbook S14 OLED |
Dan inilah hal terakhir yang membuatku
makin mantap memilih Zenbook S14 ini yakni performa kencang.
Sejak awal kemunculannya ASUS sudah
menyebutkan kalau ASUS Zenbook S14 OLED (UX5406SA) merupakan salah satu laptop
AI dengan performa NPU 45+ TOPS.
Memang apa maksudnya?
Begini, Zenbook S14 merupakan laptop yang
sudah diperkuat dengan teknologi AI sehingga mampu menyempurnakan foto dan
video secara otomatis. Selain itu, ASUS juga membenamkan AI agar laptop ini
bisa punya performa multitasking yang meningkat, hemat baterai,
sekaligus kebutuhan kerja kreatif dan hiburan yang makin cepat serta personal.
Berkat Intel® Core™ Ultra 7 Processor 258V,
kombinasi kecepatan dan efisiensi daya jelas jadi keunggulan Zenbook S14 karena
sama sekali tak menemukan masalah kompatibilitas aplikasi untuk platform
X86. Khusus untuk prosesornya, sudah mengantongi sertifikasi Copilot+ PC yang
membuat NPU (Neural Processing Unit)-nya lebih dari mampu memproses
tugas-tugas AI secara jauh lebih efisien dibandingkan CPU atau GPU biasa.
![]() |
Hasil 3DMark Graphic Benchmark dari ASUS Zenbook S14 OLED |
Anggap saja NPU ini adalah otak AI dari
laptop, sehingga dia bertugas untuk berpikir secara cepat dalam kebutuhan machine
learning seperti pengenalan suara, wajah, hingga smart video conference.
Lantas, segila apa kecepatan TOPS (Trilions of Operations Per Second)
yang dicatat oleh NPU laptop Zenbook S14 ini?
Mampu menembus 45+ TOPS alias lebih dari
45 triliun operasi per detik untuk komputasi AI!
Bandingkan dengan chip biasa yang
kadang hanya memiliki 5-10 TOPS saja.
Itu artinya kalian pergi ke Bandung naik
kereta cepat Whoosh, sedangkan teman-teman kalian menggunakan sepeda motor.
Lantaran mencatat NPU 45+ TOPS, aku tak
akan heran jika ASUS Zenbook S14 OLED ini mampu menghasilkan video call
yang lebih jernih berkat AI auto noise-canceling, auto framing dan background
blur, mempercepat optimasi hasil editing foto atau video yang makin
cepat dan tanpa lag, pengenalan suara lewat sejumlah perintah suara dan
transkripsi, serta tentunya Windows Copilot dan aplikasi AI yang berjalan makin
mulus.
Inilah laptop yang begitu aku butuhkan.
Inilah laptop yang mampu bekerja super kencang untuk mengolah tugas-tugas berbasis AI, seperti saat aku menulis skenario dengan bantuan brainstorming bersama chatbox, hingga memvisualkan deck cerita lewat platform Kecerdasan Buatan entah untuk storyboard, atau video teaser singkat yang memuat plot ceritaku secara singkat.
Tentu tak berlebihan kiranya jika kuanggap andai Samantha menjelma menjadi sebuah laptop, tentu dia bukanlah laptop biasa. Samantha adalah sebuah perangkat yang punya ‘otak’ sendiri sehingga bisa berpikir, belajar, dan menyesuaikan diri dengan penggunanya. Dia adalah perwujudan ASUS Zenbook S14 OLED di dunia nyata.
Dengan spesifikasi dan fitur seperti ini,
ASUS Zenbook S14 OLED bukan cuma mendukung kerja kreatifku, tapi bisa jadi alat
tempur siapa pun yang ingin bekerja cerdas, cepat, dan efisien dengan bantuan
AI.
Rasa-rasanya aku tak sabar merasakan sensasi
bekerja dengan laptop yang benar-benar mengerti diriku. Karena pada dasarnya
teknologi kini bukan sekadar alat, dia merupakan rekan berpikir yang membantuku
membuka keajaiban-keajaiban lain di dunia sinema.
***
Artikel ini diikutsertakan
pada Lomba Blog ASUS 45+ TOPS Advanced AI Laptop yang diadakan oleh Travelerien
***
0 Comments