© Wallpaper Crafter |
Menjadi orang Indonesia memang butuh mental yang kuat.
Bagaimana tidak kuat? Kita
sering kali harus mudah memaafkan, mudah menerima dan mudah memahami apapun
yang diutarakan para pemangku kekuasaan.
Meskipun tidak semuanya,
pemerintah seolah sudah terbiasa memberikan pendapat yang tidak seiya-sekata
dengan kenyataan. Entah apa yang dipikirkan, karena sepertinya membuat
masyarakat bingung adalah hobi mereka. Apakah pemerintah memegang teguh prinsip
bahwa lebih baik menutupi kebenaran supaya tidak ada rasa sakit hati?
Sudah pasti hubungan
seperti itu jelas tidak akan berjalan lama,
Percik-percik kekecewaan
dan berbagai pertanyaan tentu bergaung di benak banyak masyarakat Indonesia.
Mempertanyakan hal yang sama, meragukan fakta yang dipaparkan, sehingga jangan
salah kalau akhirnya nada-nada protes akan bermunculan sebagai imbas dari
jawaban ‘kita baik-baik saja, kok’.
Hingga akhirnya ketika
anggapan ‘tidak apa-apa’ itu terus diucapkan tanpa enggan menjelaskan
kenyaataan sebenarnya, siapa yang akan merugi?
Indonesia.
Oleh-Oleh Semu dari COP 26
Hadir sebagai negara dunia
ketiga dalam KTT PBB tentang Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia pada awal
November 2021 lalu, Indonesia tentu tak ingin mempermalukan dirinya sendiri.
Di hadapan para pemimpin
negara dunia atau jumpa bilateral, Presiden Jokowi memaparkan klaim pencapaian
negeri ini atas banyaknya keberhasilan penanganan krisis iklim. Mulai dari
turunnya angka deforestrasi serta karhutla (kebakaran hutan dan lahan),
pengembangan mobil listrik sampai penekanan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) yang
memang selama ini jadi masalah di Nusantara.
Seolah mendengarkan
bisikan dari cenayang yang begitu
hebat, Jokowi begitu percaya diri kalau Indonesia bisa mencapai nett-zero emission lebih cepat daripada
target.
Tak hanya itu saja, Jokowi
kembali menjanjikan adanya rehabilitasi 600 ribu hektar mangrove alias hutan bakau sampai akhir kepemimpinannya kelak di
2024. Demi meninggalkan kesan istimewa lainnya, Jokowi juga mengaku pemerintah
sudah berhasil merehabilitasi tiga juta lahan kritis selama 2010-2019.
Namun, apakah benar
seperti itu?
Pertama, Greenpeace
justru menyebutkan kalau laju deforestrasi di Indonesia meningkat dari 2,45
juta hektar di tahun 2003-2011, menjadi 4,8 juta hektar di tahun 2011-2019.
Kedua,
karhutla di tahun 2020 memang menurun dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 296
ribu hektar atau setara empat kali luas ibukota DKI Jakarta. Tetapi, penurunan
itu terjadi karena anomali cuaca lewat campur tangan La Nina, bukannya upaya
langsung pemerintah.
Ketiga, buaian
pemerintah mengenai restorasi 600 ribu hektar mangrove hingga 2024 memang menggetarkan hati. Namun tahukah kalian
berapa luas hutan mangrove yang rusak
di negeri ini? Mencapai 1,8 juta hektar.
dan keempat, masih banyak pertanyaan penyelamatan lahan kritis karena
faktanya laju deforestasi justru meningkat dan komitmen moratorium sawit yang
masih tidak jelas.
Seolah membalikan paparan
pidato Jokowi, Yuyun Harmono selaku Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI
kepada CNN Indonesia justru menegaskan jika emisi GRK Indonesia melebihi
ketentuan. Jika sesuai dengan tahun dasar perhitungan emisi GRK pada NDC (Nationally Determined Contribution)
yakni tahun 2010, Indonesia masih jauh
panggang dari api.
Meliihat lima sektor
sumber energi penyumbang emisi GRK yakni energi, industri dan penggunaan
produk, pertanian, kehutanan dan kebakaran gambut serta limbah, Indonesia masih
terus terikat pada masalah karhutla dan energi.
Karhutla di Ogan Ilir © ANTARA FOTO/Nova Wahyudi |
Tak heran kalau akhirnya
Bill Hare selaku CEO Climate Analytics
yang merupakan mitra dari Badan Pengawas CAT (Climate Action Tracker), menilai negeri ini sebagai salah satu yang
gagal memenuhi ambisi nett-zero emission
sesuai target Perjanjian Paris 2015.
Ingin mencapai 1,5°
celcius sesuai kesepakatan?
Negeri ini diprediksi mengalami peningkatan 4° celcius karena gagalnya memangkas emisi GRK. Jika
NDC ingin dunia meraih nol emisi di tahun 2050, bisa saja Indonesia baru
melakukannya pada tahun 2060 alias telat 10 tahun.
Apalagi dengan rencana
pembangunan PLTU batu bara yang dilakukan Kementerian ESDM dan PLN, membuat
lagi-lagi Ibu Perwiti cuma dijanjikan harapan semu soal perubahan iklim.
Jalur Pintas Henti Emisi Lewat Biofuel
Jika melihat dokumen NDC,
dipaparkan bahwa energi fosil bakal jadi penyumbang emisi terbesar di tahun 2030
nanti dengan porsi mencapai 58%. Kamu tentu sudah tahu bahwa bahan bakar fosil
seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam ini tampak sulit sekali dilepas di
Indonesia.
Coba lihat, kamu memasak
dengan apa? LPG.
Bahan bakar kendaraan
bermotor pakai apa? Bensin atau solar.
Pesawat terbang bisa
beroperasi menggunakan apa? Avtur.
Jalan raya bisa nyaman dilintasi
berkat apa? Aspal.
Yap, semua itu adalah
hasil olahan minyak bumi yang merupakan bahan bakar fosil.
Menghentikan bahan bakar
fosil di Indonesia tentu tak ubahnya kiamat sugra.
Namun jika tidak dihentikan, harapan jika negeri ini bisa memangkas emisi GRK
jelas hanya jadi sebuah pepesan
kosong. Semakin sulit karena berdasarkan data Korps Lalu Lintas Polri yang
dilansir VIVA Otomotif pada awal September 2021 lalu, total kendaraan bermotor
di Tanah Air menembus 143,3 juta unit!
Lantaran kendaraan
bermotor itu adalah salah satu penyumbang emisi GRK terbesar lewat polutan
karbondioksida (CO2), energi terbarukan lagi-lagi menjadi solusi
yang didengungkan. Demi memperoleh sumber energi alternatif selain minyak dan
gas bumi, hadirlah yang namanya BBN (Bahan Bakar Nabati) alias biofuel.
Dilansir Madani
Berkelanjutan, biofuel sendiri
merupakan bahan bakar yang dibuat dari biomassa
atau materi yang berasal dari binatang dan tumbuhan. Ada tiga jenis biofuel yang wajib kamu tahu yakni bioetanol (alkohol yang terbuat dari
tumbuhan), biodesel (bahan bakar yang
terbuat dari minyak-minyak tumbuhan) dan biogas
(bahan bakar dari hasil fermentasi sampah tumbuhan atau kotoran binatang dan
manusia).
Berdasarkan informasi Departemen
Energi Amerika Serikat, biodiesel
hanya menghasilkan seperempat dari jumlah emisi karbondioksida diesel konvensional.
Belum lagi bioetanol yang
mengeluarkan emisi karbon sampai 48% lebih sedikit daripada bensin pada
umumnya. Sehingga kamu bisa membayangkan bagaimana negeri ini mampu memangkas
emisi GRK dalam jumlah besar jika penerapan biofuel
dilakukan masif di seluruh penjuru negeri, bukan?
Hal itu pula yang akhirnya
menyadarkanku saat menghadiri webinar
bersama Eco Blogger Squad pada Jumat (12/11) siang pekan lalu. Sebagai gathering online terakhir di tahun 2021
ini, kami dikenalkan pada dua sosok dari instansi berbeda yakni Kukuh Sembodho
selaku Program Assistant Biofuel
Yayasan Madani Berkelanjutan, dan Ricky Amukti sebagai Engagement Manager Traction Energy Asia.
Jika selama ini biofuel yang kutahu cuma semata bahan
bakar non fosil, Kukuh lebih lanjut menjelaskan kalau ternyata ada tiga
generasi BBN sejauh ini. Bukan hanya bioethanol
dan biodiesel saja, generasi ketiga
BBN bahkan sudah mencakup biodiesel
yang terbuat dari microalgae sampai
bahan bakar hidrogen yang terbuat dari green
microalgae.
Hanya saja untuk bahan bakar
hidrogen, Ricky dengan tegas menjelaskan kalau biofuel jenis itu tampaknya masih akan sulit diterapkan di
Indonesia.
Kenapa?
Sumber energi masa depan
dengan proses pembakaran yang hanya menghasilkan air dan panas ini membutuhkan
teknologi yang luar biasa rumit dan luar biasa mahal. Meskipun begitu apa yang
dijanjikan memang benar-benar fantastis yakni sama sekali tidak menghasilkan
emisi karbon.
Kendati begitu Ricky
menambahkan kalau pemerintah sudah mulai mendorong penggunaan biodiesel sebagai campuran bahan bakar
minyak di beberapa sektor mulai usaha mikro, perikanan, pertanian, PSO
(Transportasi dan Pelayanan Umum), industri dan komersial, pembangkit listrik
hingga rumah tangga.
Hal ini yang akhirnya mengenalkan
kita pada B20, B30 dan B100.
Apa maksudnya?
Program mandatori pemerintah
yang mewajibkan pencampuran biodiesel
dengan bahan bakar minyak bumi. Misalkan saja B20, artinya ada 20% biodiesel yang dicampur dengan 80% bahan
bakar fosil lalu B30 yang mencampurkan 30% biodiesel
dan seterusnya.
Wah, upaya
yang luar biasa!
Komitmen pemerintah ini
harus didukung dengan maksimal!
Biodiesel adalah solusi
net-zero emission untuk Indonesia!
Benarkah?
Bagaimana kalau sebetulnya
mandatori B30 yang diperoleh dari campuran solar dan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) itu merupakan solusi semu karena justru
meningkatkan laju deforestrasi?
Lhoh, kok?
Karena bahan bakar ramah
lingkungan yang digunakan di Indonesia ini berbasis kelapa sawit.
Ya, kelapa sawit yang
dianggap sebagai komoditas emas ini memang luar biasa. Bahkan menurut Auriga,
sawit memiliki kontribusi yang luar biasa besar terhadap perekonomian nasional.
Di tahun 2015 saja, negeri ini menghasilkan 31 juta ton CPO (Crude Palm Oil) alias minyak sawit
mentah dengan nilai Rp216 triliun alias 12% dari pendapatan negara. Lima
provinsi yang jadi primadona sawit adalah Riau, Sumatera Utara, Kalimantan
Tengah, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat.
Laporan ini membuat
Presiden Jokowi begitu ngotot
mendorong biodiesel berbahan baku minyak
sawit. Bagaimana tidak ngotot, karena
penggunaan CPO sebagai biodiesel
untuk B30 bisa menghemat devisa negara hingga Rp110 triliun per tahun, seperti
dilansir Tirto.
Karena hal ini pula, Indonesia pun ditahbiskan sebagai negara dengan lahan panen CPO terluas di dunia. Di mana menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) yang dilansir dari Katadata, luas lahan tanaman penghasil kelapa sawit di Nusantara menembus 11,75 hektar per tahun 2019 alias 49,5% dari total lahan sawit dunia.
Fakta ini pula yang membuat Kukuh dan Ricky sama-sama sepakat kalau kelapa
sawit memang menjadi bahan baku paling tepat untuk biofuel di Indonesia, karena stok yang melimpah.
Wah, negeri ini
benar-benar surga kelapa sawit!
Memang. Namun bagaimana
jika itu merupakan surga yang tidak dirindukan?
Yap, kamu harus tahu, bahwa
jika memang pemerintah ingin mendorong penggunaan CPO yang diambil dari kelapa
sawit, artinya lahan-lahan kelapa sawit yang dibutuhkan makin luas pula. Dan
untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit yang begitu menggiurkan hasilnya
itu, kebakaran hutan jelas tak bisa dihindarkan sehingga emisi karbon pun
lagi-lagi meningkat.
Traction Energy Asia
melansir pada Januari 2021 jika penggunaan biodiesel
B30 memang mengurangi 30 juta ton emisi karbondioksida. Namun tahukah kamu
berapa emisi CO2 yang dihasilkan dari ekspansi lahan perkebunan
sawit demi memenuhi permintaan bahan baku biodiesel
itu? Mencapai 52 juta ton, berdasarkan analisis daur hidup sektor hulu hingga
hilir.
Sudah hutan Indonesia makin berkurang demi membuka lahan kelapa sawit, eh, emisi karbon juga bertambah.
Sungguh sebuah kondisi
yang simalakama.
“Kalau memang kebakaran
hutan gambut terjadi karena pembukaan lahan kelapa sawit, maka ini artinya biodiesel sebetulnya menaikkan emisi
karbon, bukannya menurunkan,” papar Arikan Suryadharma selaku Juru Kampanye
Hutan Greenpeace Indonesia.
Semakin miris karena
menurut data yang dipaparkan Ricky, para pemilik kebun kelapa sawit mandiri
justru tak memperoleh manfaat dari program biodiesel
pemerintah, karena dikuasai oleh pebisnis-pebisnis sawit raksasa.
Padahal harusnya
pemerintah melibatkan para pekebun sawit mandiri yang menguasai 40% total
perkebunan kelapa sawit di negeri ini, di mana lewat merekalah laju
deforestrasi bisa dihentikan berkat upaya menjaga hutan-hutan alam yang
tersisa.
Sawit Bukan Satu-Satunya Bahan Biofuel Untuk Indonesia
Melihat betapa
simalakama-nya kondisi yang menerpa kelapa sawit, apakah ini artinya Indonesia
tak akan pernah bisa menerapkan biofuel?
Tenang saja, masih ada
alternatif nabati lain untuk bahan bakar ramah lingkungan.
Salah satunya adalah minyak
jelantah alias UCO (Used Cooking Oil)
yang direkomendasikan sebagai biofuel
generasi kedua. Yap, minyak sisa menggoreng masakan di dapur yang lebih sering
dibuang ini rupanya mampu menggantikan posisi kelapa sawit.
Pada tahun 2019 saja, ada
13 juta ton konsumsi minyak goreng di Indonesia dengan 3,24 juta ton di
antaranya berpotensi menjadi bahan baku biodiesel.
Bahkan menurut ICCT (International
Council on Clean Transportation), Indonesia mampu menghasilkan 1,2 miliar
liter biodiesel dengan asumsi
pengumpulan minyak jelantan yang agresif.
Data itu membuat negeri
ini mampu mengganti hingga 45% CPO sebagai bahan baku biodiesel dan mendorong terpangkasnya enam juta ton emisi GRK
setiap tahunnya.
Tak hanya itu saja, ICCT juga memaparkan jika biaya produksi biodiesel berbahan minyak jelantah bisa 35% lebih murah daripada CPO. Bukan tak mungkin kalau pemerintah bisa menghemat sekitar Rp345 miliar per tahun jika memang berniat memaksimalkan potensi minyak jelantah, dari seluruh rakyat Indonesia.
Namun kini yang jadi
pertanyaan, apakah pemerintah serius untuk mengubah CPO menjadi minyak
jelantah?
Sebuah pertanyaan yang
mungkin sepele dilontarkan oleh rakyat jelata sepertiku, tapi akan sulit
dijawab oleh para pemangku kekuasaan dengan korporat-korporat raksasa yang
bertahta di belakangnya.
Terus bertahanlah jadi
orang Indonesia.
Terus cintailah negeri
ini, meskipun pemerintahnya akan membuatmu merasakan luka yang tak berdarah.
Karena memang jadi warga negara Indonesia itu berat, biar aku saja.
Sumber:
Katadata, Antara News, Greenpeace Indonesia, Auriga Nusantara, Bisnis, CNN Indonesia, Tirto
Membaca artikel ini membuka wawasan saya mba Arai. Kita memang tergantung banget sama energi dari fosil. Dan sawit dibilang jadi sumber daya alam terbarukan tapi sayangnya tidak ramah lingkungan. Semoga ke depan ada sumber energi yang bisa dimanfaatkan dan lebih ramah lingkungan.
BalasHapusiya ya mbak, kita sangat tergantung dengan bahan bakar fosil
BalasHapusharusnya mulai sekarang makin mengembangkan bahan bakar ramah lingkungan ya
MasyaAllah artikel yang keren kak. Datanya lengkap. Btw biofuel dari minyak jelantah ini juga keren ya. Bisa mengurangi emisi gas. Karena pengelolaan nya lebih ringkas lagi.
BalasHapusWah semoga saja nanti minyak jelantah menjadi jawabannya.
mashaALlah minyak jelantah yg kita anggap gak bisa dipake lagi ternyata bermanfaat ya. BTW saya juga lagi ngumpulin minyak jelantah nih nanti kalau sudah banyak kira2 1 L baru dikasihkan ada lembaga yang menerima minyak jelantah utk diolah
BalasHapusmemang minyak jelantah bisa jadi biofuel, tetapi juga tentu lebih sedikit hasil produksinya, ya. insyaallah masih ada sumber energi lain yang bisa diusahakan seperti angin, air, dan tenaga surya.
BalasHapusSusah kalo udh berhadapan sama banyak kepentingan. Nasib kelapa sawit ngga bakal mgkn sbnrnya berakhir sprti batu bara karena kita masih pakai kelapa sawit buat masak tapi seolah2 pemerintah tuh ky ada khawatir jika biodiesel bukan dari CPO bakal merugi.. apalagi negar kita msih negara berkembang yg masih fokus sm pengembangan ekonomi.. dan ini jd masalah yg ga selese2
BalasHapusIndonesia memang kaya dengan kekayaan alam yang melimpah. Sejak nenek moyang kita dulu. Hanya sayangnya dulu kita belum tahu cara mengolahnya, sehingga dimanfaatkan para penjajah.
BalasHapusAlhamdulillah sekarang dan sesuai perkembangan zaman, semua bisa diolah dengan baik dan bijak. Bahkan minyak jelantah pun kini bisa dijadikan bahan bakar ya, Mbak.
Seru banget artikelnya, menambah wawasan... Sedih memang, bahaya climate change di depan mata tapi pemerintah terlihat 'cuek' aja... Semoga pengembangan biofuel dari minyak jelantah bisa berhasil ya...
BalasHapusArtikelnya detail banget, di Kalbar sendiri terjadinya banjir disebabkan banyaknya pembukaan lahan untuk dijadikan kebun sawit, semoga ada regulasi untuk mengatur lahan sawit ini supaya hutan tetap bisa terjaga
BalasHapusGonjang ganjing sawit juuga kudengar karena eropa bilang sawit jahat demi minyak mereka laku. Tapimemang alih hutan jadi perkebunan takboleh dibiarkan.
BalasHapusPemerintaj ga berani ambil keputusan saksek karena lebih pada tekanan ekonomi jg ya. Semoga b20 ini makin digalakkkan, bahkan nantinya lebih bnyk bbnnya
Harus tetap semangat untuk Biofuel yang bukan dari sawit, yaitu minyak jelantah, karena ini hal yang dekat dengan kita, dan kita bisa turut berkontribusi juga
BalasHapusIni tu kayak dilema gitu nggak sih? Kelapa sawit bisa jadi bahan untuk biofuel. Sementara lahan untuk kelapa sawit kan awalnya adalah hutan... Nggak sanggup lanjutinnya.
BalasHapussemangat mengumpulkan jelantah hasil goreng2. demi menyelamatkan kenaikan emisi karbon bumi
BalasHapusBaca artikel ini aku spechless. Ternyata memang keadaan kita tuh simalakama banget. Memang ya berat banget yang harus dihadapi Indonesia ini.
BalasHapusDi Kotaku, aku cuma taunya minyak jelantah dipake untuk pemanfaatan bahan bakar bis gitu, Kak. Ternyata ada potensi untuk pemanfaatan lain dan jauh lebih murah juga ya kalo betul2 diberi perhatian yang lebih serius lagi ke depannya.
masyaAllah, bermanfaat sekali mb artikelnya. membuka dan menambah wawasan banget tentang keadaan pertiwi. semoga biofuel dari minyak jelantah segera diterapkan dan berkembang..
BalasHapusKak Arai, aku speechless banhet baca post Kakak kali ini. Runut banget sampai ada klimaksnya di bagian penutup tulisan. Mengalir banget sampai aku terpukau pas Kakak pakai istilah "kiamat sugra".
BalasHapusYa. Kalau ditilik oleh kita kita ini, memang ya ... janji surganya mungkin masih sangatlah jauh. Sementara masyarakat yang sadar akan lingkungan, belum banyak banyak amat. Emang ya. Bagaimana pun negeri ini, walaupun ngasih luka berkali-kali tapi ya tetap harus kita sayangi.
Semoga saja setelah pemerintah mendorong penggunaan biodiesel sebagai campuran bahan bakar minyak di beberapa sektor mulai usaha mikro, industri dan komersial, rumah tangga sudah mulai banyak yang menggunakan Biofuel
BalasHapusArtikel nya keren banget mbak. Dan tentu saja membuka cakrawala saya nih. Ohya skrng minyak jelantah juga sudah mulai diberdayakan ya mbak bahkan ada yg berani utk membeli dengan harga yg cukup lah.
BalasHapusMasyaallah kak tulisannya keren banget ini. Aku bacanya aja perasaan campur aduk gitu. Kok sedih ya indonesia berat memang jadi warga Indonesia ini.
BalasHapusluar biasa ya ternyata perjuangannya di balik cerita sawit ini. Ternyata ada yang harus terus kita perjuangkan demi keberlangsungan hidup semuanya
BalasHapusAku selalu kagum dari penelitian dan pemanfaatan sebuah energi terbarukan begini. Selain membuat ramah lingkungan, juga bantuk tanggungjawab kita. Semoga masa depan, bahan bakar biofuel bisa membantu banyak lini industri.
BalasHapusWah Indonesia emang perlu banget ya mak energi terbarukan seperti iniiii.. Jadi penasaran nih sama biofuel sawit iniii.. Semoga bisa menjadi pengganti bahan bakar yang lebih ramah lingkungan yaaaa
BalasHapushalo kak arai,
BalasHapussoal kelapa sawit menjadi sumber biofuel emang bener layaknya buah si malakama dan aku sendiri gak setuju sih. karena masih banyak jenis tanaman lain bisa jadi alternatif biofuel, kenapa harus selalu sawit sih? secara ekonomi memang menguntungkan, tapi hey harus buka lahan berapa banyak lagi?
Bagai buah simalakama yah Rai penggunaan kelapa sawit sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Aku jadi inget dulu pernah bikin biodiesel dari minyak jelantah, yah emang bisa. Malah keren kalau bisa menggunakan bahan baku yang udah bekas pake jadi sampah itu bisa dimanfaatkan lagi. Masih terus dikembangkan semoga ke depannya bisa semakin baik lagi.
BalasHapusAku ngerti sih kenapa sekarang minyak sawit ngga salah2 banget. Merenung habis2an setelah webinar kemarin. Tapi gimana yah huhu, pilihan yang sulit buat indonesia emang. Aku sampe mikir, ini awal salahnya dimana sihhh, tp daripada mikir salahnya, mending cari solusinya ya kan. Sekarang yaa taunya minyak jelantah ini bisa buat biofuel
BalasHapusMiriss... jadi ikut terluka tak berdarah. Kelapa sawit yang banyak manfaatnya dan di rawat oleh orang2 kita justru dikuasi pebisnis besar itu jelas tidak memajukan bangsa kita sendiri.
BalasHapusPenggunaan minyak tuk memasakpun baru2 ini aku ikut mencoba hasil produk alam kita sendiri. Jauh lebih harum dan gurih loh. Dan aku juga ikut komunitas yang mengajak kita tuk reduce reuse. Mengirim minyak masak sisa tuk diolah kembali. Berikut botol bekas. Wadah UHT, botol skincare dll. Semua bisa didaur ulang.
aku pernah tinggal di riau untuk beberapa tahun, merasakan bagaimana kondisinya ketika perubahan iklim terjadi. Tapi mungkin yang paling teringat adalah "musim asap" ketika kemarau. Antara setuju dan tidak setuju, tetapi semoga pemerintah benar-benar mengambil tindakan yang tepat dengan sudah melihat dampak besar dari sisi baik dan buruknya.
BalasHapusmbak bagus infromasinya, jadi tahu apa yang sebenarnya terjadi dari berita yang beredar.
BalasHapusWalaupun pemerintah mau ini dan itu, setidaknya masyarakat nya diberi bekal yg mumpuni yaa terkait pemelihara sawit ini biar tidak ada kekuasaan yg bermain di atasnya..
BalasHapus