https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Teregang Busur Anjani, Lesatkan Anak Panah ke Penjuru Indonesia

Senin, 07 Agustus 2023
Anjani Sekar Arum
Anjani Sekar Arum bersama batik karyanya foto: Rubianto/Tugu Malang
***
‘Alkisah dalam wiracarita Ramayana, 
Anjani adalah anak sulung dari Resi Gotama
di Grastina dengan bidadari Dewi Indradi. 
Parasnya yang rupawan tak hanya karena Anjani
merupakan keturunan Kamajaya saja, 
tapi konon dia adalah reinkarnasi bidadari Punjikastala.
Kecantikannya seolah disempurnakan dengan benda pusaka
pemberian Batara Surya kepada Ibunya yakni Cupumanik Astagina. 
Apa yang membuat Astagina
sangat istimewa adalah terdapat cermin di dalamnya. 
Di mana benda itu dapat menampilkan
seluruh kejadian di alam semesta, baik di bumi hingga langit tingkat tujuh’
***
Perempuan yang duduk di hadapanku ini berbagi nama yang sama dengan Ibu dari Hanoman dalam kisah pewayangan di atas.

Hanya saja Anjani Sekar Arum (32) jelas bukan reinkarnasi bidadari atau pemilik pusaka Cupumanik Astagina. Namun ketika kalian mendengarkan kisah perjalanan hidupnya, tak salah kiranya pendapatku kalau nama Anjani yang disematkan padanya begitu tepat untuk sosok istimewa yang pertama kali kukenal langsung di tahun 2020 silam.

Mundur ke masa 2013 kala dirinya masih begitu muda berusia 22 tahun, Anjani sudah dihadapkan pada dua hal yang paling didamba kaum hawa yakni mengejar cinta atau mewujudkan impian. Hasratnya lulus secara sempurna dari Jurusan Seni dan Desain di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, bertumbukan dengan pinangan dari Netra Amin Atmadi yang kelak menjadi suaminya.

Jika banyak yang berkata ketika perempuan sudah menjadi istri dan akhirnya seorang Ibu maka akan kehilangan kesempatan mewujudkan mimpinya, Anjani justru melakukan hal sebaliknya. Saat putra pertamanya yakni Anandhaka Abyasa Gondokusumo berusia enam bulan di tahun 2014, Anjani berhasil menggelar pameran tunggal untuk batik-batik hasil karyanya sendiri.

Keberhasilan ini terasa istimewa karena rumah tangga yang dijalaninya dengan Netra jelas tidaklah indah pada awalnya. Mulai dari harus mengucap Ijab Kabul di depan jenazah mertua, hingga penghasilan Netra yang hanya sebesar satu juta rupiah perbulan lantaran statusnya sebagai guru honorer.

Tapi penyesalan jelas tak pernah ada dalam hidup Anjani.

Terlahir dari keluarga seni yang mana Ayahnya dan banyak anggota keluarga lain berprofesi sebagai pelukis, Anjani justru memilih kriya batik sebagai fokus pendidikannya. Minimnya dosen yang mengajarkan bidang itu justru membuat Anjani hijrah hingga ke pusat industri batik Nusantara yakni Yogyakarta dan Solo untuk belajar.

“Karena saya adalah seorang perempuan yang dikaruniai kelembutan, saya jatuh cinta pada batik. Namun sebagai seniman yang memiliki ego dan keinginan dikenal karena ciri khasnya, saya ingin batik karya saya berbeda. Karena itulah saya memilih motif bantengan untuk batik ciptaan saya, di mana itu sangat menggambarkan budaya tempat kelahiran saya, Kota Batu,”

Seperti Michelangelo yang begitu bangga dengan Patung David atau Fresko di langit-langit Kapel Sistina sebagai mahakaryanya, Anjani pun begitu mencintai batik bantengan yang dia ciptakan.

Kendati dikenal sebagai sajian budaya yang kental dengan pakaian serba hitam dan berkesan mistis, bantengan punya makna berbeda di benak Anjani. Tak hanya karena sang Ayah, Agus Tubrun, adalah pendiri kelompok seni bantengan Nuswantara, bantengan telah membawa cahaya dalam hidup Anjani yang akhirnya membuatnya berdaya sebagai perempuan mandiri, sehingga mampu memperoleh penghasilan sendiri.
Motif-motif Batik Bantengan Anjani
Motif-motif Batik Bantengan Anjani
“Buat saya, setiap karya seni budaya punya nilai estetiknya masing-masing. Bantengan ini kan seni tradisional yang pelakunya kebanyakan kalangan menengah ke bawah, jadi identik dengan hal-hal negatif seperti mabuk-mabukan atau mistis. Karena itu lewat batik bermotif bantengan ini, saya ingin mengenalkan kalau seni yang dikemas dengan baik justru membuat siapapun jadi takjub,”

Dari rahim pemikirannya, Batik Bantengan Anjani pun terlahir dan menjadi salah satu kriya khas kota Batu bersamaan dengan suksesnya pameran tunggal yang dia langsungkan di tahun 2014.

***
‘Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, 
meskipun patah di tengah
jalan, saya akan mati dengan merasa berbahagia. 
Karena jalannya sudah terbuka
dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputera merdeka dan berdiri sendiri’ 
(RA Kartini – Habis Gelap Terbitlah Terang)
***

Satu tahun sejak pertemuan pertamaku dengan Anjani, kabar buruk kuperoleh.

Netra yang sudah menjadi suaminya hampir selama satu windu berpulang sekitar satu pekan sejak tahun 2021 dimulai.

Kepergian Netra untuk selama-lamanya memang membuat kehidupan Anjani begitu limbung. Dia tak hanya terpaksa didorong oleh keadaan menjadi seorang Ibu tunggal, tapi juga pebisnis tunggal. Belum lagi kala itu Batik Bantengan tengah dihadapkan pada omzet menurun imbas pandemi Covid-19 serta rencana jangka panjang mengenalkan Kampung Wisata Edukasi Batik Cilik di Batu.

Kepedihan menguasai Anjani kala dia dihadapkan pada situasi yang tak memiliki kunci jawaban. Sebagai perempuan alamiah baginya untuk merasa sedih dan kesepian, tapi sebagai seorang Ibu dia haruslah kuat berdiri demi buah hati.

“Waktu itu kita sempat tidak terima orderan bahkan tidak produksi sampai enam bulan lamanya. Semua DP terpaksa harus dikembalikan. Banyak orang mengira kalau Batik Bantengan Anjani sudah tidak ada, sudah bangkrut,”

Perlahan, kegelapan menjadi teman baru Anjani.

Namun dia bukanlah perempuan biasa.

Seperti seekor banteng itu sendiri yang terus berlari, Anjani selalu punya alasan untuk kembali berdiri dan menerjang kain-kain merah di hadapannya.

Kerjasama dengan Dinas Pendidikan yang sudah dia jalin sejak tahun 2018, membuat Anjani melirik asa baru yakni mengenalkan budaya batik ke lingkup yang lebih luas. Anjani tak hanya ingin dikenal sebagai produsen batik yang cuma tahu bagaimana memperoleh penghasilan dari produknya semata. Mantan guru honorer SMP Negeri 1 Batu ini ingin tinta-tinta batik yang dia lukis mengalir jauh dari kaki Gunung Arjuno.

Menjadi seorang pengajar bagi calon pengrajin batik sebetulnya bukan hal baru baginya. Sekitar setahun sejak Batik Bantengan berdiri, Anjani sudah memiliki sebuah sanggar membatik khusus anak-anak bernama Andana yang kala itu membuka kelas di dekat Alun-Alun Kota Batu. Bahkan kala itu Sanggar Andana rata-rata mampu memproduksi 45 lembar kain batik per bulan yang dijual mulai dari Rp300 ribu – 750 ribu per lembar.

Dari setiap kain yang berhasil dijual lewat Sanggar Andana, Anjani hanya mengambil sepuluh persen untuk modal produksi membeli kain atau pewarna membatik. Sedangkan sisanya? Itu adalah hak dari para pengrajin yang nantinya akan menjadi masa depan industri batik Tanah Air.
Anjani Sekar Arum di galerinya
Anjani saat mengajar membatik di galeri Batik Bantengan foto: ASTRA
“Buat saya ini adalah waktu yang tepat untuk memulai regenerasi pembatik. Waktu saya datang ke kampung batik di Jogja, mayoritas pengrajinnya itu orang-orang tua. Saya ingin apa yang sudah kita programkan di Batu ini bisa berkembang lebih luas. Karena kan di Batu sudah banyak pengusaha UMKM batik. Bahkan sejak 2018 juga sudah ada kegiatan ekstrakurikuler membatik di sekolah-sekolah SD dan SMP di Kota Batu yang memang pengajarnya dari Batik Bantengan,”

Seolah melakukan napaktilas sejarah hidupnya, Anjani memilih Yogyakarta sebagai titik awal program jangka panjang regenerasi pembatik Nusantara di akhir 2021 kemarin. Tentu butuh keberanian baginya karena Anjani bertekad melakukan revolusi di tanah asing. Beruntung ada banyak pihak yang terlibat membantunya, termasuk kala mengenalkan proyek ini ke sekolah-sekolah.

Kini di pertengahan tahun 2023, program pemberdayaan masyarakat lewat regenerasi pengrajin batik yang fokus mengenalkan kriya ini pada anak-anak sudah membina sekitar 20 pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Komunitas pembatik cilik ini bahkan mulai tersebar dari Jawa ke Kalimantan, Sumatera hingga Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur sana.

Yang menarik, komunitas pembatik cilik ini rupanya mengembangkan motif batik sesuai dengan tradisi budaya daerahnya masing-masing, seperti yang sudah dilakukan Anjani lewat Batik Bantengan. Bahkan jika batik bukan merupakan kriya khas daerah tersebut, Anjani tak menutup diri untuk melakukan regenerasi pengrajin untuk produk lain seperti kain-kain tenun yang identik dengan wilayah Indonesia Timur.

Tentu melihat Anjani saat ini, membuatku teringat pada sosok Dewi Anjani yang dikisahkan turun-temurun oleh masyarakat Suku Sasak di Nusa Tenggara Barat sana.

Berbeda dengan Anjani di kisah Ramayana, Anjani bagi masyarakat Sasak adalah sang penguasa Gunung Rinjani. Dia adalah salah satu anak kembar dari Raja Datu Tuan dan permaisuri cantik jelita bernama Dewi Mas. Jika saudaranya yang bernama Raden Nuna Putra Janjak terlahir dengan sebilah keris, Dewi Anjani ditemani anak panah.

Anak panah itu pula yang dimiliki oleh Anjani Sekar Arum.

Busur yang ada dalam genggamannya terentang dengan mata target penyebaran ke seluruh Nusantara melalui batik.
Anjani Sekar Arum mengenalkan batiknya
Anjani persiapan mengenalkan Batik Bantengan ke luar negeri foto: Anjani Sekar Arum
“Tahun 2024 nanti rencana mau buka butik di Jakarta dan menghasilkan produk-produk turunan batik. Pengrajin di Batu tetap ada, dikelola profesional karena pengrajin sudah memiliki orderan rutin sehingga omzet terjaga. Saya ini sebetulnya bukan pebisnis. Bagi saya, para pengrajin batik adalah keluarga. Saya ingin Batik Bantengan ini memberikan manfaat untuk semuanya. Bahkan sekalipun komunitas pembatik cilik ini tak memberikan untung untuk saya, saya tetap akan menjalankannya,”

Ya, tak ada kata berhenti untuk seorang Anjani.

Meskipun batik-batik karyanya sudah dipasarkan ke Ceko, Taiwan, Malaysia, Singapura dan Australia, keinginannya membawa Batik Bantengan ke Amerika Serikat masihlah tinggi. Bahkan ada satu ambisi gila yang ingin dia lakukan yakni menggelar fashion show on the sky. Di mana dia ingin mengajak atlet-atlet paralayang di Kota Batu melakukan peragaan busana di langit tanah kelahirannya, sambil menggunakan produk Batik Bantengan.

Apakah itu akan terwujud? Jelas bagiku, tak ada yang tak mungkin bagi seorang Anjani Sekar Arum.

Tiga puluh dua tahun hidupnya, dia sudah sebaik-baiknya menjadi seorang manusia dan perempuan yang penuh inspirasi.

***
‘Perempuan itu punya potensi sepenuhnya dan hak untuk mengejar mimpi. Penting bagi kita untuk menjadi perempuan yang mandiri 
dan terus berkarya, sambil tetap
menjalani kehidupan dan ikhlas dalam keadaan apapun.
Yakinlah, akan selalu ada harapan untuk perempuan pejuang’ 
(Anjani Sekar Arum)
***


Tulisan ini disertakan dalam ajang She Inspires Me by Indosat HiFi 2023 dan meraih Juara II



Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life