Aku berada di puncak Pulau Padar, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur foto: Imba Jaya |
"Sekarang juga kita hentikan ekspedisi Batang Kawa. Semua mundur. Kita cari desa yang ada sinyal internet. Kita bawa tubuh bang Galis, kita obati Arai, kita pulang semua ke Jakarta,"Suara Mina Setra terdengar bergetar. Ada kesedihan yang menguar darinya. Hatinya begitu hancur saat ekspedisi yang seharusnya menyenangkan, berakhir menjadi begitu kelam.
Aku jelas tak bisa membantunya, apalagi sekadar memberi penghiburan. Karena aku yang adalah orang asing di komunitas AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), justru menjadi pesakitan lain di sungai Batang Kawa ini.
Kulirik pergelangan kaki kiriku yang bengkak dan membesar luar biasa. Ada warna biru legam di sana, jelas tulang itu patah karena benturan sangat keras dengan batu di dasar sungai, saat aku tergelincir dari batang pohon yang lapuk.
Suara mesin perahu kayu terdengar menderu dengan kencang. Pandanganku hanya terbatas pada langit, karena tubuhku direbahkan di dasar perahu yang cuma selebar manusia dewasa ini. Sedari tadi aku hanya bisa melihat ranting-ranting pohon menjulur di atasku, dan berbagai hewan kecil di sana. Tampak mengejekku yang tidak berdaya.
Di ujung perahu, hanya satu meter dari kakiku, aku bisa melirik sleeping bag basah yang membungkus tubuh kaku bang Galis.
Tak ada yang bisa menebak kapan kematian itu datang. Pun tak akan ada yang pernah tahu bahwa bisa saja tawa itu berganti duka, hanya dalam waktu tiga puluh menit saja.
"Maaf, kami warga Jemuat tidak bisa menerima kalian. Mayat yang berasal dari bukan warga Dayak kampung sini asli, tidak boleh masuk ke wilayah Jemuat karena ditakutkan membawa petaka,"Kupejamkan mataku, berharap suara itu ikut teredam. Tapi ungkapan kecewa rekan-rekan AMAN yang lain tetap menembus gendang telingaku. Yang kutahu, mesin perahu kayu kami kembali berbunyi bising kemudian. Menandakan kalau kami harus mencari desa lain di sepanjang sungai Batang Kawa yang bersedia disinggahi.
Kucoba menggeser tubuhku yang basah, kaki kiri itu ikut berdenyut sakit luar biasa. Tampaknya memang aku hanya bisa menatap langit saja.
Riam Kamongi di Sungai Batang Kawa, Kalimantan Tengah foto: Arai Amelya |
Menjelang petang, barulah perahu kayu milik warga Jemuat yang membawa kami diperbolehkan bersandar di Desa Kina. Aku jadi tahu perasaan korban kecelakaan yang menjadi tontonan banyak orang, karena hampir seluruh penduduk Kina menatapku demikian kala tubuh lunglaiku digendong dan dibawa ke rumah adat setempat.
"Untung di sebelah ada rumah kepala desa, kita bisa dapat sinyal internet karena wifi-nya nyambung sampai ke sini. Aku udah hubungin tim darat yang ada di Kinipan, nanti jam satu dini hari bakal sampai di sini, nyusul kita semua buat dibawa ke Pangkalan Bun. Sore harinya, kita langsung flight ke Jakarta. Perkara tiket pesawat dan persiapan operasi Arai udah diurus online,"Salah satu rekan AMAN jelas sedikit meninggikan suaranya agar aku yang mencoba untuk tidur ini mendengar perkataannya, sekadar membuatku tenang. Dia tak salah. Karena sejak pagi tadi, baru malam ini aku mendengar kabar baik.
Ingin rasanya aku meringis karena hidup kami seolah tergantung pada sinyal internet. Tak pernah aku bersyukur sedalam itu saat internet menemukan kami.
Mungkin jika kepala Desa Kina tidak memasang modem internet, kami masih terisolasi di pedalaman Kalimantan Tengah entah sampai kapan. Dan aku harus menahan nyeri luar biasa yang enggan reda, sekalipun kaki kiriku sudah mendapat pijatan hangat dari tetua adat Dayak di Kina ini.
Ya. Internet.
Sebuah entitas tak bernyawa yang ternyata memanjangkan sulur kehidupan di dunia.
Cerita dari Pintu 13 yang Dilangitkan ke Dunia
Dua konten rangkaian foto bernarasi soal Tragedi Kanjuruhan di Instagramku @araiamelya |
"Terimakasih kak, foto dan narasinya luar biasa indah sekali. Sangat menyentuh hati seolah aku ada di TKP langsung. Alfatihah untuk aremania dan aremanita yang jadi korban,"
Aku terdiam cukup lama membaca pesan yang dikirimkan orang asing itu, lewat DM (Direct Message) di akun Instagramku.
Sejak aku mengunggah rangkaian foto yang kutuliskan sendiri narasinya untuk tragedi Kanjuruhan pada awal Oktober 2022 silam di akunku itu, pesan-pesan serupa selalu kuterima. Semua bernada sama. Kepedihan.
Terlahir sebagai orang asli Malang, Arema memang sudah kukenal sedari kecil. Mau kalian suka atau tidak dengan sepakbola, mustahil tak pernah bersinggungan dengan Arema saat tinggal di Malang Raya. Sehingga saat tragedi Kanjuruhan itu terjadi, kami seolah sama-sama mengalami duka yang serupa.
Kala itu aku sama sekali tidak berniat untuk membuat konten dengan memanfaatkan kepiluan di Kanjuruhan. Aku hanya memotret sisa-sisa nestapa di stadion itu, dua hari usai tragedi terjadi. Hanya saja saat aku pulang dan melihat foto-foto yang kuabadikan, lengkap dengan berbagai cerita miris dari rekan-rekanku yang kebetulan ada di lokasi nahas itu, aku jadi ingin menyampaikan rintihan mereka.
Sebagai seorang blogger dan mantan jurnalis yang bersenjatakan kata-kata, foto-foto sederhana itu kuolah sedemikian rupa. Kusematkan berbagai kalimat yang kuharap mampu merangkai kisah kelabu sepakbola nasional itu. Terutama di gerbang maut pada pintu 13 stadion Kanjuruhan, tempat di mana ratusan raga meregang nyawa.
Membuat konten foto yang bercerita sebetulnya bukan hal baru bagiku. Aku sudah menciptakan beberapa rangkaian narasi sebelumnya yang kuunggah di akun Instagram. Hanya saja saat konten Kanjuruhan ini kuposting, aku sempat mengalami dilema. Tepatkah yang kulakukan? Apakah aku menyuarakan kebenaran atau hanya memanfaatkan keadaan?
Terlahir sebagai orang asli Malang, Arema memang sudah kukenal sedari kecil. Mau kalian suka atau tidak dengan sepakbola, mustahil tak pernah bersinggungan dengan Arema saat tinggal di Malang Raya. Sehingga saat tragedi Kanjuruhan itu terjadi, kami seolah sama-sama mengalami duka yang serupa.
Kala itu aku sama sekali tidak berniat untuk membuat konten dengan memanfaatkan kepiluan di Kanjuruhan. Aku hanya memotret sisa-sisa nestapa di stadion itu, dua hari usai tragedi terjadi. Hanya saja saat aku pulang dan melihat foto-foto yang kuabadikan, lengkap dengan berbagai cerita miris dari rekan-rekanku yang kebetulan ada di lokasi nahas itu, aku jadi ingin menyampaikan rintihan mereka.
Sebagai seorang blogger dan mantan jurnalis yang bersenjatakan kata-kata, foto-foto sederhana itu kuolah sedemikian rupa. Kusematkan berbagai kalimat yang kuharap mampu merangkai kisah kelabu sepakbola nasional itu. Terutama di gerbang maut pada pintu 13 stadion Kanjuruhan, tempat di mana ratusan raga meregang nyawa.
Membuat konten foto yang bercerita sebetulnya bukan hal baru bagiku. Aku sudah menciptakan beberapa rangkaian narasi sebelumnya yang kuunggah di akun Instagram. Hanya saja saat konten Kanjuruhan ini kuposting, aku sempat mengalami dilema. Tepatkah yang kulakukan? Apakah aku menyuarakan kebenaran atau hanya memanfaatkan keadaan?
Konten rangkaian foto Tragedi Kanjuruhan dengan reach terbesar di Instagramku @araiamelya |
"Baru kali ini aku menangis hanya karena melihat foto. Narasinya benar-benar bikin hati sedih,"Konten narasi fotoku itu memang diunggah ulang oleh berbagai akun media Malang Raya bahkan lintas platform. Tak butuh waktu lama, Instagramku langsung dibanjiri notifikasi. Aku memperolah reach postingan terbesar sepanjang menggunakan media sosial.
"Kak, saya izin menggunakan foto-fotonya yang bercerita untuk dicetak di kaos dan poster, ya? Mau kami jual untuk donasi korban Kanjuruhan serta materi demo menuntut nasib korban,"
Namun bukan itu yang membuatku terhenyak.
Aku justru disadarkan pada fakta betapa internet memiliki kekuatan luar biasa untuk menyampaikan peristiwa.
Internet membantuku melangitkan nestapa Kanjuruhan. Memekikkan kebenaran yang seolah ditutupi oleh mereka yang memakai jubah kekuasaan. Lihat bagaimana Najwa Shihab dan Tim Narasi-nya mampu menemukan rekaman-rekaman bukti tembakan gas air mata, yang merenggut jiwa-jiwa aremania dan aremanita di Kanjuruhan?
Semua bisa terjadi berkat perantara internet.
Dan aku sangat senang bisa menjadi salah satu agen penyampai kisah itu.
Konten foto bernarasi yang kuunggah satu pekan usai Tragedi Kanjuruhan di Instagram @araiamelya |
Storynomic, Ujung Tombak Wisata Zamrud Khatulistiwa di Dunia Maya
Suku Tengger menuju kawah Bromo melakukan ritual Kasodo foto: Arai Amelya |
Alkisah pasangan sejoli keturunan Majapahit yang terusir dari tanah kelahirannya yakni Roro Anteng dan Joko Seger, lalu mendiami lereng gunung Bromo. Mereka termahsyur karena keberaniannya mengetuk hati Dewata agar segera dikaruniai keturunan, usai menikah bertahun-tahun lamanya.Ada satu hal yang membuat sektor pariwisata di Indonesia, menonjol dibandingkan tempat-tempat indah di belahan Bumi yang lain. Jawabannya adalah cerita yang membungkus tempat itu.
Permohonan memiliki 25 anak itupun akhirnya dikabulkan Sang Pemilik Mayapada. Hanya saja si anak bungsu harus dipersembahkan kepada Dewa Bromo, penguasa tempat mereka merajut asa. Sial bagi Anteng dan Seger, Kusuma anak bungsu tumbuh jadi pemuda rupawan serta cakap yang membuat cinta orangtuanya semakin besar.
Sadar akan gamang yang dirasakan orangtuanya, Kusuma mengorbankan sendiri nyawanya. Sebelum Dewa Bromo merengkuhnya dalam kawah belerang, Kusuma meminta janji para saudaranya untuk selalu memberi persembahan kepada sang Penguasa Ancala, di setiap purnama pada bulan kesepuluh, dalam penanggalan sukunya.
Permintaan Kusuma pun abadi. Menjadi titah dari generasi ke generasi suku bernama Tengger yang mendiami kaki Bromo. Janji itu menjelma sebagai ritual suci yang menjadi salah satu pesona Zamrud Khatulistiwa, bernama upacara Kasodo.
Kalian bisa menyebut banyak sekali contohnya selain cerita Roro Anteng dan Joko Seger yang jadi cikal bakal suku Tengger di Bromo, serta ritual Kasodo. Mulai dari Gunung Tangkuban Perahu yang konon merupakan letupan amarah Sangkuriang yang gagal menikahi Ibu kandungnya, Dayang Sumbi, lalu kisah si cantik Putri Mandalika yang alih rupa jadi nyale (cacing warna-warni) sebagai awal mulai tradisi Bau Nyale di Mandalika, hingga legenda Tumatenden soal Mamanua si manusia yang jatuh hati pada bidadari Lumalundung sebagai asal-usul keindahan Likupang.
Pantai Paal di Likupang, gerbang Nirwana dalam legenda Tumatenden foto: Arai Amelya |
Bahkan yang bukan kisah legenda pun juga dapat ditemui di Nusantara seperti favoritku, Danau Toba. Bagaimana ledakan katastropik mengerikan gunung purba Toba puluhan ribu tahun lalu, bisa melahirkan danau air tawar terbesar di Bumi yang sangat indah.
Tentu hal-hal itu membuat kita sepakat bahwa pariwisata Indonesia, selalu dilimpahi dengan cerita-cerita luar biasa.
Aneka cerita itu akhirnya melahirkan konsep wisata masa depan yakni storynomic tourism.
Secara mudahnya, storynomic tourism adalah pendekatan pariwisata yang fokus pada narasi, konten kreatif hingga living culture dengan kekuatan budaya sebagai DNA dari destinasi itu sendiri. Lewat konsep storynomic tourism, story telling menjadi ujung tombak bagaimana sebuah destinasi wisata mampu memikat para pelancong dari seantero dunia.
Tentu hal-hal itu membuat kita sepakat bahwa pariwisata Indonesia, selalu dilimpahi dengan cerita-cerita luar biasa.
Aneka cerita itu akhirnya melahirkan konsep wisata masa depan yakni storynomic tourism.
Secara mudahnya, storynomic tourism adalah pendekatan pariwisata yang fokus pada narasi, konten kreatif hingga living culture dengan kekuatan budaya sebagai DNA dari destinasi itu sendiri. Lewat konsep storynomic tourism, story telling menjadi ujung tombak bagaimana sebuah destinasi wisata mampu memikat para pelancong dari seantero dunia.
Desa Adat Bena di Bejawa, Nusa Tenggara Timur foto: Arai Amelya |
Dengan konsep bercerita, tempat-tempat wisata bakal semakin dikenal berkat ceritanya. Seperti Desa Adat Bena di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Saat aku berkunjung ke sana, aku tak hanya terpesona pada keagungan Gunung Inerie, tapi juga pada cerita Desa Bena yang merupakan perkampungan megalitikum dengan warga-warganya yang hidup turun-temurun memuja kehadiran Yeta, sang pelindung yang bertahta di Inerie.
Agar storynomic tourism ini bisa berjalan, dunia maya menjadi semestanya. Karena memang, para pelakunya adalah warganet (pengguna internet) yang menjelma sebagai content creator sepertiku. Baik tulisan di blog, video yang diunggah di TikTok, vlog lewat YouTube, foto bernarasi di Instagram, hingga thread khusus di Twitter, gerakan storynomic tourism dalam jumlah raksasa akan menggelinding dan menggerakkan roda ekonomi pariwisata Tanah Air.
Agar storynomic tourism ini bisa berjalan, dunia maya menjadi semestanya. Karena memang, para pelakunya adalah warganet (pengguna internet) yang menjelma sebagai content creator sepertiku. Baik tulisan di blog, video yang diunggah di TikTok, vlog lewat YouTube, foto bernarasi di Instagram, hingga thread khusus di Twitter, gerakan storynomic tourism dalam jumlah raksasa akan menggelinding dan menggerakkan roda ekonomi pariwisata Tanah Air.
Konten foto bernarasi soal Masjid Istiqlal yang kuunggah di Instagramku @araiamelya |
Dengan fakta bahwa pengguna internet di Indonesia pada Maret 2023 menurut APJII (Asosisasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) sudah mencapai 78,19%, maka artinya lebih dari 215 juta jiwa penduduk Tanah Air adalah warganet.
Angka luar biasa besar itu adalah modal terkuat negeri ini menyalakan mesin storynomic tourism.
Dan untuk bisa menerbangkan cerita-cerita dari destinasi wisata indah itu, IndiHome hadir sebagai penyedia tol langit dari Sabang sampai Merauke, hingga Miangas sampai Pulau Rote.
Tol Langit IndiHome, Jalur Utama Mengabadikan Cerita
Modem internet IndiHome foto: IndiHome Bangka |
Bicara soal IndiHome adalah bicara soal revolusi peradaban.
Aku sudah menggunakan IndiHome saat produk unggulan PT Telkom Indonesia ini masih bernama Speedy, saat aku duduk di bangku sekolah menengah. Setelah aku meninggalkan profesiku sebagai jurnalis media entertainment online, IndiHome adalah internet provider yang membuatku bisa menyentuh dunia hanya dari rumah.
Lewat internet yang disalurkan oleh IndiHome bak aliran impuls di sistem saraf tubuh kita itu, aku mampu meraih cita.
Blog menjadi platform konten yang kupilih karena aku sangat suka menulis. Membeli domain di tahun 2020, konten artikel di blog membawaku memenangkan berbagai kompetisi, termasuk menerbangkanku secara gratis ke tiga destinasi wisata luar biasa yakni Toraja Utara (Sulawesi Selatan), Mandalika (Nusa Tenggara Barat) dan Likupang (Sulawesi Utara). Sebuah perjalanan yang menguatkan tekadku sebagai traveler blogger.
Aku sudah menggunakan IndiHome saat produk unggulan PT Telkom Indonesia ini masih bernama Speedy, saat aku duduk di bangku sekolah menengah. Setelah aku meninggalkan profesiku sebagai jurnalis media entertainment online, IndiHome adalah internet provider yang membuatku bisa menyentuh dunia hanya dari rumah.
Lewat internet yang disalurkan oleh IndiHome bak aliran impuls di sistem saraf tubuh kita itu, aku mampu meraih cita.
Blog menjadi platform konten yang kupilih karena aku sangat suka menulis. Membeli domain di tahun 2020, konten artikel di blog membawaku memenangkan berbagai kompetisi, termasuk menerbangkanku secara gratis ke tiga destinasi wisata luar biasa yakni Toraja Utara (Sulawesi Selatan), Mandalika (Nusa Tenggara Barat) dan Likupang (Sulawesi Utara). Sebuah perjalanan yang menguatkan tekadku sebagai traveler blogger.
Bori’ Parinding di Toraja Utara, disebut juga sebagai Stonehenge-nya Indonesia foto: Arai Amelya |
Dari perjalananku itu, aku membuat konten-konten wisata yang kutulis di blog maupun foto bernarasi hingga video singkat di Instagram. Bahkan konten foto narasi membuatku bersinggungan dengan tragedi kemanusiaan kelam, Kanjuruhan.
Hingga akhirnya, internet juga yang membuatku menemukan secerah harapan usai mengalami kemalangan di pedalaman Kalimantan Tengah-Kalimantan Barat pada Februari 2023 silam.
Tentu masuknya aliran internet hingga kawasan pedalaman tak lepas dari upaya IndiHome sebagai internet provider kebanggaan Indonesia, melalui program 3C (Connectivity, Creativity, Charity) yang mencakup area 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal) di Nusantara.
Fakta bahwa Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan belantara pekat, menjadikan ada banyak wilayah terlupakan di negeri ini. Namun melalui WiCo (Wifi.id Corner IndiHome) yang dibangun di area-area 3T, internet bisa dinikmati semua rakyat.
Bahkan untuk area Kalimantan, Telkom Indonesia regional Kalimantan sudah merilis program IndiHome DTH (Direct to Home) dan IndiHome Sky di tahun 2016 silam. Sebagai layanan yang disediakan pada wilayah yang tak tersentuh fiber optic IndiHome, DTH dan Sky sama-sama menggunakan jaringan satelit sehingga warga pelosok bisa tetap memakai internet.
Ya, IndiHome adalah transportasi utama kita dalam melintasi tol langit.
Hingga akhirnya, internet juga yang membuatku menemukan secerah harapan usai mengalami kemalangan di pedalaman Kalimantan Tengah-Kalimantan Barat pada Februari 2023 silam.
Tentu masuknya aliran internet hingga kawasan pedalaman tak lepas dari upaya IndiHome sebagai internet provider kebanggaan Indonesia, melalui program 3C (Connectivity, Creativity, Charity) yang mencakup area 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal) di Nusantara.
Fakta bahwa Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan belantara pekat, menjadikan ada banyak wilayah terlupakan di negeri ini. Namun melalui WiCo (Wifi.id Corner IndiHome) yang dibangun di area-area 3T, internet bisa dinikmati semua rakyat.
Bahkan untuk area Kalimantan, Telkom Indonesia regional Kalimantan sudah merilis program IndiHome DTH (Direct to Home) dan IndiHome Sky di tahun 2016 silam. Sebagai layanan yang disediakan pada wilayah yang tak tersentuh fiber optic IndiHome, DTH dan Sky sama-sama menggunakan jaringan satelit sehingga warga pelosok bisa tetap memakai internet.
Ya, IndiHome adalah transportasi utama kita dalam melintasi tol langit.
Infografis IndonesiaBaik.id |
Tol langit sendiri merupakan istilah yang lebih sederhana untuk megaproyek Palapa Ring. Di mana Palapa Ring adalah jaringan kabel optik yang menghubungkan seluruh wilayah Indonesia. Seolah melanjutkan langkah Mahapatih Gajah Mada yang melakukan Sumpah Palapa untuk menyatukan seluruh wilayah Majapahit, seperti itulah Palapa Ring menyatukan Nusantara melalui internet.
Lewat tol langit yang berdenyut melalui kabel-kabel fiber IndiHome, para pembuat konten pun lahir di seantero negeri. Mereka akan saling berbagi cerita sebagai upaya mengabadikan waktu yang mampu menembus ruang, dan tentunya menggerakkan peradaban.
Kuharap, konten-konten yang kuhasilkan bersama IndiHome, akan membuatku abadi dalam peradaban umat manusia. Seperti yang sudah kalian lakukan dengan membaca tulisan panjang ini.
Panjang umur, mimpi.
Lewat tol langit yang berdenyut melalui kabel-kabel fiber IndiHome, para pembuat konten pun lahir di seantero negeri. Mereka akan saling berbagi cerita sebagai upaya mengabadikan waktu yang mampu menembus ruang, dan tentunya menggerakkan peradaban.
Kuharap, konten-konten yang kuhasilkan bersama IndiHome, akan membuatku abadi dalam peradaban umat manusia. Seperti yang sudah kalian lakukan dengan membaca tulisan panjang ini.
Panjang umur, mimpi.
Sakti mandraguna. Dua kata yang selalu lekat dengan Bandung Bondowoso, hingga akhirnya pria Kerajaan Pengging itu mampu mengambil alih banyak wilayah. Dan selayaknya kaum adam dalam berbagai masa, Bondowoso juga tersihir kecantikan perempuan lewat sosok Roro Jonggrang.
Namun Bondowoso lupa jika Jonggrang tak seperti banyak dara yang mudah takluk di kakinya. Putri mendiang raja yang dia bunuh di medan perang itu memberi syarat kelewat rumit, yakni membangun seribu candi dalam waktu satu malam. Berbekal ilmu kanuragannya, Bondowoso menerima permintaan sang calon Permaisuri dengan pongahnya.
Jonggrang tak menduga jika jin bersedia jadi kaki tangan Bondowoso, sehingga seribu candi itu hampir usai sebelum fajar terbangun. Tak ingin jatuh dalam dekapan sang penakluk, Jonggrang membakar jerami sehingga langit di sekitar kerajaan jadi jingga bak matahari telah tiba. Tipu daya Jonggrang membuat para jin tunggang langgang, sehingga hanya 999 candi yang usai padahal angkasa masih gelap gulita.
Tak terima, kesumat Bondowoso membara hingga dia mengutuk sang putri menjadi candi keseribu di kompleks bangunan berarsitektur Hindu terbesar di Indonesia, yang kini kita kenal bernama, Prambanan.
Candi Prambanan di Yogyakarta foto: Cmichel67/Wikipedia |
Sumber:
- https://kalimantan.bisnis.com/read/20160907/408/582237/tanpa-fiber-optic-telkom-tetap-bisa-pasang-indihome-di-wilayah-pelosok
- https://www.cnbcindonesia.com/tech/20230427160338-37-432799/lewat-3c-indihome-beri-perhatian-lebih-ke-daerah-pelosok
- https://www.lt-indonesia.com/projects/jokowi-resmikan-palapa-ring-telkom-ingin-pangkas-kesenjangan-digital/
- https://digitalbisa.id/artikel/storynomics-tourism-dan-dukungan-digital-3ax91
- https://apjii.or.id/berita/d/survei-apjii-pengguna-internet-di-indonesia-tembus-215-juta-orang
Merinding membacanya. Keren as always. Pantesan apik gaya menulisnya, mantan jurnalis rupanya. Blogger yang mantan jurnalis biasanya menulis dengan apik, beda dengan blogger pada umumnya, mantan jurnalis lebih detail dengan gaya menulis jurnalisme sastrawi. Layak jadi pemenang ๐๐งก๐
BalasHapus