https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Yang Tidak Kita Bicarakan Saat Kita Bicara Soal Film Pendek

Selasa, 14 Mei 2024
Fesbul 2024
Seorang filmmaker asal Selandia Baru, Jane Campion, yang kebetulan juga peraih dua Oscar untuk THE PIANO (1993) dan THE POWER OF DOG (2021) pernah berkata bahwa keindahan film pendek terletak pada kemampuannya untuk menggugah perasaan, sekaligus memotong langsung ke hati penonton.

Bagiku yang seorang muggle dalam dunia film, pernyataan itu jelas akan sangat kuamini.

Ada banyak sekali film-film pendek yang mampu bertahan cukup lama di dalam otak dan hatiku, karena ceritanya memang sekuat itu. Sungguh ajaib mengingat film-film tersebut hanya berdurasi kurang dari 30 menit. Tentu dibandingkan dengan sejumlah film panjang apalagi kelas blockbuster yang tayang di bioskop dan mampu mengeruk jutaan penonton, serta merajai chart OTT, film pendek memang terkesan sangat ‘cupu’.

Bahkan dari segi komersil, film pendek terlihat tidak memiliki kemampuan selayaknya ‘saudara tua’ mereka si film-film panjang.

Namun, ada banyak cerita film pendek yang mampu mengubah masa depan para penulis skenario dan sutradaranya. Membuat film pendek menempati posisi tepat di bawah film panjang, bahkan unggul jauh jika dibandingkan proyek-proyek sinetron, FTV-FTV hingga series. Coba kalian ikut beberapa pitching proyek film, para penyelenggara akan jauh lebih mewajibkan dan mengutamakan sematan link atau daftar kredensial calon peserta yang pernah membuat film pendek.

Di ranah Hollywood, sutradara George Lucas berhasil menarik perhatian Steven Spielberg lewat film pendek bergenre dystopian sci-fi miliknya yakni ELECTRONIC LABYRINTH THX 1138 4EB (1967). Sutradara kaliber Oscar seperti Martin Scorsese juga mengawali langkahnya lewat film pendek berjudul THE BIG SHAVE (1967). Nama lain bahkan menghasilkan film pendek jauh lebih ekstrem seperti Christopher Nolan lewat DOODLEBUG (1997) yang merupakan film bergenre psychological thriller dengan durasi tiga menit saja.

Daftar ini jelas akan semakin panjang, apalagi kita belum membahas para filmmaker berkualitas asal Indonesia yang ‘terlahir’ berkat film pendek. Seolah membuktikan betapa powerful-nya film pendek.

Keajaiban Film Pendek yang Didengungkan Fesbul

Fesbul 2024 di Malang
Kegiatan Fesbul Lokus DKI Jakarta & Jawa Timur di Malang 3-5 Mei 2024 foto: dokumentasi pribadi
Sebagai orang yang gagal masuk IKJ (Institut Kesenian Jakarta) karena orangtua yang miskin, yha kalian tahu berapa besar biaya sekolah di IKJ, aku pernah berharap suatu hari bertemu dengan para mahasiswa di sana. Rasanya bisa terlibat obrolan, melihat mereka membicarakan sebuah film denganku, menjadi salah satu keinginan babu yang entah bisa terwujud atau tidak.

Kenapa begitu?

Karena aku hidup cukup jauh dari dunia film.

Aku memang mengenal film dari Ayahku yang begitu menggilai film-film mafia Hong Kong dan kolosal Tiongkok, tapi selebihnya, film hanya menjadi tontonan bagiku, bukan kehidupan. Pernah bekerja di KapanLagi.com dan saat ini menjadi content writer utama di website salah satu instansi negeri ini, praktis aku menyentuh film hanya di jam-jam kosongku saja. Aku tak pernah berpikir kalau film akan ‘mempersuntingku’ suatu hari nanti.

Namun pandemi Covid-19 mengubah segalanya.

Semua dimulai di tahun 2021 saat aku mendaftar kelas skenario online ke produser dan sutradara asal Makassar, Ichwan Persada. Aku yang benar-benar tak paham apa itu premise, logline, scene plot hingga 8 sequence mendorong kemampuanku lebih jauh.

Singkat cerita di tahun 2022 aku mendapat proyek skenario pertama untuk sebuah mini series di YouTube yang dipesan salah satu brand minyak telon. Setahun kemudian, keberuntungan berpihak padaku saat aku memperoleh tawaran dua judul FTV dari Vision+ dan berhasil memasuki final round alias 11 finalis terbaikse-Indonesia untuk program penulisan skenario series, SCENE Masterclass 2023, yang digelar Kemenparekraf.

Mengerikan bukan bagaimana film bisa membawaku?

Hanya saja kejutan pertama justru datang di tahun 2024 saat ide cerita KEPATEN OBOR yang kuusung di SCENE Masterclass 2023, terpilih sebagai satu dari 20 proposal film pendek yang didanai penuh oleh Indonesiana TV.

Ya, kali ini film pendek memanggilku.

Jujur, aku benar-benar buta dengan film pendek.

Bagiku, membuat film pendek jauh lebih sulit daripada membuat film panjang. Bahkan kerendahan diriku berpikir kalau hanya mereka yang menempuh pendidikan film saja mampu menghasilkan film pendek. Manusia-manusia ‘luar’ sepertiku, tak akan bisa membuat film pendek. Film pendek adalah seni yang tidak bisa kusentuh lebih dalam.

Namun Fesbul berhasil mengubah pikiran sempitku itu.

Bertajuk Festival Film Pendek Bulanan, aku mengenal Fesbul berkat ajakan temanku yang kebetulan adalah sutradara film pendek fenomenal MAKMUM (2015), Riza Pahlevi. Saat mendaftar dan melihat kalau harus menyematkan informasi komunitas, aku sempat berpikir untuk mundur. Karena sejauh ini, aku sama sekali tidak pernah bergabung dengan komunitas film apapun. Duniaku sungguh dikelilingi oleh orang-orang yang tidak terlibat dengan film mulai dari keluarga, teman sekolah, rekan kerja sehari-hari, bahkan sahabat terdekat.

Aku benar-benar tak pernah membuat film pendek, kecuali KEPATEN OBOR yang saat aku mendaftar Fesbul 2024 untuk Lokus DKI Jakarta & Jawa Timur, baru memasuki tahapan pra-produksi oleh Indonesiana TV.
Fesbul 2024 di Malang
Deck DERMOLEN untuk Fesbul 2024 foto: dokumentasi pribadi
Menggunakan template pitch deck yang kumodifikasi dari SCENE Masterclass 2023, aku mengajukan ide berjudul DERMOLEN, sebuah cerita iseng yang lahir dari pikiran gelapku. Kemudian, aku menghadiri Fesbul yang digelar di Malang pada awal Mei 2024 ini. Dengan sangat clueless, aku bergabung bersama 20 peserta lain. Mereka adalah produk-produk yang sudah terlibat proyek film pendek, bahkan ada juga kalangan elit lulusan IKJ dan ISI, atau mahasiswa dengan dosen yang sering membuat film pendek.

Ada sedikit rasa minder dan gugup yang kualami. Bisakah aku terlibat dalam pembicaraan mereka? Apakah ideku tidak terdengar memalukan? Sanggupkah aku mengikuti materi yang diberikan oleh Irfan Ramli, Reza Fahri dan Abdul Manaf? Bahkan ketiga nama itu harus ku-google terlebih dulu di hari pertama Fesbul, karena aku baru mendengarnya.

Mungkin memang seperti itulah gambaran industri film pendek dari kacamata orang luar sepertiku. Mereka terlihat begitu eksklusif, sangat asing dan hanya bisa ditembus jika kalian memang benar-benar punya passion ke dunia film.

Passion, Roots, Movement.

Dibandingkan film panjang, akses untuk menonton film pendek memang tidak biasa. Beberapa film pendek yang kusukai seperti LEMANTUN (2014), WEI (2016), JEMARI YANG MENARI DI ATAS LUKA-LUKA (2019), GEORGIA (2020), sampai LAUT MEMANGGILKU (2021) dan DEAR TO ME (2021), baru bisa kutonton saat mereka menggelar screening online terbatas ketika berkompetisi di festival internasional.

Karena itulah terlibat dalam Fesbul sangat membuatku girang karena akhirnya untuk kali pertama aku bisa menonton film-film pendek yang memukau seperti NEGERI MALING (2008), JODILERKS DELA CRUZ, EMPLOYEE OF THE MONTH (2017), KEMBALILAH DENGAN TENANG (2018), WILD SUMMON (2023), sampai KELOMPOK PENERBANG ROH (2023).

Bagiku yang adalah perwakilan awam yang dibesarkan oleh OTT, film bioskop dan TV, kelima judul itu berhasil membuka pemikiranku soal keajaiban film pendek. Durasi yang singkat membuat ceritanya terjalin lebih tajam. Sebuah bukti kalau film pendek memang mampu membuat filmmaker bertutur lebih bebas, persetan dengan segala konsep third act yang ada. Canvas sempit itu mampu melukis kehidupan lebih benderang, sehingga tak berlebihan kalau film pendek adalah akar dari industri film itu sendiri. Karena selayaknya akar tumbuhan yang berada di bawah tanah, dia begitu kuat dan kokoh menopang meski tak dimandikan cahaya.

Passion, Roots, Movement.

Kalau ada hal terakhir yang aku sukai selama mengikuti Fesbul, mungkin itu adalah sesi 101 mentoring hingga final pitching. Duduk di depan Irfan Ramli yang ternyata menulis skenario SURAT DARI PRAHA (2016), LOVE FOR SALE (2018) dan JJJLP (2023), mendengarkan masukan Reza Fahri sang sutradara/penulis KEMBALILAH DENGAN TENANG, hingga menguatkan mental di hadapan Abdul Manaf, sang founder Fesbul itu sendiri, adalah kesempatan once in lifetime.

Bahkan bisa pitching dan membuat mereka mendengarkan DERMOLEN dari awal hingga akhir, adalah sesuatu yang tak bisa kudapatkan setiap hari. Fesbul bisa mewujudkan keajaiban-keajaiban kecil itu, sehingga tanpa sadar menggerakkan diriku pada sesuatu yang lebih besar. Keinginan untuk terlibat lebih jauh dalam industri film pendek dan mampu menghasilkan sebuah judul untuk bisa ditonton orang lain, menjadi sikap yang kupilih saat ini.

Mungkin hal itu terdengar begitu muluk atau sekonyol saat Naruto sesumbar dia ingin jadi Hokage di usia 12 tahun. Tapi bagiku, harapan mungil itu akan menjadi sebuah gerakan yang sangat besar dalam hidupku. Kendati aku memang memulainya dengan cukup terlambat.

Passion, Roots, Movement.

Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life