Sebagai rempah asli Indonesia,
aku bisa dengan mudah kalian temukan di masakan gulai, kari bahkan semur daging
yang mungkin kerap kalian santap sehari-hari. Aroma harum yang kuhasilkan
dengan ciri khas agak pedas, membuatku mampu menguatkan rasa sampai memberikan
efek menghangatkan. Kemampuan yang akhirnya membuatku diburu sepanjang sejarah.
Bukan bermaksud sombong,
bersama-sama dengan cengkih, aku bisa dibilang sebagai salah satu penggerak roda bangsa ini. Roda
bangsa yang perjuangannya sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu. Aku adalah
saksi bisu bagaimana masyarakat Zamrud Khatulistiwa ini hidup makmur, jatuh
terpuruk, menyerah dan bangkit kembali.
Lewat diriku dan rekan-rekan
rempahku yang lain, negeri ini menorehkan tinta
emas dalam catatan sejarah peradaban manusia di semesta ini. Semua bermula saat orang-orang dari berbagai
belahan Bumi lain berlomba-lomba melintasi samudera ke arah timur, yang
akhirnya menemukan sebuah negara kepulauan yang begitu luhur, bernama
Indonesia.
Ceritaku yang Melintasi Ruang Sejarah
Manusia Bumi
Ada yang bilang kalau aku
adalah buah emas.
Bukan sekadar metafora karena
memang di masa lampau, nilaiku bahkan lebih berharga daripada emas atau minyak
Bumi sekalipun. Namun sebutan buah emas ini memang benar-benar merujuk secara
harfiah, lantaran aku bisa mencapai warna kuning keemasan saat mencapai separuh
usia.
Eits, kalian tidak bisa memetikku ketika masih setengah
ranum.
Kalian hanya boleh memanen
pala saat warna kulitku sudah menjadi kuning
kemerahan dengan
bagian biji yang terbungkus salut biji (arillus) alias fuli (mace).
Tidak bisa langsung dikonsumsi, bagian biji pala yang dimanfaatkan manusia
untuk berbagai kebutuhan ini butuh waktu yang cukup panjang sebelum
diperdagangkan.
Aku harus melewati masa
pengeringan selama 6-8 minggu sampai bagian biji menyusut lalu pecah, dan
kemudian bagian di dalam biji itulah yang begitu berharga.
Terdengar sangat panjang
proses yang harus kulewati sebelum akhirnya aku bisa digunakan dalam berbagai
kudapan entah makanan, minuman, atau obat-obatan?
Ahh, itu tidaklah sepanjang perjalananku dalam melintasi ruang-ruang kehidupan manusia di Bumi ini.
Percayakah kalian kalau aku
ini merupakan buah yang jatuh dari surga?
Bahwa Tuhan memang sengaja membuatku untuk diletakkan di Indonesia?
Dalam bukunya yang berjudul Suma
Oriental (1944), Tomé Pires sempat mengutip peribahasa para pedagang Malaka
yang begitu memuja diriku sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Peribahasa itu berbunyi:
‘Tuhan menciptakan Timor untuk
pohon cendana. Maluku untuk cengkih. Banda untuk buah pala. Barang dagangan ini
tidak bisa ditemukan di tempat lain di seluruh penjuru Bumi, kecuali di tiga
tempat tersebut’
Dan di pulau yang sering
disebut sebagai Banda Neira itulah aku tumbuh dengan luar biasa melimpah.
Kalian harus tahu bahwa di
seluruh pelosok Bumi ini, aku hanya bersedia
tumbuh dengan kualitas terbaik di Banda saja. Paduan dari lokasi yang terpencil, tanah
yang subur dan lumayan kering dalam iklim tropis yang kerap diguyur hujan,
adalah kondisi spesifik yang aku butuhkan. Kenampakan alam yang mungkin hanya
bisa ditemukan di Banda.
Dan dari pulau yang pernah
jadi tempat pembuangan tahanan politik Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda
seperti Sang Proklamator Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan Cipto Mangunkusumo
itulah, aku berpetualang ke seluruh penjuru
Planet Biru. Menumpang kotak demi kotak para saudagar, berpindah
dari satu kapal ke kapal lain, hingga akhirnya mencapai meja-meja makan mewah
milik para Kaisar, Raja dan bangsawan.
Yap, jauh sebelum bangsa Eropa
singgah ke Indonesia, ribuan tahun lalu aku sudah melintasi rute perjalanan
yang menghubungkan antarpulau, suku dan bangsa. Rute
kuno bernama Jalur Rempah inilah yang akhirnya mengenalkan Nusantara dengan dunia
sekaligus cikal bakal budaya bahari.
Di mana melalui Jalur Rempah
itulah, aku dan rekan-rekan rempah asli Indonesia lainnya berlayar hingga ke
Asia Selatan dan Afrika Timur.
Tidak hanya itu saja, Jalur
Rempah juga membawaku singgah ke Tiongkok serta India. Banyak biarawan Tiongkok
menaiki kapal-kapal Nusantara demi belajar agama Buddha di Sriwijaya
(Suvarnadvipa). Ketika Sriwijaya, Singosari, Mataram Hindu hingga Majapahit
berkuasa di Tanah Air, aku adalah saksi bisu
sejarah itu berganti.
biji pala terbungkus fuli |
Rakyat-rakyat jelata kerap
mendamba memperolehku sementara para Tuan Tanah memberikanku sebagai upeti
kepada sang penguasa. Semua ini sudah kujalani bahkan sejak 4.500 tahun lalu. Artinya, aku sudah ada
di Bumi ini selama empat milenium dan menjadi magnet utama mata dunia tertuju
ke negeri ini.
Kalau ada yang bilang aku si
biji pala ini baru terkenal karena campur tangan
para penjajah Portugis, itu jelas salah besar. Pedagang-pedagang
lokal sudah aktif dalam jaringan perdagangan dunia yang membuat rempah-rempah
Negeri Seribu Pulau sepertiku ini telah termahsyur hingga ke dataran Eropa,
bahkan sebelum mereka mengenal ada wilayah yang begitu subur bernama Nusantara.
Kala itu orang-orang Timur
Tengah menyebutku sebagai harta dari Negeri di
Bawah Angin. Julukan ini sendiri sebetulnya merujuk ke Indonesia
yang merupakan daerah bertemunya angin antar tropis. Bahkan dalam Hikayat
Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu, bentang alam Sumatera hingga Maluku disebut
sebagai Tanah di Bawah Angin.
Kalian patut berbangga, Zamrud Khatulistiwa ini memang ada di posisi yang luar
biasa strategis. Menghubungkan Samudera Hindia dengan Laut China
Selatan, Asia Timur dengan Asia Barat hingga Timur Tengah, hingga tentunya
Afrika dan Eropa nun jauh di belahan Bumi barat sana.
Ahh, aku jadi ingat bagaimana Jack Turner menjelaskan
petualangan luar biasaku dalam bukunya yang berjudul Spice, The History of a
Temptation (2005):
‘Tidak ada rempah-rempah yang menempuh perjalanan lebih jauh ataupun lebih eksotis
daripada pala dan cengkih. Setelah panen di Banda atau di bawah
bayangan gunung vulkanik Ternate dan Tidore, rempah melintasi pulau-pulau di
Nusantara.
Dibawa juga oleh pedagang
China yang sudah berdagang di Maluku sejak abad ke-13. Rempah bergerak ke
barat, dikapalkan menuju pasar rempah di Malabar, lepas pantai India.
Komoditas itu kemudian dikirim
dengan kapal Arab menyeberangi Samudera Hindia menuju Teluk Persia atau Laut
Merah dan singgah di banyak pelabuhan-pelabuhan tua. Rempah lalu dialihkan ke
karavan besar menyusuri gurung pasir, menuju pasar-pasar di jazirah Arab,
Alexandria dan Levant. Ketika rempah mencapai perairan Mediterania, mereka pun
tiba di tangan bangsa Eropa’
Mantra Gold, Glory, Gospel Saat
Memburu Sang Biji Banda
Empat abad kemudian atau
sekitar tahun 1.000 Masehi, Sang Bapak Kedokteran Modern yakni Ibnu Sina
berjumpa denganku dan menyebutku sebagai jansi
ban alias biji Banda.
Dokter kelahiran Persia
(sekarang disebut Iran) itu bisa bertemu denganku karena pada masa itu,
masyarakat Arab menggunakan pala sebagai barang barter. Seperti yang kubilang
tadi, aku si buah surga ini pernah memegang kendali dalam sebuah transaksi.
Dari Jazirah Arab sana, aku
akhirnya melanjutkan perjalananku ke Venesia di Italia karena
bangsawan-bangsawan Eropa begitu menyukaiku sebagai tambahan perasa pada
masakan mereka.
Aku boleh berbangga karena
masyarakat Eropa begitu tergila-gila padaku. Bahkan sekitar abad ke-14 di
Jerman, harga satu pon alias setengah kilogram
pala sama dengan tujuh ekor lembu gemuk. Sebuah transaksi yang sudah
pasti membuktikan betapa mahalnya diriku.
Sebagai komoditas rempah yang dianggap
luar biasa, para penguasa pun mulai memburuku. Sebuah momentum yang nantinya
membawaku ikut menggerakkan roda sejarah umat manusia di Bumi ini.
Semua dimulai ketika Konstantinopel berhasil ditumbangkan oleh bangsa Turki
Ottoman di
tahun 1453 dan mengubah nama ibukota Byzantium itu jadi Istanbul. Kebangkitan
Turki Ottoman memicu embargo perdagangan di sepanjang wilayah mereka sehingga
membuat pedagang-pedagang Arab dan Venesia enggan melakukan monopoli rempah.
Hal ini akhirnya memicu
orang-orang Eropa yang memang begitu membutuhkan diriku, mencari rute perdagangan baru ke arah timur, ke
East Indies (nama Indonesia di masa penjajahan). Semua ini terjadi karena
banyak literatur milik Kekaisaran Romawi Kuno menyebutkan kalau mereka membeli
rempah-rempah milik pedagang Arab seperti kayu manis, lada dan pala dari India
serta East Indies.
Dan berawal pada abad ke-15, perburuanku
sebagai komoditas berharga yang bahkan dianggap setara emas dan sutra kelak
akan membuatku tenggelam dalam pusaran darah manusia.
Darah-darah yang harus tumpah
karena mantra bangsa Eropa kala itu yakni Gold, Glory dan Gospel.
Para penjelajah samudera yang awalnya bertujuan mencari dunia baru itu adalah gerbang dari praktek kolonialisme dan imperialisme yang dimulai oleh Spanyol dan Portugis.
Setelah Perjanjian Tordesilas
disepakati di akhir abad ke-14 oleh kedua
kerajaan Katolik paling berpengaruh di Eropa tersebut, mereka pun
berbagi kekuasan. Portugis yang berhak atas dunia timur pun memulai
penjelajahan samudera sembari memperoleh kekayaan (gold), kejayaan (glory)
dan menyebarkan agama Katolik (gospel) yang kemudian menuju Nusantara.
Melintasi rute kuno Jalur
Rempah, misi besar mencapai tanah kelahiranku pun membawa Alfonso de Albuquerque ke Malaka dan Banda di tahun 1511.
Kedatangan Portugis yang awalnya tergiur pada hargaku yang tinggi di pasaran
dunia itu, akhirnya turut memetakan Negeri di Bawah Angin dalam jaringan
perdagangan global.
Pala si Pemicu Perjuangan Bangsa
Indonesia
Berkat de Albuquerque sang
jenius militer Portugis itu, sebuah benteng pun dibangun di Banda. Aku masih
ingat bagaimana benteng yang terbuat dari kayu itu dibangun, seolah menjadi
bukti kokohnya aksi monopoli Portugis atas pala di jaringan perdagangan dunia.
Lewat aroma semerbak minyak
atsiri yang mampu menguatkan rasa, kemampuanku memberikan efek hangat dan harga
jualku yang begitu menggiurkan, mengundang penjelajah-penjelajah Eropa lain ke
Kepulauan Banda,.
Hingga akhirnya aku bertemu
dengannya, si penjelajah yang membuat negeri ini harus rela dijajah Belanda
selama 3,5 abad lamanya.
Pria yang namanya paling sering diperbincangkan dalam sejarah Indonesia.
Cornelis de
Houtman.
Bersama adiknya Frederik,
Cornelis si pedagang Belanda yang pernah dipenjara Portugis karena mencuri rute
rahasia menuju Hindia Timur tempatku berada, ditunjuk sebagai pemimpin empat
kapal dagang bernama Verre Company. Kala itu kedatangan pedagang-pedagang
Belanda di Nusantara disambut dengan baik karena mereka bersikap ramah.
Namun banyaknya kapal dagang
Belanda yang datang ke Nusantara membuat harga
rempah-rempah pun anjlok. Hingga akhirnya di tahun 1601, VOC (Verenigde
Oost-Indische Compagnie) alias Perusahaan Dagang Hindia Timur pun terlahir.
VOC inilah yang akhirnya
membuat nasib orang-orang yang menanamku menjadi begitu suram.
Upaya ingin melindungi harga
rempah pun membuat VOC gelap mata dan bersikap brutal. Apalagi saat desas-desus
menyebutkan jika aku diyakini bisa menjadi obat
berbagai penyakit termasuk wabah pes yang
tengah menghantui Eropa, membuat VOC nekat melakukan berbagai upaya.
lukisan pembantaian warga Banda oleh VOC |
Aku melihat bagaimana VOC membantai orang-orang asli Banda demi menguasai perkebunan pala. Bahkan ambisinya
untuk memonopoliku dan teman-temanku membuat Belanda rela menukar Nieuw
Amsterdam (kini dikenal sebagai New York), salah satu koloni mereka dengan
Pulau Rhun, tanah kelahiranku yang dikuasai Inggris.
Ya, Rhun adalah salah satu
bagian dari Kepulauan Banda yang merupakan penghasil
pala terbesar di dunia.
Tak berhenti di situ, aku
melihat bagaimana VOC dengan tegas membakar puluhan ribu pohon-pohonku dan
membuatku jadi korban kerakusan mereka. Aku dan teman-temanku di Pulau Lonthoir,
Ay dan tentunya Rhun pun hangus menjadi abu yang memang merupakan tujuan
mereka, agar pulau-pulau itu tidak diminati bangsa Eropa lainnya. Belanda
bahkan melarang ekspor pohon pala sampai membasahinya dengan jeruk nipis, supaya
jadi tidak subur.
Datangnya 2.000 tentara
Belanda ke Banda adalah sebuah pembantaian massal yang membuat berkurangnya
penduduk hingga 1.000 orang. Penduduk yang tersisa pun diperbudak lewan jalan
kekerasan oleh VOC dengan tujuan yang masih sama, sebagai penguasa mutlak perkebunan pala.
Demi mempertegas kekuasaannya,
Belanda sampai membangun Benteng Nassau di Banda Naira pada tahun 1607. Berdiri
di bekas pondasi benteng Portugis, benteng itu adalah saksi bisu sejarah Jalur Rempah yang kini bisa kalian temui puing-puingnya.
Nassau jelas hanya satu dari banyaknya benteng yang dibangun oleh VOC di Banda.
benteng Balgica/Nassau di Banda Neira |
Benteng Nassau sama sepertiku
yang hanya bisa diam mengamati bagaimana para penjajah ini menjarah hasil Bumi
Nusantara untuk kantong-kantong mereka sendiri, tanpa peduli jiwa-jiwa penduduk
asli Banda yang melayang.
Namun perdagangan rempah
tidaklah hanya membawa kisam suram. Justru perburuan pala hingga ke Kepulauan
Banda ratusan tahun lalu itu bisa menghubungkan pribumi dengan bangsa-bangsa di
belahan Bumi lainnya.
Karena berkat mereka, negeri ini pun akhirnya tercipta,
Seperti yang kubilang bahwa
aku sudah menjejak di dalam roda sejarah umat manusia, aku bisa dengan bangga
mengklaim jika karena pesonaku si pemilik aroma sepanjang zaman, kolonialisme pun terbentuk di Nusantara. Kolonialisme
alias penjajahan yang terjadi ratusan tahun lamanya itupun menghidupkan api
semangat rakyat pribumi untuk bersatu padu memukul mundur penjajah.
Sebuah aksi perjuangan yang
mungkin tak akan terjadi jika negeri ini masih berupa kerajaan-kerajaan kecil
seperti Kerajaan Ternate atau Kerajaan Tidore.
Karena lewat satu kesatuan
warna yang sama yakni Merah dan Putih, aku melihat bagaimana putra dan putri
bangsa ini meruntuhkan kolonialisme dan menjadikan bangunan-bangunan yang
ditinggalkan para penjajah itu sebagai artifak
sejarah di sepanjang Jalur Rempah.
prasasti ditemukan di puing benteng Nassau |
Pala dan Jalur Rempah untuk Warisan
Masa Depan Dunia
Aah, tanpa sadar aku sudah bercerita terlalu panjang
lebar. Kuharap kalian tidak terlalu bosan membaca hikayat panjang yang sudah
kurampingkan dari berbagai serat-serat sejarah ini.
Satu keinginanku saat ini
ialah kalian akan melihatku secara berbeda, tidak hanya sekadar bumbu dapur
yang dijual di pasar tradisional.
Aku pala si buah surga dari pulau Banda ini adalah rempah yang
istimewa.
Aku adalah penghela
perkembangan politik, ekonomi hingga sosial budaya baik dalam lingkup lokal
hingga global.
Perjalananku sudah melalui
pertaruhan nyawa para pedagang yang menjemputku dari Banda dan dibawa ke benua
Eropa, perjuangan juru-juru masak dalam meramuku untuk melezatkan hidangan,
hingga usaha tabib-tabib yang menggunakanku sebagai obat.
Aku adalah pengrajut diplomasi antar manusia dan antar bangsa itu sendiri, sehingga peradaban manusia di Bumi
ini berjalan.
lukisan kapal-kapal pembawa komoditas Banda |
Sedikit banyak demi memperoleh
diriku secara langsung, sistem pelayaran modern pun dikenal. Ketertarikan
manusia akan aroma diriku yang begitu candu, turut mengubah wajah-wajah negara
di Eropa yang menganut sistem monarki feodal
menjadi negara progresif.
Dan semua khazanah yang ada di
dalam diriku ini jelas tak akan bisa termahsyur seantero Bumi tanpa adanya
Jalur Rempah.
Rute kuno yang
diwariskan ribuan tahun lalu itu adalah identitas Indonesia.
Jika Tiongkok begitu ambisius
dengan One Belt Initiative yang bernilai ratusan triliun demi
mengenalkan kembali Silk Road alias Jalur Sutra yang menjadi rute
perdagangan mereka, kenapa kita tidak mulai berbangga diri dengan Jalur Rempah?
Jalur Rempah bukanlah sekadar
jalur perdagangan samudera. Namun itu adalah jalur
pertukaran antarbudaya dan pengetahuan yang bahkan melintasi ruang dan waktu.
Kini aku yang tumbuh subur di
Pulau Banda, siap mengulurkan tangan pada kalian generasi penerus bangsa. Mengajak
untuk tetap selalu berpijak pada Jalur Rempah, demi memupuk rasa persaudaraan
sekaligus perdamaian.
Karena lewat Jalur Rempah itulah,
aku yang sudah mengarungi empat milenium waktu ini sadar bahwa semangat
keadilan, kesetaraan, pemahaman antarbudaya dan pengakuan atas keberagaman
tradisi, sekaligus menjunjung tinggi harkat martabat manusia adalah yang
terpenting.
Jalur Rempah tidak hanya
menguatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Namun Jalur Rempah adalah pembentuk peradaban Nusantara.
Menghargai Jalur
Rempah, artinya kalian
ikut menghargai aku si biji pala dan rempah-rempah asli Indonesia lainnya.
Jadi, siapkah kalian menjaga
warisan tersebut untuk generasi masa depan negeri yang lebih baik nantinya?
Sumber:
- Media Indonesia
- Jalur Rempah Kemdikbud
- Kompas
- Tempo
- Kemenparekraf
- Historia
- Jawapos
- Good News From Indonesia
Konsep tulisannya menarik dengan POV akunya si Pala. Jadi bisa belajar sejarah rempah ini dengan seru. Ini lomba kan ya? Semoga menang ya Kak
BalasHapusSaya suka sekali gaya menulis, Mbak. Mengambil sudut pandang dari si Pala. Dan saya ingat di Museum Bank Indonesia Kota Tua Jakarta, ada juga diorama perjalanan jalur rempah ini, dan pastinya, Pala jadi pemain utamanya hehehe.
BalasHapusDulu di Makassar, saya suka dikasih manisan pala oleh teman saya. Modelnya juga menarik dan berwarna. Walau agak pahit, tapi enak dan segar hehehe. Biji pala juga untuk banyak masakan.
Saya kok sedih baca ceritanya. Kebayang Aku si Buah Pala, jadi saksi sebuah komoditi. Ngeri banget lukisan rakyat Banda dibantai gitu.
BalasHapusNah, sekarang saatnya bangkit ya menguatkan jalur maritim Nusantara melalui rempah. Semoga menang artikelnya Kak...
Tulisan mbk Arai ini emang juara, jadi seolah-olah beneran merasakan perjalanan si Pala dari Pulau Banda. Tapi bener loh mbak, banyak yang gak tahu dengan buah pala ini.
BalasHapusWah mbak kusuka banget gaya tulisanmu yang pake sudut pandang si buah pala, unik dan jarang nemu yang begitu haha. Tapi ternyata buah pala kecil itu sejarahnya panjang banget ya! Dan dia salah satu penggerak bangsa! Kuerenn.
BalasHapuswuah aku baca tulisan ini merasa menjadi pala beneran, hahaha
BalasHapusjadi paham banget dengan kisah perjalannya pala yang jaman dulu dielu-elukan
Karena dirimu ikut kotak-kotak para saudagar, jadilah daku mengenalmu wahai pala. Aku berharap kamu tetap lestari ya, karena generasi penerus ini kan ingin kenalan juga denganmu, bukan daku saja. Tenang, kami siap menjagamu
BalasHapusAku suka story tellingnya, sudut pandangnya n gimana menambahkan visual peta dan ilustrasi zaman dahulu mengenai sejarah si pala. Semoga kita bisa lebih menghargai n bisa kembali menjadikan pala ini sebagai benda yang lebih berharga dari emas dan pertama seperti di masa lalu, tanpa penindasan penjajah terutama
BalasHapusKeren, informasinya lengkap banget dan gaya menceritakannya menarik dengan membuat si pala seolah sebuah tokoh yang hidup.
BalasHapuskeren nih ulasannya lengkap.. semoga menang ya..yg oasti saya suka pala soalnya saya suka makaroni schotel kalo pake pala harum banget dan enak
BalasHapusSeolah membaca dongeng dengan tokoh utama si buah pala...keren mbak. Jadi kembali belajar sejarah bangsa Indonesia. Memang sebagai warga negara yang baik kita harus ikut melestarikan peradaban bangsa...termasuk melestarikan buah pala ini agar tetap menjadi khasnya Indonesia.
BalasHapusSaya berasa main ke jaman dulu membaca cerita pala ini. Ternyata pala ini menjadi rebutan penjajah di masa lampau yaa
BalasHapusternyata pala itu cuma bisa bertahan hidup dan subur di Banda ya, keren sekali dia karena udah jadi bahan masakan yang mendunia dan mewah di masanya.
BalasHapusYa ampun dah. Abis baca novel sejarah Nusantara, aku baca blogpost ini. Rasanya makin bangga jadi orang Indonesia. Dan sebagai penggemar manisan buah pala, aku mau bilang, "Hey Arai, tulisanmu keren sekali!"
BalasHapuslucu banget cara delivery tulisannya. jadinya kayak baca cerpen dengan tokoh utama Pala. 😁
BalasHapusNgalir banget ceritanya
BalasHapusPala memang anugerah Tuhan tak terbayarkan karena manfaatnya banyak pun nilai bisnis makin lancar
Baru tahu pala dulu nilainya tinggi kayak emas. Auto kaya dong kalau jualan pala jaman dulu. Pantes aja penjajah ngiler banget sama hasil kekayaan rempah Indonesia.
BalasHapusSaya malah paling mengenal banget biji pala ini soalnya sudah semacam keharusan kalau ada acara hajatan di kampung menggunakan pala saat masak besar. Jadi kadang saya kebagian mecahin biji pala untuk diulek.
BalasHapusBahkan sampai sekarang pun pala menurutku jadi komoditas yg mahal. Harganya 1 biji aja 2ribuan di sini. Keren bangett, ikut bangga punya pala dari Indonesia <3
BalasHapusMenari sekali kalau sudah membahas rempah serta sejarahnya di Indonesia. Kembali mengingat jadinya
BalasHapus