foto © indonesia.travel |
Aku bahkan masih membiarkan selimut membungkus tubuhku dan bergulung di tepi ranjang, menahan udara pagi yang cukup dingin. Sayup-sayup kudengar suara si Bagak menggonggong di kebun, merayu untuk diberi makan sebagai upah patroli sepanjang malam.
Suara lain menimpa gongongannya, dapur ternyata mulai beraktivitas sehingga artinya Ibuku dan kakak perempuannya yang kupanggil makuo, sudah pasti telah bangun dan tidak tidur lagi selepas solat Subuh tadi. Gelak tawa dan kalimat dalam bahasa Minang terdengar silih berganti, membuatku berpikir kalau melanjutkan tidur adalah hal memalukan.
Masih menahan kantuk, kupeluk lagi tubuhku yang mengenakan jaket saat berjalan keluar ruangan hingga sampai di halaman. Kulirik ke arah pintu menuju dapur di bagian belakang, Bagak tampak menikmati makanan di piringnya dengan lahap.
Lantaran rumah makuo berada di atas lahan yang tinggi, dari tempatku berdiri ini aku bisa melihat hamparan perkebunan dan persawahan warga-warga Simaung. Tepat di bagian timur aku berdiri, kabut yang pekat masih enggan berbagi pemandangan dan memilih menutup rimbunnya hutan.
Sebagai bagian dari suku Tanjung, dusun Simaung yang berada di Nagari Nan Tujuah, Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat ini adalah kampung halaman Ibuku. Di rumah ini pula, Ibuku dibesarkan oleh makuo hingga usia remaja setelah nenekku meninggal. Saat pertama berpijak di Simaung ketika kami sekeluarga mudik kala aku masih SD dulu, Simaung memang sangat berbeda dengan Malang, tempatku lahir dan tumbuh besar di Jawa Timur sana.
Masih menahan kantuk, kupeluk lagi tubuhku yang mengenakan jaket saat berjalan keluar ruangan hingga sampai di halaman. Kulirik ke arah pintu menuju dapur di bagian belakang, Bagak tampak menikmati makanan di piringnya dengan lahap.
Lantaran rumah makuo berada di atas lahan yang tinggi, dari tempatku berdiri ini aku bisa melihat hamparan perkebunan dan persawahan warga-warga Simaung. Tepat di bagian timur aku berdiri, kabut yang pekat masih enggan berbagi pemandangan dan memilih menutup rimbunnya hutan.
Sebagai bagian dari suku Tanjung, dusun Simaung yang berada di Nagari Nan Tujuah, Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat ini adalah kampung halaman Ibuku. Di rumah ini pula, Ibuku dibesarkan oleh makuo hingga usia remaja setelah nenekku meninggal. Saat pertama berpijak di Simaung ketika kami sekeluarga mudik kala aku masih SD dulu, Simaung memang sangat berbeda dengan Malang, tempatku lahir dan tumbuh besar di Jawa Timur sana.
foto © Arai Amelya |
Aku mengangguk dan tersenyum. Tampak Bagak sudah selesai makan sambil mengibaskan ekor, siap mengejar ayam lagi.
Kulihat lagi ke arah timur sambil melirik ke jam dinding di ruang keluarga, masih pukul 05.50 pagi, jelas kiranya hutan sama sekali tak tampak karena selubung sang terang laras itu.
Kabut seolah melindungi ratusan atau ribuan flora dan fauna yang bersemayam di dalamnya.
Termasuk spesies pohon medang yang akan berbagi kisah panjangnya dengan kita.
‘Gold is a luxury. Trees are necessities. Man can live and thrive without gold, but we cannot survive without trees’ ~ Paul Bamikole
Suara dari Pohon Terbesar di Dunia Berusia 560 Tahun
Biasanya para ahli botani memanggilku dengan nama ilmiah phoebe atau litsea. Keren kan namaku? Aku merupakan tanaman anggota lauraceae.
Oiya, aku termasuk sebagai tumbuhan hijau abadi, lho. Maksudnya, aku merupakan tumbuhan yang tidak menggugurkan seluruh daun secara serentak pada musim atau kondisi lingkungan tertentu. Karena itulah aku bersemayam di hutan hujan tropis, di daerah beriklim sedang, seperti kampung halaman Ibunya Arai yaitu di Sumatera Barat.
Aku senang berada di rimba Sumatera.
Hutan hujan tropis di Sumatera ini memiliki total luas 2,5 juta hektar yang tersebar di tiga taman nasional yakni Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Kalau kalian berkunjung ke hutan hujan tropis Sumatera, kalian bisa bertemu dengan banyak pohon lain seperti pidada, nipah, cemara, pandan, cempaka, meranti, mersawa, damar, keruing, kantong semar dan flora endemik Sumatera seperti pohon andalas, bunga terbesar di dunia si Rafflesia Arnoldi serta bunga tertinggi di dunia yakni bunga bangkai raksasa.
Beberapa tahun ini, ada banyak sekali jurnalis yang datang meliputku bersama para petugas BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Sumatera Barat. Mereka berbondong-bondong ke tempatku tinggal di hutan rakyat Nagari Koto Malintang, Kecamatan Tanjungraya, Kabupaten Agam.
Ternyata, aku terpilih sebagai pohon kayu terbesar di Indonesia, bahkan salah satu di dunia.
Dari penuturan Ade Putra selaku pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Sumbar pada Antara, aku yang diperkirakan sudah berusia 560 tahun ini memiliki diameter 4,6 meter, lingkar batang 14 meter, tinggi bebas cabang batang 34 meter dan tinggi total 50 meter!
Fakta pengukuran ini, membuatku lebih besar daripada pohon tane mahuta di hutan Waipoua Selandia Baru yang berdiameter 4,4 meter dan sudah berusia 1.250 tahun itu.
Kendati memang, tahta pohon terbesar dan tertua di Bumi masih jadi milik pohon sequoia bernama General Sherman di California, Amerika Serikat. Sequoia itu punya diameter 11 meter, tinggi lebih dari 80 meter dan berusia lebih dari 2.000 tahun.
Namun aku tak perlu jauh-jauh pergi ke negara lain untuk bisa tumbuh memesona. Bagiku, #IndonesiaBikinBangga karena negeri ini memiliki hutan yang sangat luar biasa.
Menurut Wahjudi Wardoyo selaku Senior Advisor of Terrestrial Policy dari The Nature Conservancy, hutan hujan tropis Indonesia menyimpan banyak sekali potensi energi mikrobiologi. Energi ini hanya bisa ditemukan di hutan yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi seperti Indonesia.
Bahkan negeri kita tercinta ini sudah berstatus sebagai mega diversity sama seperti Brazil yang memiliki daratan lima kali lebih besar. Rosichon Ubaidillah selaku peneliti Zoologi pada Pusat Penelitian Biologi LIPI menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu pusat agro biodiversitas dunia, karena memiliki 10% spesies dari total spesies tumbuhan di seluruh Bumi.
Bahkan di masa depan, mikroba yang berperan dalam keanekaragaman dan berpeluang mengusung energi generasi kedua dan ketiga di dunia ini bisa jadi sumber pangan Bumi. Hal ini membuat posisi Indonesia semakin penting.
Tak heran kalau julukan #HutanKitaSultan pun tak malu-malu lagi kusebutkan berkat banyaknya spesies yang berdiam di hutan-hutan Ibu Pertiwi.
Aku begitu bahagia bisa berada di Zamrud Khatulistiwa ini.
Sejak kali pertama ditemukan pada tahun 2013, banyak orang yang sudah datang berkunjung untuk melihatku. Aku girang karena mereka semua tampak melindungiku, dan tidak hanya menggunakanku sebagai bahan bangunan, bahan baku industri mebel atau penghasil minyak atsiri saja.
Ya, aku mungkin tak sehebat temanku si pohon keruing (dipterocarpaceae) yang menjadi tempat bertengger burung-burung strata atas seperti rangkong gading, sekaligus salah satu penyerap emisi karbon terbesar.
Kalian tentu tahu bahwa pada tahun 2021 kemarin, Ditjen EBTKE mencatat Indonesia berhasil menurunkan 69,5 juta ton CO2 ekuivalen (CO2e). Tak heran untuk tahun 2022 ini, target emisi karbon yang harus dipangkas pun meningkat jadi 91 juta ton CO2e.
Tentu untuk memenuhi target itu, keruing jelas akan menjadi salah satu jaringan terpenting dalam paru-paru Indonesia. Dari laporan BBTNBBS (Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan), rata-rata kandungan biomassa karbon untuk keruing dengan DBH > 20 cm adalah 71,669 ton per hektar dengan rata-rata serapan CO2 adalah 262,372 ton per hektar.
foto © Mike Prince |
Setahuku, pohon selain keruing dengan 5 cm < DBH < 20 cm, kandungan biomassa karbonnya ‘cuma’ 25,984 ton per hektar dan rata-rata serapan CO2 sebesar 95,04 ton per hektar.
Beruntung sekali aku dan keruing berada di area hutan hujan tropis Sumatera, karena dari tempat kami berada ini, kami turur berperan menyerap emisi karbon yang bisa memperburuk pemanasan global (global warming).
Keberadaanku dan sahabat hijauku pun semakin membuat bangga karena pada tahun 2013 kemarin, FWI (Forest Watch Indonesia) menyatakan kalau negeri ini ada di peringkat ketiga hutan terluas di Bumi. Menjadi paru-paru dunia adalah tugasku bersama teman-teman pohon lain, supaya kalian para manusia bisa memperoleh oksigen dengan layak.
Kalian tentu tahu bukan, bahwa sebatang pohon bisa menghasilkan 6.000 pon oksigen dalam waktu 50 tahun hidupnya? Jumlah oksigen itu cukup untuk kebutuhan empat orang manusia per tahun.
dr. Amadeo Drian Basfiansa menejlaskan bahwa, manusia yang bernapas normal sekitar 12-24 kali per menit itu membutuhkan 3-4 liter udara setiap kali tarikan napas. Artinya dalam setahun, kalian menghirup sekitar 9,5 ton udara dengan 23% di antaranya adalah oksigen.
Jika satu batang pohon rata-rata menghasilkan 118 kilogram oksigen setiap tahun (butuh 7-8 pohon untuk menghidupi manusia), maka di usiaku yang sudah lebih dari 560 tahun ini, aku sudah memproduksi lebih dari 66 ton oksigen lewat proses fotosintesis.
Jumlah oksigen itu mampu memenuhi kebutuhan oksigen dalam satu tahun untuk 70 orang manusia.
Itu baru dari diriku yang hanya berjumlah sebatang ini.
Bisa dihitung berapa banyak oksigen yang dihasilkan jutaan pohon di dari hutan-hutan Indonesia?
Lalu, berapa banyak manusia yang bergantung dari kami, para pohon?
Kamilah para penjaga siklus kehidupan semesta.
infografis © Pantau |
Pekikan Minta Tolong dari 86,9 Juta Hektar Hutan
foto © Romeo Gacad/AFP/Getty Images |
Tak heran kalau dalam sidang ke-28 Komite Warisan Dunia di Suzhou, China pada Juli 2004, hutan hujan tropis Sumatera masuk dalam bagian Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.
Hanya saja, status itu rupanya tidak bertahan lama.
Setahun sebelum aku ditemukan, tepatnya dalam sidang Komite Warisan Dunia di Saint Petersburg, Rusia pada 24 Juni – 6 Juli 2012, hutan hujan tropis Sumatera jadi salah satu dari 38 Warisan Dunia yang Terancam. Bahkan sampai tahun 2017, status itu belum dicabut karena tingginya aktivitas ilegal yang membuatku cukup ketakutan.
Aku semakin sedih dengan teman-temanku yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser sana. Bersama dengan Taman Nasional Gunung Palung di Kalimantan Barat, kedua area ini berstatus sebagai area hutan yang paling terancam di Indonesia.
foto © Imaji Pertiwi |
Namun ternyata Forest Digest secara faktual (de facto) menyatakan kalau luas hutan Indonesia yang masih benar-benar punya tutupan hutan sebesar 86,9 juta hektar saja, sedangkan 33,4 juta hektar lainnya merupakan kawasan tanpa tutupan hutan.
Setiap harinya, jumlah kami terus menyusut.
Pada tahun 2019, FAO (Food and Agriculture Organization) memaparkan jika dalan kurun waktu 24 jam, ada sekitar 50 hektar hutan Indonesia rusak sejak tahun 2007.
Hutan tempatku tinggal di Nusantara ini, adalah area dengan kerusakan hutan tercepat di Bumi.
Reduksi yang sudah terjadi sejak masa pemerintahan Orde Baru ini memang disebabkan kegiatan pembangunan besar-besaran oleh kalian, manusia.
Bahkan menurut FWI yang merupakan Organisasi Jaringan Pemantau Hutan Independen, laju deforestrasi di Indonesia sejak 2013-2017 mencapai 1,47 juta hektar setiap tahunnya. Angka ini meningkat dibandingkan periode 2009-2013 yang menyentuh 1,1 juta hektar per tahun.
Kendati memang adanya penurunan jika dibandingkan dengan periode 2000-2009 yang mencapai 1,5 juta sampai 2 juta hektar per tahun, ini jelas bukan kabar baik bagiku dan rekan-rekan pohon yang lain.
infografis © Mongabay |
Berbagai kegiatan ilegal yang manusia lakukan seperti penambangan, pembalakan liar, perambahan hutan, pembangunan jalan, infrastruktur, konversi tanah hingga eksplorasi gas dan minyak bumi adalah penyebab hutan tempatku tinggal terus tergerus.
Belum lagi ancaman perubahan iklim dan pemanasan global, memicu curah hujan berlebihan dan semakin membuat pohon sepertiku serta ekosistem lain di dalam hutan jadi terganggu.
Aah, aku jadi ingat cerita temanku, pohon ulin. Si kayu besi yang merupakan vegetasi asli pulau Kalimantan itu jelas bernasib lebih menyesakkan daripada diriku.
Terus diburu manusia karena begitu kuat, tidak mudah lapuk dan tahan akan serangan rayap hingga serangga penggerek batang, kini di Kalimantan Selatan populasi pohon ulin hanya tinggal 20% jika dibandingkan 40 tahun lalu.
Ulin yang malang dan terus ditebas manusia itu bahkan dilaporkan cuma berjumlah belasan pohon saja dari tiap satu hektar lahan di Kalimantan sana.
Sebuah kondisi miris yang lazim terjadi pada kehidupan rekan-rekan tumbuhanku.
Dan sepertinya juga dialami oleh pohon-pohon medang lainnya.
Mungkin saja giliranku, bisa datang berikutnya.
Tolong, bisakah kalian menyelamatkan kami?
Anak Muda, Pemegang Kunci Harapan Bagi Belantara
foto © Arai Amelya |
Selama ini, tangan-tangan masyarakat adat memang menjadi penolong nafas hidup kami di hutan. Hanya saja Arai saat ini memintaku untuk percaya kepada anak-anak muda dalam menyelamatkan nasib kami.
Apakah aku bisa mempercayai Arai?
Apakah anak-anak muda memang mampu menyelamatkan kami?
Di tengah kebiasaan mereka berdasarkan uraian #TeamUpforImpact yang lebih suka update media sosial, berisik soal idola selebritis, lupa mencabut charger ponsel dan pergi ke minimarket dengan sepeda motor, bisakah nasibku dan rekan-rekan pohon lainnya dijaminkan?
Arai paham betul kegundahanku. Dia pun meyakinkan bahwa harapan itu masih ada.
Aku dimintanya untuk melihat apa yang dilakukan kelompok K-Popers alias para penggemar K-Pop yang tergabung dalam kampanye KPop4Planet. Terbentuk pada Maret 2021, anak-anak muda ini bahkan mampu begitu berisik saat bicara soal kelestarian lingkungan.
Mulai dari berdemo menolak Omnibus Law, deforestrasi hutan sampai pemanasan global.
Lantaran berasal dari banyak fans idol K-Pop, kekompakan mereka pun luar biasa militan. Arai yang adalah seorang ELF (fans Super Junior) menjelaskan padaku bahwa KPop4Planet ini hadir setelah salah satu girlband K-Pop paling mendunia saat ini, Blackpink, terpilih sebagai duta PBB dalam 26th Climate Change Conference (COP26).
Bisa dibilang kalau KPop4Planet ini seperti perpanjangan dari kegiatan rutin para fans K-Pop yang seringkali melakukan donasi pohon, pemberian kado hutan sampai adopsi hewan langka saat idol mereka berulang tahun.
fans BTS (Army) di Indonesia menanam ribuan pohon untuk ulang tahun Jimin © K-Pop Indonesia |
Kalau kalian lupa, Korindo adalah perusahaan asal Korea Selatan yang memang memiliki 57 ribu hektar lahan konsesi perkebunan sawit di Papua. Dalam periode 2011-2016, anak perusahaan Korindo itu sengaja membakar hutan demi membuka lahan.
Sosok muda lain yang peduli pada nasib pohon-pohon sepertiku datang dari platform LindungiHutan. Berawal pada Desember 2016, platform penggalangan dana dan kerjasama untuk konservasi hutan Indonesia ini mengenalkan kita pada dua sosok pemuda penggerak utama LindungiHutan, yakni Miftachur Robani dan Chashif Syadzali.
Hingga Januari 2022, LindungiHutan sudah menjadi jembatan dari berbagai gerakan yang menghasilkan penanaman 339.989 pohon di penjuru Indonesia, dengan akumulasi area ter-cover seluas 6,84 hektar. Ada 5.237 relawan yang bergabung, 1.100 kampanye dan donasi menyentuh Rp4,9 miliar.
Dari pohon-pohon yang ditanam itu, sudah ada sumbangsih penyerapan emisi karbon sebesar 21,6 juta kilogram.
Dan yang terbaru, Arai memberitahuku kalau kepedulian terhadap hutan dan lingkungan juga datang dari dunia musik.
Adalah lagu berjudul #DengarAlamBernyanyi yang diciptakan dan dinyanyikan secara manis oleh Laleilmanino bersama Chicco Jericho, Sheila Dara Aisha dan HiVi!
Bila kau ada waktu, lihat aku di siniSaat pertama kali mendengarnya, aku tak bisa menahan diri untuk tidak bernyanyi. Liriknya yang jujur, benar-benar menggambarkan harapan kami para pohon agar kalian manusia untuk bersedia melihat kami.
Indah lukisan Tuhan, merintih ingin kau kembali
eri cintamu lagi
Bila kaujaga aku, kujaga kau kembali
Berhentilah mengeluh, ingat, kau yang pegang kendali
Kau yang mampu obati, sudikah kau kembali?
Pandanglah indahnya biru yang menjingga
Simpanlah gawaimu, hirup dunia
Sambutlah mesranya bisik angin yang bernada, dengar alam bernyanyi
Bersedia terus mencintai kami.
Dan bersedia untuk selalu kembali.
Karena bagaimanapun, kalian para manusia-lah yang memegang kendali keberadaan kami di Bumi ini.
Lengkap juga karena lagu yang bisa kalian nikmati legal di saluran YouTube, Spotify dan Apple Music ini terpilih sebagai official theme song untuk gelaran Youth 20 (Y20) 2022. Seolah memang menggelorakan betul, semangat generasi muda sang pemegang kunci masa depan Planet Biru.
Dengan ajakan agar generasi muda bergerak bersama untuk melindungi hutan, Dengar Alam Bernyanyi adalah cara termudah bagi kalian untuk menyelamatkan kami di jenggala.
Sebagian royalti dari lagu ini akan didonasikan melalui platform HutanItu sebagai upaya konservasi dan restorasi hutan di Indonesia, bagian dari gerakan #UntukmuBumiku. Tentunya jika semua anak muda mendengarkan lagu itu terus-menerus, harapan kami untuk memiliki hutan yang semakin baik bukan hal yang mustahil lagi.
Karena jika hijau biru itu bisa terlindungi di Bumi, akan mampu mengobati lelah kalian akan panasnya hari. Aku dan teman-temanku bisa hidup bahagia dan menghasilkan suara-suara alam yang menyenangkan.
Jangan salah, bunyi-bunyi alam yang kami hasilkan seperti suara kicau burung, suara aliran sungai, gemerisik daun pepohonan yang dikombinasikan dengan musik bisa membuat manusia tenang sekaligus meningkatkan daya tahan tubuh, lho.
Tak heran kalau alam memang sudah sejak lama memikat para musisi.
Dimulai oleh seorang pemain cello ternama asal Inggris yakni Beatrice Harrison pada Mei 1924 yang membiarkan burung bulbul berkicau indah saat dirinya memainkan Londonderry Air dan Songs My Mother Taught Me, dunia musik menyadari kalau nyanyian alam mampu melahirkan melodi yang begitu indah saat berpadu dengan alat musik.
Hal itu kemudian diikuti oleh berbagai musisi modern saat ini, yang sering merekam suara-suara di alam lalu dipadukan dengan alat musik pada karya-karya mereka.
Melalui penelitian yang ditulis Rachel T Buxton, Amber L Pearson, Claudia Allou, Kurt Fristrup dan George Wittemeyer untuk jurnal ilmiah PNAS Amerika Serikat, dampak suara alam di ruang hijau perkotaan memberikan hasil menggembirakan.
Artikel penelitian berjudul A Synthesis of Health Benefits of Natural Sounds and Their Distribution in National Parks yang terbit pada 2021 itu, membuktikan jika lingkungan akustik alami bisa memungkinkan kontrol atas keadaan pikiran, mengurangi stres hingga memulihkan kesehatan mental.
Karena itulah, jika kalian menikmati Dengar Alam Bernyanyi, sama artinya dengan kalian memberikan kesempatan pada semesta untuk pulih. Kami yang sudah pulih, akan siap menghasilkan nyanyian alam yang bisa menenangkan kalian.
Rasanya, ingin kupeluk semua kalian yang sudah mendengarkan Dengar Alam Bernyanyi dengan tubuhku yang sangat lebar ini.
Terimakasih sudah memberi harapan.
Terimakasih sudah menghidupi kami.
Dari aku, si medang yang selalu merindukan dan mendoakan kebahagiaan kalian, wahai manusia.
foto © Twitter @SumatranTigerID |
Sumber:
BBC, Forest Digest, Kumparan, Antara, Lindungi Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Klik Hijau, Jurnal ITS, Jurnal UGM, Good News From Indonesia, Mongabay, Alam Endah, Greeners, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Wikipedia, Katadata, Tempo, Vice, CNN Indonesia, LIPI,
hiks hutan Indonesia banyak yang gundul ya karena beberapa kegiatan untuk mengeruk keuntungan pribadi lupa akan fungsi hutan untuk hajat hidup orang banyak
BalasHapusIndonesia sebenarnya masih banyak hutan, tinggal kita yang harus menjaganya agar kelak anak cucu kita bisa menikmati warisan alam (y)
BalasHapusKalau ngomongin hutan gak ada habisnya ya. Paru paru dunia, sumber alam tempat berlindung flora fauna dan masih banyak lagi. Aray bisa mendeskripsikan hutan dengan sangat baik. Selalu suka dengan gaya tulisanmu yang mengalir
BalasHapusSebuah pohon dengan lingkar batang 14 meter tentu pohon yang luar biasa mudah-mudahan masih banyak pohon yang seperti itu dipunyai oleh Indonesia.
BalasHapusMasya Allah. Itu pohonnya besar sekali ya, Mbak. Usianya juga sudah ratusan tahun. Bisa dibayangkan, betapa besar jasanya pohon itu dalam kehidupan. Makanya hutan harus terus dijaga dan dilestarikan, agar terus memberi manfaat sejak dulu, kini, dan di masa mendatang.
BalasHapusJadi pengen deh datang ke Simaung, sepertinya suasana yang asri banget yang jarang aku tahu. Sekarang tuh kalau pagi-pagi ada kabut di Malang rasanya senaaaaang banget
BalasHapusSuasananya mengingatkanku ketika masih tinggal di Bontang, Kalimantan Timur. Di sana hutan juga masih lebat dan dilindungi. Kala itu aku tinggal di mess Pupuk Kaltim, sering melihat kera yang bergelantungan di belakang. Sungguh sangat damai rasanya...
BalasHapusKayu ulin Kalimantan sekarang memang semakin langka kalaupun ada ukurannya juga kecil-kecil. Kalau di sini kayu ulin itu jadi bahan baku bikin rumah sih
BalasHapusKalau kita mengerti bahasa tanaman mungkin akan banyak yang curhat seperti pohon Medang ini. Maka memang tepat hadirnya lagu Dengar Alam Bernyanyi yang banyak menginspirasi
BalasHapus560 Tahun, Mbak? Ya, ampuuun. Sayang banget kalau pohonnya tidak dijaga, ya. Semoga makin banyak orang lebih peduli pada pohon dan hutan.
BalasHapusWah ternyata banyak juga pohon yg usianya tua banget ya. Semoga kita semakin sadar pentingnya menjaga kelestarian hutan
BalasHapusmakjleb juga ya sama quotenya Paul Bamikole, kita bisa hidup tanpa emas atau kekayaan, tapi kita ga bisa hidup tanpa pohon, tanpa hutan, secara kita butuh asupan oksigen dari mereka. Gerakan2 jaga alam ini udh "dibawa" juga ya sama artis internasional, semoga kita pun bisa turut berkontribusi buat jaga alam kita, sesimpel dengeri dan turut promosiin lagu "dengar alam bernyanyi" ya kak
BalasHapusMantepp nih fans Jimin ngga hanya bisa teriak2 kalo biasnya tampil di tv yaak tapi juga peka sama isu lingkungan, mana nih yang laiiinnnnnn?? *nampardirisendiri
BalasHapusBaru tahu di Indonesia juga da pohon terbesar yang usianya 560 tahun. Kalau ditelusur lagi di daerah lain juga pasti ada pohon yang usianya ratusan tahun karena Indonesia adalah hutan tropis. Walau luas hutan berkurang kita pasti bisa menjaga dan melestarikan hutan agar tetap hijau.
BalasHapusSedih dan prihatin saat tahu bahwa deforestasi Indonesia makin besar
BalasHapusSemoga semakin banyak yg peduli hutan setelah mendengarkan lagu Dengar Alam Bernyanyi ini ya mbak
86,9 Juta Hektar Hutan harus segera mendapat perlindungan. Kelestarian mereka merupakan hal mutlak untuk keberadaan Indonesia di masa mendatang. Ini sudah tak dapat ditunda lagi ya kak
BalasHapuswahahah army2 tuh ternyata sering yaa ada kegiatan2 yang sifatnya pro lingkungan gini. bagus banget nih.. btw sejak pertama kali lihat leuser itu udah kepengin banget ke sana. apalagi orang luar juga sering syuting di situ yaa untuk mempublikasikan kekayaan alam kita
BalasHapusSemoga hutan terjaga dengan baik, masyarakat makin sadar akan peran Hutan untuk bumi.
BalasHapusAkuu suka banget lagu dengrlah alam.bernyanyi....(gusti yeni)
Hutan adalah bagian penting untuk hidup manusia, sedih aja kalo lihat berita ada kebaran hutan atau bahkan alih fungsi hutan jadi kebun :')
BalasHapusAku membaca sampai habis berasa dapat dongeng dan berinteraksi langsung dengan pohon2 tersebut.
BalasHapusSiap. Mendengar lagu alam bernyanyi merupakan salah satu langkah yang bisa kita lakukan untuk membantu hutan kita pulih
sedang membayangkan diameter pohon 4.6 meter seberapa gedenya. Kamarku aja lebarnya gak sampe 4 meter hahaha... pohon sebesar itu, setua itu pasti sumbangan oksigennya banyak sekali ya...
BalasHapusYa Allah~
BalasHapusMelihat hutan yang berkurang dan gundul rasanya miris sekali yaa.. Semoga dengan langkah anak muda zaman sekarang yang bisa turut reboisasi dan menjaga alam sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, bisa turut menjaga hutan demi masa depan.
Hutan di Indonesia tuh luas bgt,,sedih aku kalau baca berita ttg penebangan liar. Semoga kedepannya hutan akan terjaga lebih baik lagi krn kehadirannya sangat penting sekali.
BalasHapusLuar biasa! banyak hal yang bisa ditemui di hutan ya ternyata :) dan luar biasa ciptaan Tuhan.. semoga bisa kita lestarikan ya :)
BalasHapusBesar banget ya pohonnya, mungkin seperti yang di film Avatar. Uniknya baru ditemukan 2013 kemarin. 50 meter itu tinggi banget ya.
BalasHapusKalau ngomongin hutan aku ingat Jayapura. Dulu gunung dan hutan sgt banyak sampai jarang banjir... skrg gunung di potong, hutan di babat huhu
BalasHapusduh ngeri banget yaaa demi produksi kertas sampai harus gundulin hutan puluhan hektar (asia pulp dan paper image) . sedih aku, meski yaa emang kita butuh kertas untuk keperluan sehari-hari. tapi harus diimbangi dengan reboisasi memang
BalasHapus