Melambung jauh terbang tinggi, bersama mimpi. Terlelap dalam lautan emosi. Setelah aku sadar diri, kau tlah jauh pergi ~ Mimpi (Anggun)
Ada dua film Indonesia yang perilisannya di bioskop sangat saya tunggu pada tahun 2021 ini. Pertama adalah SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS yang dibuat oleh Edwin, dan kedua adalah YUNI yang diarahkan oleh salah satu sutradara perempuan Indonesia favorit saya, Kamila Andini.
Dirilis
secara global untuk kali pertama di Toronto International Film Festival 2021
pada bulan September, YUNI bahkan
memboyong penghargaan Platform Prize. Tak berhenti di situ, YUNI juga terpilih sebagai perwakilan
Indonesia dalam ajang 94th Academy Awards untuk kategori Best
International Feature Film. Kedua raihan yang semakin memperkuat alasan saya
untuk membuat review YUNI ini.
Meskipun
menonton sedikit terlambat sejak dirilis pada 9 Desember kemarin, saya cukup beruntung dan bisa
dibilang luar biasa puas ketika akhirnya bisa menonton YUNI, beberapa hari sebelum serangan SPIDER-MAN: NO WAY HOME yang luar biasa epic itu.
Tak
butuh waktu lama, film sepanjang 95 menit yang mengenalkan kita semua pada
calon aktris masa depan bangsa yakni Arawinda Kirana itu, berhasil menyodok
sebagai film Indonesia terfavorit versi saya. YUNI kini menempel bersama GIE
(2005) yang sudah satu dekade lebih ada di posisi puncak.
Sinopsis Film ‘YUNI’
Sesuai
dengan judulnya, kisah dalam film yang naskahnya ditulis oleh Kamila bersama
Prima Rusdi, salah satu penulis skenario perempuan terbaik milik negeri ini
memang fokus pada sosok Yuni (Arawinda Kirana).
Seperti
layaknya pelajar tingkat akhir di SMA, Yuni juga memiliki harapan bisa
melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Namun kondisi Yuni berbeda dengan
remaja kota-kota besar yang sudah sibuk dengan persiapan SNMPTN di berbagai
bimbel. Yuni si gadis pinggiran Serang itu tahu bahwa melanjutkan kuliah
seolah jadi 'khayalan babu' untuknya.
Menjadi
anak tunggal yang Ayah (Rukman Rosadi) dan Ibunya (Nova Eliza) bekerja sebagai
pembantu di rumah orang-orang kaya Jakarta, Yuni tidak memaksakan keinginannya
itu meskipun sang guru, Lies (Marissa Anita) selalu memberikannya dorongan.
Lies tahu jika Yuni adalah gadis cerdas dengan masa depan cerah, yang
membuatnya menjadi pendukung utama agar Yuni mencari beasiswa kampus.
Hingga
akhirnya Yuni dikejutkan ketika tetangga depan rumahnya yakni Iman (Muhammad
Khan) mendadak melamar dirinya. Dibuai oleh status Iman sang pekerja proyek
dengan pangkat mandor, tetangga-tetangga di sekitarnya pun memuji keberuntungan
Yuni. Yuni kaget karena dia hanya sekali bertemu Iman saat sang Nenek (Nazla
Thoyib) memintanya mengantarkan kue bolu kukus.
Bagaimana mungkin pria itu bisa jatuh cinta dan langsung mendambakannya sebagai istri?
Apakah hal tersebut lazim disebut sebagai cinta, alih-alih keinginan perluasan teritori kaum Adam?
Yuni si gadis remaja dengan mimpi tak sempurna |
Sadar
kalau menikah bukanlah citanya saat ini, Yuni yang suka bernyanyi inipun mendatangi Iman
di lokasi kerja bersama sahabatnya, Sarah (Neneng Wulandari) untuk menolak
lamaran itu. Namun rupanya pesona sang gadis remaja itu tak hanya dirasakan oleh Iman saja. Mang
Dodi (Toto ST Radik) pun tak kuasa menolak keinginannya menjadikan Yuni sebagai
istri keduanya, dengan iming-iming mahar puluhan juta Rupiah, meskipun lagi-lagi lamaran itu ditolak oleh Yuni.
Mulut lelaki katanya selalu begitu, apalagi dia yang masih suka dengan gadis remaja. Engkau lupakan anak cucumu, hanya demi kenikmatan ~ Tua Tua Keladi (Anggun)
Mendapatkan cemooh dari teman-teman di sekolah dan tetangganya, bahwa pamali menolak lamaran sebanyak dua kali, Yuni pun merasakan kegamangan.
Apakah sebuah dosa besar jika perempuan menolak lamaran?
Apakah seharusnya dia bersyukur ada laki-laki yang mau meminangnya sekalipun itu menjadi istri muda?
Dengan berbagai pikiran berkecamuk, takdir menggiring Yuni ke sosok adik kelas sekaligus teman masa kecilnya yang pemalu, Yoga (Kevin Ardilova). Lewat Yoga yang begitu jago puisi itu, Yuni merasakan lagi kehidupan
remajanya yang begitu penasaran soal cinta dan masa depan.
Yoga
pula yang membantu Yuni dalam berbagai tugas sastra dari Damar (Dimas Aditya),
guru favoritnya tanpa menyadari kalau pemuda itu memendam cinta untuknya. Perjalanannya
dalam menemukan eksistensi diri membawa Yuni berkenalan dengan Suci Cute
(Asmara Abigail), janda muda cantik berbedak belang sekaligus pekerja salon yang hobi main Instagram.
Yuni bersama Susi Cute bikin konten IG |
Kehadiran
Suci seolah mengenalkan Yuni pada kehidupan perempuan dewasa yang tidak
selamanya indah. Bukti bahwa pernikahan di usia muda belum tentu bermuara pada
kebahagiaan, sama seperti yang dialami dua sahabatnya yakni Tika (Anne Yasmine)
dan Sarah. Tika di usia yang seharusnya bersekolah justru harus menggendong
bayi dan bahkan hidup berpisah dari sang suami.
Beda Tika beda pula Sarah yang bernasib miris karena dipaksa menikah dengan kekasihnya, hanya karena
ketahuan sedang berdua oleh warga sekitar. Hingga akhirnya pergulatan Yuni
dalam melintasi tradisi patriarki yang membelenggu gadis-gadis pinggiran sepertinya pun berujung kebuntuan, saat Damar tiba-tiba melamarnya
jelang hari kelulusan SMA. Yuni tahu kalau lamaran itu bukanlah cinta karena
Damar melakukannya saat Yuni mengetahui rahasia terbesarnya yakni orientasi
seksual yang tak biasa.
Sekali lagi, bukti kepongahan laki-laki yang berlindung di balik label membahagiakan orangtua.
Tidak
seperti lamaran pertama dan kedua, Yuni kali ini harus membuat keputusan yang
sangat berat. Merasa bahwa tak ada lagi jalan keluar, lamaran Damar itu pun
diterima. Namun di hari pernikahannya, ketika Damar dan Yoga menjanjikan masa
depan berbeda, Yuni memilih melangkah sendiri. Di bawah hujan deras dan
mengenakan gaun pengantin ungu, warna kebesarannya, Yuni untuk pertama kalinya
menjadi perempuan bebas.
Review ‘YUNI’ Menurut Saya
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu ~ Aku Ingin (Sapardi Djoko Darmono)
Ditutup dengan para aktrisnya yang berkumpul di depan
api unggun dengan Yuni yang menyanyikan lagu Mimpi-nya Anggun, saya tak bisa menahan air mata saat adegan ini ditampilkan.
Saya tak tahu apa yang membuat saya begitu emosional
kala itu.
Apakah karena alunan lirik demi lirik lagu Mimpi yang pernah begitu menemani saya
bertahan di usia-usia remaja dan melewati quarter
life crisis?
Atau karena bagaimana Yuni akhirnya bisa bebas memilih
masa depannya sendiri, melepas rantai tradisi yang berhasil membelenggu banyak
perempuan di luar sana?
Atau mungkin karena melihat bagaimana sang guru Lies
yang tersenyum begitu lebar, Sarah dan Tika yang tampak begitu bahagia, hingga Asih (Mian Tiara) yang tampak begitu mesra dan nyaman bersama Suci?
Tanpa sadar, saya sepertinya terlalu terbawa perasaan
dengan Yuni.
Kamila Andini sukses membawa saya mengingat kembali
diri saya yang lebih muda. Ketika masih duduk di bangku SMA, ketika kasih
berusia 20 tahunan awal, saat saya tahu bahwa dunia dewasa itu begitu
mengerikan.
Ya, Yuni adalah potret perempuan-perempuan yang dalam seumur hidupnya selalu ditekankan bahwa lahir dan bertumbuh demi dapur, kasur dan sumur.
Perempuan yang cita-cita seolah menjadi barang mahal. Karena dalam lingkungan mereka, anugerah terindah dalam hidup adalah bertemu dengan pria baik-baik, menyodorkan
lamaran alih-alih lama berpacaran.
Yuni dan sahabatnya bicara soal hubungan intim |
Credit terbesar memang patut diberikan kepada Arawinda. Aktris
20 tahun yang masih seusia adik saya itu seolah terlahir sebagai Yuni. Saya
menikmati visualnya yang begitu polos terutama ketika membicarakan soal having sex dengan teman-temannya, sebuah
pengalaman yang masih juga membuat saya luar biasa penasaran hingga seusia ini.
Atau bagaimana beraninya dia melakukan adegan woman on top bersama Kevin yang begitu
singkat. Bukan, jangan bayangkan adegan erotis menggebu, karena Yuni dan Yoga menggelorakan emosi purba itu tidak dengan birahi membara, tapi hanya sebuah rasa ingin tahu dan
pelepas penat remaja yang begitu tersesat dalam hidupnya.
Selain Arawinda, pujian juga patut diberikan ke Asmara
yang begitu memikat sebagai Suci Cute. Bagaimana pilihan make up dan bajunya yang ‘norak’, seolah mewakili pemikirannya yang
dituntut terlalu cepat dewasa itu. Suci tipikal ‘korban’ nikah muda di
negeri ini yang harus menjanda di usia saat tengah merekah itu. Mencoba
menyambung nyawa setiap harinya meski terjerat masalah ekonomi, sambil tetap
joget dan update status, satu-satunya
pelarian atas kenyataan yang mungkin tak pernah dia inginkan.
Namun lepas dari mereka berdua, saya sangat takjub
bagaimana YUNI bisa menyuguhkan
dialog-dialog bahasa Jaseng (Jawa Serang), Bebasan dan Sunda Banten yang sangat
natural. Jauh lebih baik daripada pesinetron atau aktor film Indonesia kelas B
dan C yang suka berbahasa Jawa sok medok,
membuktikan kalau produksi YUNI
memang menargetkan level yang jauh lebih tinggi. Ya, YUNI tak bicara persaingan domestik, film ini adalah wajah
perempuan Indonesia yang harus dibawa ke tingkat global.
Tak hanya menarik lewat visual dan shoot-shoot yang cantik, terimakasih
kepada Teoh Gay Hian sebagai sinematografer, dan disunting sempurna oleh Cesa
David Luckmansyah, pesona lain dari film YUNI
ada pada jajaran lagu yang mengiringi. Imajinasi
Senja dari Alien Child memang memiliki peran dalam membangun emosi, tapi
dua lagu Anggun adalah bintangnya yakni Tua-Tua Keladi dan Mimpi.
Yuni bermanja dengan sang Ibu |
Tetapi jika disuruh memilih, apakah adegan yang paling
memorable dari YUNI. Jawaban saya justru di penghujung film saat Yuni dan Ayahnya sedang memotong kuku. Buat saya, itu adalah adegan yang benar-benar murni
memperlihatkan bagaimana seorang anak gadis, akan selalu menemukan kenyamanan
lewat Ayahnya, meskipun tampil begitu singkat.
Saya bisa merasakan berkecamuk dan gamangnya Yuni saat bertanya bagaimana orangtuanya akan menerima dia jika hidupnya menjadi susah dan kacau. Bukannya marah, sang Ayah yang sudah pasti tipikal kepala keluarga pinggiran dan perekonomian rendah itu justru memberikan jawaban yang sangat hangat, sempurna dan 'kaya'.
Sebuah jawaban yang sangat ingin didengarkan oleh banyak anak di dunia ini.
"Ayah hanya sekali menjadi orangtuamu, jadi tak ingin membuat hidupmu susah,"
Hasilnya, YUNI menjelma menjadi film coming of age terbaik
negeri ini yang dilihat dari kacamata perempuan. YUNI tak
perlu berlebihan memasang tokoh sentral lulusan kampus bergengsi, hidup dan
dibesarkan di kota besar dengan pikiran-pikiran open minded yang
dijejali berbagai aktivitas feminisme. Kita tak akan dijejali kalimat demi
kalimat ndakik soal pentingnya jadi perempuan yang berpikiran
maju supaya lebih unggul daripada laki-laki.
Karena justru lewat kesederhanaan gadis SMA yang
bingung menentukan masa depan, gaung emansipasi perempuan itu bergetar lebih
kuat. Memasuki relung-relung hati para penonton yang mungkin bernasib sama seperti
Yuni, terbungkam dalam keindahan patriarki.
Ungu dan Puisi Sapardi Djoko Darmono
Tak ada yang lebih tabah, dari hujan bulan Juni, dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu ~ Hujan Bulan Juni (Sapardi Djoko Darmono)
Ada dua hal yang sangat menonjol sepanjang saya
menonton film YUNI.
Pertama ialah warna ungu yang sangat disukai oleh Yuni
sampai menghiasi seluruh benda-benda miliknya mulai dari ikat rambut, casing HP, tas, sepeda motor, pakaian
dalam hingga deterjen. Kalau di Indonesia warna itu identik dengan status janda
yang melambangkan pengorbanan dan kematian, dunia internasional memandang warna
ungu sebagai simbol kesetaraan terhadap perempuan.
Adalah Serikat Sosial dan Politik Perempuan di Inggris
yang pada tahun 1908 memilih warna ungu sebagai perwakilan atas keadilan dan
martabat. Bahkan kalau kalian jeli, Hari
Perempuan Internasional juga menggunakan warna ungu yang semakin memperkuat
makna kenapa Kamila memilihkan warna ini sebagai favorit Yuni.
Lalu kedua keindahan puisi-puisi Sapardi Djoko Darmono.
Tidak hanya hadir sebagai tempelan, karya sang
mendiang justru hadir sebagai denyut nadi YUNI
dan menggerakkan ceritanya. Seperti kata Kamila dalam wawancaranya dengan CNN
Indonesia bahwa puisi merupakan cara Yuni melarikan diri ke ‘dunianya sendiri’
maka itulah yang terlihat dalam filmnya.
Kalian tentu tahu bahwa Hujan Bulan Juni adalah mengenai sesuatu yang hadir tidak sesuai waktu. Tentang hujan yang mengkhianati musim panas. Sama seperti Yuni, anak remaja yang dituntut ‘terjatuh’ ke dunia orang dewasa yang sebetulnya belum tepat dia jalani. Tak heran kalau puisi ini hadir dalam klimaks filmnya.
Sementara itu tiga puisi lain seperti Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari, Aku Ingin dan Yang Fana adalah Waktu juga tak gagal meletakkan diri dalam porsi
yang tepat.
puisi Sapardi Djoko Darmono |
Bagaimana Yuni mencari eksistensi dirinya lewat Yang Fana adalah Waktu, sampai betapa
polos dan tulus rasa ketertarikan Yoga terurai lewat Aku Ingin., Kamila benar-benar memberikan penghormatan dan keadilan
atas karya pujangga besar itu. Persis seperti apa yang Ayahnya, Garin Nugroho,
lakukan lewat CINTA DALAM SEPOTONG ROTI
(1991).
Kalau kalian menggila lewat syair yang dilontarkan
Nicholas Saputra sebagai Rangga atau Gie, deklamasi bait demi bait puisi
Sapardi di YUNI tak akan gagal
membuat kalian terpikat pula.
Hingga akhirnya semua hal-hal indah itupun membungkus YUNI sebagai salah satu film terpenting dan terbaik negeri ini. YUNI
adalah sebuah kegetiran yang menjadi kenyataan bagi mayoritas perempuan negeri
ini. Patriarki jelas masih jadi rantai yang sulit diputuskan. Memperkuat fakta
bahwa menjadi perempuan memang tak pernah mudah di dunia ini.
Film ini menyindir telak bagaimana perempuan harus
bersikap, sesederhana tak boleh berdiri di depan pintu rumah karena sulit jodoh. Bahkan saat jodoh yang diharapkan itu tiba, belum tentu semua bahagia
karena bisa saja seperti Tika yang ditinggalkan suami atau Suci yang menjadi
korban KDRT hanya karena tak bisa mengandung, akibat rahim terlalu muda.
Karena diam bukanlah jalan yang dipilih Yuni |
Bahkan sejak film bergulir, perempuan seolah sudah diletakkan dalam posisi pelik di mana keperawanan adalah satu-satunya bukti harga mereka. Memperkuat pendapat tanpa tedheng aling-aling jika urusan pernikahan, laki-laki menjadi pemegang kuasa absolute.
Padahal perempuan seharusnya berhak untuk merdeka dan memilih.
Karena sejauh dan segila apapun langkah mereka, perempuan akan tetap menjadi perempuan. Makhluk fana yang bekerja dengan sembilan perasaan dan satu logika.
Sama halnya seperti Asih yang memilih bertahan meskipun bukan sebagai
anak yang didambakan sang Ibu. Tentu Asih jauh lebih beruntung daripada Sarah
yang bahkan tak punya kuasa selain menerima pernikahan terpaksa.
Karena memang satu-satunya hal yang paling menyedihkan
di dunia adalah hilangnya hak untuk bersuara.
Jadi, beruntunglah kita perempuan yang masih boleh
memiliki harapan yang selalu dilangitkan setiap hari, mempunyai mimpi yang
boleh dikejar sejauh mungkin dengan keluarga dan sahabat yang akan selalu ada
di belakang memberi semangat.
Tuhan tahu, kita terlahir luar biasa istimewa.
Sang sutradara berhasil memotret realitas di masyarakat tentang kegelisahan seorang (mungkin mayoritas) perempuandi negeri ini. Mau karier, terhalang ekonomi. Tak menurut apa kata orangtua, dibilang durhaka. Mau menuruti omongan tetangga, ya kita hidup bukan utk mereka. Serba salah tapi endingnya bikin kita tak boleh pasrah, terhadap nasib kita sendiri. Keren. Jadi pgn nonton film Yuni ini deh.
BalasHapusJadi pengen nonton. Itu cowok2 pilihan yg mo ngelamar Yuni kok yaa unik2 semua. Saya pun bakal emoh... Tapi omongan orang emang bikin kita makjleb, gitu. Katanya kalo nolak lamaran kan jd perawan tua gitu. Jahat banget deh... Masa kita gak boleh berlaku sesuai keinginan hati kita?
BalasHapusFilm yang mengangkat isu sosial yang dekat dengan kita dan tanpa kita sadari, bila kita bertemu dengan keadaan yang seperti ini, kita pun belum tentu bisa berada di pihak yang adil dalam memberikan pendapat.
BalasHapusTentu perempuan di sebagian besar tempat di dunia ini hanyalah sebagai objek semata.
Sebagaimana penutup dalam film Yuni, aku suka sekali ulasannya. Cukup tergambarkan bagaimana film Yuni yang cerdas dan pintar menghadirkan elemen-elemen detil dalam sebuah sajian tontonan yang tidak bertele-tele seperti drama.
Suka juga dengan ulasan Film Yuni dari kak Arai.
Waah....((TERPUKAU))
Kisahnya related banget dalam kehidupan sehari-hari, makanya gampang terbawa suasana film si yuni ini :')
BalasHapusAkkkhh udah banyak teman yang nonton, jadi pengin ikutan nonton, ringan tapi menarik nih konfliknya
Sayang ya Rai kita ngga jadi nonton bareng. Padahal pingin ngobrol banyak sama kamu ngebahas film ini. Mengaduk emosi. Miris. Terjebak nya kebebasan memilih karna budaya patriarki. Makanya sekarang feminis menggaungkan kesetaraan gender.
BalasHapusDaku juga pernah dengar itu tabu nya menolak lamaran.
BalasHapusNamun film Yuni ini menggebrak ya ya, karena related dengan kehidupan yg dialami.
Boleh juga ini jadi tayangan oke jelang akhir tahun
Bercerita tentang kegalauan kaum hawa yang mulai beranjak remaja ke dewasa merupakan hal yang lumrah. Tapi, ketika hal tersebut dikemas dalam sebuah film yang menceritakan tentang perjuangan wanita yang mampu melepas rantai tradisi masyarakat adalah hal yang luar biasa.
BalasHapusKetika seorang wanita ingin menempuh pendidikannya terlebih dahulu sebelum menikah adalah hal yang lebih baik. Menikah bukan hanya semata-mata persoalan kematangan fisik, tapi juga kematangan secara mental dan ilmu. Karena dengan wanita terpelajarlah yang mampu membentuk peradaban yang unggul.
Nice review Kak, yang action saya skip dlu nih..
Film Yuni mewakili realita yang banyak ada di tengah masyarakat ya.
BalasHapusMenontonnya seperti melihat 'gue banget' nih.
Jadi ikut menunggu filmnya juga.
Baca review film YUNI membuat saya haru dan ikut membayangkan adegan-adegan dalam film, salut sudah bisa merangkum keindahan film YUNI dalam tulisan yang indah
BalasHapusPenasaran dg film YUNI. Jd teringat masa selepas SMA dulu, emang suka galau ingin melangkah kemana. Tp syukur ortu saya relatif mendukung apapun pilihan sy. Malah ditanya mau nikah kuliah apa kerja
BalasHapusBaca-baca, responnya positif semua, ya, tentang film Yuni ini. Aku makin penasaran mau nonton habis baca ulasan ini.
BalasHapusdari kemaren rame banget nih dibahas film Yuni, tapi aku blm sempet nonton, dan barusan nonton trailernya aja aku udh geregetan yaaa. Segitunya "jual beli" perempuan utk pernikahan, perjodohan dan dimadu, sampe2 bakal menghambat jenjang pendidikan si perempuan!
BalasHapusTeman2 ku di salah satu forum literasi juga menyinggung ini kemarin. Dua film yg mbak arai nantika tampaknya ditunggu oleh beberapa kalangan deh.
BalasHapusSalah satunya temanku ini. Ehm.. aku nonton trilernya . Jika bicara pernikahan anak yang masih usia tanggung aku memyebutkanya ,rasanya sedih sekali.
Tapi benr adanya tradisi ini masih ada apalagi jika dibenturkan dg kondisi ekonomi sebuah rumah tangga
Aku pengen nonton tapi takut emosional
Sampai sekarang belum keturutan nonton karena blm bisa ke bioskop. Kalau udah masuk reviewnya heyarai pasti filmnya bagus. Nonton dimana ya aku hiksss. ada ngga sih aplikasi yg bisa nonton film bioskop indo berbayar
BalasHapus
BalasHapusOh, ini film yang sempat jadi trending topic di twitter itu ya kak. Kirain short film seperti di aplikasi itu.
penasaran sama filmnya pengen nonton, saya selalu tertarik jika membahas tentang peran perempuan dalam hal appaun, termasuk bahasan perempuan dalam sebuah film, dan berharap selalua da makna tersirat dan tersurat yang mampu mengedukasi kaum perempuan di Indonesia
BalasHapuswah baca judul artikel ini aku jadi penasaran sama filmnya
BalasHapusisu feminisme diangkat dari sisi yang berbeda ya
Keren banget nih tema filmnya, memang pantas ya dibawa ranah global...
BalasHapusKayanya saya juga kalau nonton filmnya bakal ikut terbawa emosi deh...
Wah ini lagi banyak yang bilang bagus nih, jadi penasaran sih pengen coba nonton sendiri, menarik juga isu yang diangkat ya
BalasHapusWahhh, jadi pengen nonton filmnya langsung nihh. Kurang mantap kalo dari baca doang.
BalasHapuskayaknya Seperti Dendam, rindu harus dituntaskan ini buku kumpui ya mbak. Tapi bca sinopsisnya saya jadi pengin nontooon huhuhuhu
BalasHapusKemarin di tiktok ada yang bahas, sebagus itu ya mbak? Aku liat trailernya cukup menarik tema yang diangkat ya. Terakhir nonton film mengangkat isu sosial gini ya Gie. Itu endingnya aja nyesek sampe sekarang huhuhu
BalasHapusBener banget. Nyesek sih saat sadar bahwa sebagian besar masyarakat masih percaya bahwa jalur masa depan satu-satunya bagi perempuan adalah dinikahi. Jadi kita engga berhak bercita-cita tinggi.
BalasHapusjadi penasaran endingnya gimana, yudi bebas dan bertemu jodoh pujaan hatinya kah? kadang menikah memang alasanya tak selalu cinta,ya
BalasHapusHaru. Senang akhirnya bisa meniknati ewview lengkap dari Kak Arai. Beberapa review yang sudah kubaca tentang YUNI pun, banyak menyampaikan pujian untuk sudut pandang yang disampaikan film ini. Aaahhh kapanlah sempat kutonton juga ya.
BalasHapus
BalasHapusMenarik... Persoalan tentang perempuan memang tidak habis untuk dikupas ya.. Jadi pengen lihat filmnya juga. Terbayang konflik batin yang dialami Yuni yang mungkin banyak juga dialami oleh perempuan2 di luar sana
Menarik. Kapan hari diajakin nonton film ini sama teman, tapi belum terealiasasi, masih ada nggak ya di bioskop. Maklum film dengan genre seperti ini seringnya hanya bertahan sebentar. Seneng ya di Indonesia makin banyak film-film berkualitas.
BalasHapusCeritanya bagus ya mbak. Sebenarnya cerita di Film ini dekat banget dengan kehidupan sehari-hari kita. Sayangnya banyak yang abai. Seharunya benar tuh, perempuan berhak memilih dan membuat keputusan untuk dirinya sendiri.
BalasHapus