https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Menjadi Pemuda Paling Greenflag di Hijaunya Belantara Negeri

Rabu, 25 Oktober 2023
Waerebo - Nusa Tenggara Timur
‘Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda’ – Tan Malaka
“Gila, tiap hari orang-orang di sini dapet pemandangan seindah ini?”

Mbak Raiyani mengangguk sambil masih asyik memotret pemandangan indah di hadapan kami, seperti tidak terlalu kaget dengan kalimatku yang terdengar begitu terperangah. Wajar terasa biasa saja karena bagi traveler photographer sepertinya, perjalanan ke Waerebo mungkin sudah dia lakukan puluhan kali.

Namun bagiku, berkunjung ke Waerebo adalah salah satu wishlist yang akhirnya berhasil kuwujudkan pada tahun 2022 silam. Tepatnya di bulan November, aku singgah di salah satu desa terindah di Indonesia itu.

Berangkat dari Labuan Bajo di pagi hari, aku memang sedikit mengalami drama karena mabuk tak tertahankan ketika melintasi perbukitan di kawasan Manggarai Barat sebelum tiba di Ruteng. Aku baru benar-benar bersyukur setelah lima jam perjalanan darat kala kami akhirnya sampai di Denge. Denge sendiri merupakan batas di mana kendaraan bermotor boleh melintas karena setelah itu untuk menuju Waerebo, kita memulai dengan melangkah.

Sebagai seorang pendaki gunung abal-abal, trekking melintasi empat pos hingga tiba di Waerebo memang menyenangkan. Bahkan boleh dibilang, cukup mengingatkanku saat mendaki gunung-gunung di Pulau Jawa. Hanya saja Waerebo memiliki pemandangan yang begitu luar biasa indah, apalagi saat kalian sudah tiba di Nampe Bakok yang merupakan pos 3.

Jika di Ponco Roko yang adalah pos 2 akan melihat pemandangan Laut Sawu dari ketinggian, Nampe Bakok menyuguhkan perbukitan yang begitu hijau luar biasa, diselimuti awan-awan lembut dan rumah-rumah kerucut yang muncul dengan gagahnya.

Melihat sedikit kecantikan Waerebo membuatku semakin semangat melanjutkan perjalanan. Setelah singgah sejenak untuk sekadar membunyikan alat tambuh bambu sebagai tanda hendak masuk Waerebo, melewati kebun-kebun kopi, aku sungguh kehilangan kata-kata dengan apa yang terpampang di hadapanku.

Tujuh rumah adat berbentuk kerucut atau disebut Mbaru Niang dengan latar belakang perbukitan itu, seolah menarikku menuju dimensi lain.
Waerebo - Nusa Tenggara Timur
“Jadi ini nanti setelah jam sepuluh malam, semua penerangan mati?”

“Di dalam rumah iya kakak, tapi di luar rumah tidak, karena kami pakai listrik dari panel surya,”


Maria menunjuk ke sudut samping belakang Mbaru Niang di hadapan kami. Aku menatap ke arah yang dia tunjuk dan aku pun menemukannya. Sebuah panel surya sederhana berada di bagian puncak tiang yang ditanam setinggi atap rumah. Ternyata rumah-rumah adat di Waerebo juga memiliki panel surya yang sama.

Lokasi Waerebo yang berada di tengah perbukitan lebat memang membuat pasokan listrik sangatlah sulit. Mereka yang menghuni Waerebo pun akhirnya menggunakan dua sumber listrik yakni generator dan panel listrik. Jika generator memasok listrik dari jam 18.00 – 22.00, maka listrik yang disimpan panel surya bertanggung jawab untuk penerangan bagian depan rumah adat selepas pukul 22.00 hingga pagi.

Aku terdiam. Menatap panel-panel surya mungil itu dengan takjub. Sekali lagi, desa yang berada di tengah belantara ini mengajarkanku.

Membuktikan bahwa mereka yang jauh dari hingar-bingar ibukota, dibalut oleh berbagai keterbatasan, justru jauh lebih bisa berdampingan dengan alam

Menggunakan sumber-sumber energi terbarukan, semangat Waerebo itu bisakah sampai ke kita, orang-orang kota?

Mimpi Panjang itu Bernama Bioenergi

PLTS Likupang
PLTS Likupang sumber foto: Liputan6
Bicara soal panel-panel surya yang digunakan oleh masyarakat adat Waerebo, memang membuatku teringat pada ladang panel surya yang pernah kulihat langsung di Likupang, Sulawesi Utara. Sebagai anak Jawa yang terbiasa dengan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), melihat bagaimana listrik dihasilkan oleh sumber-sumber energi terbarukan, tentu sesuatu yang menarik.

Meskipun memang sebetulnya sudah ada PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di pulau Jawa. Seperti PLTS CCA di Cikarang Barat yang konon atap panelnya terbesar di Asia Tenggara, hingga PLTS Cirata di Kabupaten Bandung Barat yang menjadi PLTS terapung terbesar di Asia dengan lahan seluas 200 hektar.

Hanya saja aku baru pertama melihat panel-panel surya PLTS berjajar adalah di PLTS Likupang yang berada di Desa Wineru, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara pada tahun 2022 silam. Saat berada di sana, kalian bisa melihat lebih dari 64 ribu panel surya dipasang begitu rapi di atas ladang sinar matahari seluas 29 hektar.

Ya, luar biasa luas. Luar biasa menakjubkan melihat bagaimana panel-panel surya itu tampak siap ‘memanen’ energi matahari.

Dengan keunggulan tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca dan juga polusi udara selama beroperasi, PLTS jelas mampu mengurangi dampak perubahan iklim. Sebuah kelebihan yang tidak bisa dilakukan PLTU dengan bahan bakar utamanya adalah batu bara. Di Indonesia sendiri, PLTU memang masih menjadi pemasok aliran listrik utama. Bahkan berdasarkan data Global Energy Monior, hingga akhir semester I tahun 2023 ada 234 unit PLTU dengan kapasitas lebih dari 45,3 gigawatt di Tanah Air.

PLN sebagai perusahaan negara yang mendistribusikan listrik ke seluruh negeri bahkan memperoleh pasokan listrik hingga 45,44% dari PLTU.
Emisi batu bara terbesar di dunia
Tak heran kalau akhirnya Indonesia menjadi negara keenam dengan emisi PLTU batu bara terbesar di dunia pada tahun 2022 silam yang mencapai 214 juta ton setara CO2. Indonesia menjadi negara Asia Tenggara satu-satunya masuk dalam 10 negara emisi karbon terbesar. Tak berlebihan pula kalau ternyata PLTU terbesar di ASEAN bisa ditemukan di negeri kita tercinta yakni tepatnya di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.

Kalau sudah begini, bisakah kita lepas dari ketergantungan penggunakan batu bara yang merupakan energi fosil dan memicu global warming itu?
‘Penggunaan energi fosil di Indonesia masih mendominasi hingga 2050 dan ini sesuai KEN (Kebijakan Energi Nasional). Kebutuhan EBT (Energi Baru Terbarukan) hanya sebesar 31% di periode yang sama. Dari total energi fosil sebesar 69%, pembagiannya adalah batu bara (25%), minyak bumi (20%) dan gas alam (23%)’ – Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto (CNN Indonesia, 2022).
Pekerja PLTU memperlihatkan biomassa
Pekerja PLTU memperlihatkan biomassa foto: PLN
Benarkah asa untuk energi hijau masih jadi mimpi panjang di Indonesia?

Apakah mungkin target pencapaian EBT hingga 23% di tahun 2025 bakal terwujud?

Indonesia sendiri memilih bioenergi sebagai salah satu kebijakan EBT demi meninggalkan ketergantungan energi fosil. Hanya saja, apakah bioenergi itu benar-benar ‘bersih’?

Sekadar informasi, bioenergi adalah sumber energi alternatif yang berasal dari organisme biologis atau bahan organik. Jenis sumber energi yang dihasilkan oleh bioenergi adalah biofuel (biodiesel, bioetanol), biogas dan biomassa (serpihan kayu, residu pertanian atau biobriket).

Dalam pertemuan online ‘Semangat Orang Muda Menjaga Bumi Indonesia’ yang kuikuti bersama rekan-rekanku Eco Blogger Squad pada 20 Oktober 2023 lalu, Amalya Reza Oktaviani selaku Program Manager Trend Asia mencoba menjelaskan penerapan bioenergi di Indonesia yang masih menuai pro-kontra.

Tak lain karena pemerintah masih menggunakan teknik co-firing di 54 PLTU. Co-firing sendiri adalah pencampuran batu bara dengan biomassa seperti HTE (Hutan Tanaman Energi), limbah pertanian atau perkebunan, limbah industri hingga sampah rumah tangga. Hanya saja ternyata co-firing tak ubahnya sebagai solusi palsu atas energi ramah lingkungan karena tetap menghasilkan emisi karbon.
‘Dalam dokumen kontribusi nasional yang ditetapkan, co-firing butuh sembilan juta ton biomassa untuk menghasilkan listrik. Awalnya biomassa memanfaatkan limbah, tetapi kemudian berubah dan bergantung pada HTE sebesar 80%. Kalau sudah begini, berapa banyak hutan yang harus dikonversi?’ – Amalya Reza Oktaviani.
Skenario itu jelas sangat buruk dan justru malah menggiring negeri ini ke tindakan deforestrasi, emisi karbon dan perampasan tanah milik masyarakat adat.

Lantas, di mana sustainable-nya?

Menjadi Pemuda yang Selalu Mengeluh Perubahan Iklim

Kebakaran gunung Merbabu 2023
Kebakaran Gunung Merbabu pada Oktober 2023, imbas krisis iklim sumber foto: Aloysius Jarot Nugroho/ANTARA
Tentu mendorong pemakaian energi alternatif yang ramah lingkungan kepada pemerintah serasa cukup sulit digapai oleh kalangan muda seperti aku, kamu dan kalian semua.

Tapi ini tak boleh dijadikan alasan kita untuk menyerah pada isu climate change (perubahan iklim).

Anak muda entah kalian milenial atau gen Z, justru bisa jadi agen perubahan untuk mencegah krisis iklim yang kini makin menjadi. Salah satu yang bisa terbilang sederhana juga didengungkan oleh Food Sustainesia lewat gerakan Eathink. Menurut Genoneva Jaqualine Wijaya selaku CEO Eathink yang kebetulan juga hadir dalam pertemuan online itu, Eathink memiliki tujuan besar membantu generasi muda lebih selektif dalam memilih makanan yang berkontribusi dalam ekosistem berkelanjutan.

Ada cukup banyak isu pangan yang disinggung oleh Eathink demi meningkatkan kesadaran dan pengetahuan kalangan muda supaya lebih bijaksana saat memilih pangan yang dikonsumsi. Dalam konsep keberlanjutan pangan itu ada tiga pilar utama sebagai fokus Eathink yakni:
  • Pertanian Berkelanjutan: Pemahaman atas tingginya emisi karbon pada lahan pertanian, ancaman penggunaan lahan produktif hingga deforestrasi
  • Tantangan Gizi: Keterjangkauan pangan sehat yang berkelanjutan serta malnutrisi ganda baik gizi yang kurang atau gizi berkelebihan
  • Sampah Makanan dan Pemborosan Makanan: Tantangan memangkas jumlah sisa makanan yang sangat tinggi di tingkat rumah tangga, bahkan lebih banyak daripada bisnis makanan
Menurut gerakan Eathink ini, makanan memberikan kontribusi emisi GRK (Gas Rumah Kaca) hingga 52,3 miliar ton setara COz di tahun 2010 silam. Artinya, sepertiga dari emisi GRK di Bumi disebabkan sektor makanan. Tak heran kalau sudah saatnya anak-anak muda mulai penting pahamnya pangan berkelanjutan.
data foodwaste di seluruh dunia
Selain Eathink, gerakan perlawanan krisis iklim lewat solusi berkelanjutan juga dilakukan oleh komunitas SKELAS (Sentra Kreatif Lestari Siak). Cerli Febri Ramadani yang hadir sebagai narasumber adalah Ketua dari SKELAS yang melalui pemikirannya, memicu generasi muda lintas sektor untuk saling bergotong royong melahirkan solusi kreatif Siak Hijau berbasis ekonomi lestari, sebagai inkubator dan akselerator.

Bersama SKELAS, Cerli dan rekan-rekannya mendukung ekonomi kreatif lestari di Kabupaten Siak yang memang fokus pada pelestarian lingkungan dan keberlanjutan.

Tak main-main, SKELAS bahkan sudah memberikan sejumlah dampak kepada lingkungan dan lini sosial di sekitarnya seperti inovasi produk lokal minuman nanas berkualitas di lahan gambut yang mencengah karhutla (kerbakaran hutan dan lahan), hingga proses produksi Puan Pina yang melibatkan mitra kebun petani-petani lokal yang berkolaborasi dengan kelompok tani perempuan.

Ada juga pemanfaatan bekatul yang merupakan tepung sisa olahan padu, menjadi bahan bolu kemojo sehingga nilai ekonominya meningkat.
Kegiatan dan produk SKELAS
Kegiatan dan produk SKELAS
Tentu saja melihat gerakan-gerakan seperti Eathink hingga komunitas SKELAS, harapan untuk sebuah perubahan pada krisis iklim memang kini dibebankan pada anak muda. Generasi muda bukanlah mereka yang cuma tahu media sosial saja, tapi merupakan kunci utama bagaimana nasib Bumi ini bakal dibebankan.

Generasi muda adalah mereka yang berani lantang bicara dan mengeluh soal perubahan iklim. Di mana melalui keluhan-keluhan itu, lahir pemikiran dan sebuah gerakan kecil yang meskipun sederhana, mampu menyelamatkan usia Bumi.

Lantas, apakah kalian juga mau menjadi pemuda paling greenflag di seantero negeri?

Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life