https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Asal-Usul Kata Lonte: Kumbang Kelapa, Gundik dan Jadi Trending

Senin, 16 November 2020

kata lonte

"Abuse is abuse; Be nice.. Harsh words don't break bones but they often break hearts." ~ Joseph Simmons

Hayo ngaku, siapa di antara kamu yang udah mengernyitkan dahi saat membaca kata lonte?

Apakah menurutmu saya akan ikut-ikutan ngebahas sese-seleb yang sedang berseteru dengan pemuka agama?

Tidak sheyenk.

Postingan ini sama sekali tidak membawa-bawa masalah selebritis yang terjerat perseteruan dengan sebuah ormas. Yah, memang saya akui pembahasan ini terinspirasi dari kata lonte yang sempat begitu rame beberapa terakhir. Namanya juga usaha yekan, maklum blog baru.

Nggak masalah kan saya nyebut kata lonte?

Apa ada di antara kamu yang cukup alergi mendengar kata tersebut?

Bagaimana kalau saya ganti dengan pelacur, PSK (Pekerja Seks Komersial), kupu-kupu malam, ayam kampus atau gundik? 

Masih terdengar kasar dan tidak sopan dibaca sekaligus diucap?

Saya tidak menyalahkan. Karena memang sederet kata-kata di atas memiliki kesan negatif. Menggambarkan sebuah kondisi yang melanggar norma dan sebuah bentuk perilaku asusila. Kata-kata negatif entah lonte, pelacur, gundik, atau yang lain you-name-it, memang dianggap tabu sama seperti umpatan kasar.

Namun yang menarik, kata-kata yang berkesan negatif itu dan melanggar asusila itu justru muncul dalam banyak sekali karya seni entah film bahkan lagu. Salah satunya bahkan sangat populer yang dinyanyikan oleh musisi legendaris negeri ini.

Yap, Kupu-Kupu Malam milik Eyang Titiek Puspa.

Menyibak Asal-Usul Kata Lonte yang Sedang Populer

Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, kata lonte yang sekarang sedang sangat viral ini memang memiliki kesan yang sangat negatif. Bahkan menurut Wisnu Sasangka selaku Peneliti dan Penyuluh Badang Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, kata ini tidak pantas untuk mengisi komunikasi di ruang publik.

Dilansir Suara, Wisnu menegaskan bahwa istilah lonte berasal dari ejaan dalam bahasa Jawa yakni lonthé yang memang berarti pelacur. Selain lonte, ada juga genggek, tarigu, balon dan tlembug yang kerap dipakai masyarakat Jawa.

Saya sebagai perempuan turunan Minang-Jawa, cukup asing dengan genggek, tarigu atau tlembug, tapi tak bisa menampik bahwa pernah mendengar balon dan lonte. Yang percayalah, jika saya ucapkan maka Ibu atau Ayah saya bakal langsung mendelik marah.

Sementara itu di dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) versi online, lonte juga muncul dan semakin menegaskan kesan negatifnya karena bermakna perempuan jalang, wanita tunasusila, pelacur dan sundal. Tidak berbeda jauh dengan gundik.

Baca juga: Berkunjung ke Istana Pagaruyung, Replika Sejarah Abadi Suku Minangkabau

Kata Lonte Berasal Dari Serangga?

Ada satu hal yang unik sebelum akhirnya kata lonte identik dengan perempuan 'nackal'. Dalam kamus bahasa Jawa karya W.J.S Poerwadarminta yang berjudul Baoesastra Djawa (terbitan 1939), lonthé justru adalah nama seekor serangga yang mirip kumbang. Dimana lonthé merupakan wangwung kecil yang adalah hama pada tanaman kelapa.

wangwung si kumbang tanduk hama kelapa
wangwung si kumbang tanduk hama kelapa
Masyarakat Jawa Tengah sering menyebut wangwung ini dengan nama othé-othé, tapi penduduk Jawa Timur di masa lampau memanggil serangga ini sebagai lonthé. Kumbang berwarna coklat ini kerap muncul di waktu senja dan adalah hewan nocturnal alias hidup di malam hari. Kebiasaan si lonthé adalah mengelilingi cahaya atau api sambil mengeluarkan bau harum.

Karena wanita tunasusila identik keluar di malam hari, menggunakan parfum aroma semerbak dan gemar berada di tempat-tempat gemerlap untuk dugem, diyakini sebagai cikal bakal penyebutan mereka menjadi lonthé, mirip si hama kelapa.

Masyarakat Jawa sebetulnya bukan kali ini saja memiliki istilah-istilah ajaib yang akhirnya digunakan dalam peradaban populer. Bahkan beberapa di antaranya sangatlah kasar di masa kini, justru dulu merupakan hal yang biasa.

Sebut saja seperti sontoloyo (penggembala bebek), germo (pemburu harimau) hingga bajingan (kusir gerobak). Bahkan ada juga ciblek yang kini dianggap singkatan dari cilikan betah melek, merujuk pada sosok gadis-gadis ABG labil yang sering nongkrong di tepian jalan, menanti untuk di-booking pria hidung belang, seperti dilansir Suara.

Duh, Gusti...

Bahasa Minang Juga Mengenal Lonte

Lebih lanjut, sejarah kata lonte rupanya juga tak hanya menjadi dominasi masyarakat Jawa saja. Penduduk Minang konon juga mengenal istilah lonte ini dalam beberapa dialek bahasa daerah mereka, dan memang bermakna sangat negatif yakni seorang pelacur.

Dijelaskan oleh Prof. Gusti Anan selaku sejarawan Sumatera Barat dalam bukunya yang berjudul Sejarah Minangkabau, Loanwords dan Kreativitas Berbahasa Urang Awak terbitan tahun 2020, kata lonte diambil dari bahasa Belanda yang terdiri dari dua kata yakni lonn (upah) dan tje (kecil/disayang).

Lonntje lambat laun pun disebut dengan lonte, yang jika sesuai artian katanya, bisa diterjemahkan bebas sebagai seseorang yang diberi upah dan disayang. Istilah pelacur ini mulai ramai dipakai di tanah Minang pada abad ke-19 hingga abad ke-20, saat penjajahan Belanda sedang meradang di Tanah Air.

Seperti sebuah profesi yang menggerakkan roda ekonomi masyarakat, perempuan-perempuan penghibur ini justru memiliki rumah bordil khusus dan harus terdaftar. Mereka bahkan mempunyai catatan medis dan mendapat perawatan kesahatan, lantaran bisa digunakan untuk menemani pejabat kolonial yang sedang butuh kasih sayang.

Baca juga: 8 Drama Korea Tentang Kesehatan Mental yang Wajib Kamu Tonton!

Lonte dan Gundik, Apakah Sama?

Jika membahas soal kata-kata yang menggambarkan perempuan nakal, lonte bukan satu-satunya yang populer. Selain lonte, ada juga gundik yang kebetulan juga pada tahun 2019, sempat sangat populer berkat skandal heboh yang melibatkan maskapai penerbangan plat merah.

Lagi-lagi kalau merujuk pada KBBI, lonte dan gundik sama-sama berakar pada satu kata yakni pelacur yang berarti perempuan yang melacur (berbuat lacur/melakukan hubungan seksual demi uang). Sinonim dari kata pelacur adalah wanita susila dan sundal. Tunasusila sendiri diartikan sebagai perempuan tak memiliki susila atau bisa disebut juga sebagai lonte dan gundik.

Namun yang menarik, jika kata gundik ditelusuri sendiri, memiliki dua makna yakni istri tidak resmi alias selir serta perempuan peliharaan (istri gelap). Gundik pun identik dengan praktik pergundikan yang ramai terjadi di masa kolonial, dimana perempuan yang disebut sebagai gundik menjalin ikatan di luar hubungan pernikahan dengan seorang laki-laki.

Asep Kambali selaku sejarawan sekaligus pendiri Komunitas Historia Indonesia kepada Kumparan menjelaskan bahwa gundik adalah istilah untuk perempuan yang dikawin tapi tak dinikahi. Istilah gundik muncul setelah praktek perbudakan hilang di abad ke-18.

Antara Gundik, Nyai dan Pelakor
konon merupakan gambar sosok gundik di masa kolonial © istimewa
konon merupakan gambar sosok gundik di masa kolonial © istimewa

Dirasa terdengar sangat buruk, pergundikan pun memunculkan istilah baru yakni Nyai. Dalam buku Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda yang ditulis Reggie Bay rilisan tahun 2010, kata Nyai diyakini berasal dari bahasa Bali.

Menurut penulis sejarah kolonial asal Belanda itu, sebutan Nyai jadi sangat populer saat banyaknya perempuan-perempuan Bali menjadi budak dan gundik orang-orang Eropa sekitar abad ke-17. Dua abad kemudian, orang Eropa yang menjajah Indonesia justru semakin menghina para Nyai itu dengan menyebut mereka sebagai inlandse huishoudster (pembantu rumah tangga).

Sebutan itu sendiri didasarkan bahwa meskipun para Nyai ini mengurusi urusan rumah tangga laki-laki kulit putih, derajat mereka tidaklah setara. Nyai harus patuh pada perintah tuannya dan cuma sekadar pemuas nafsu. Bahkan ketika jabatan sang tuan sudah usai dan kembali ke Belanda, Nyai si gundik akan diserahkan ke pejabat baru yang menggantikannya, seolah-olah seperti barang saja. 

Nyai Ontosoroh, Gundik Simbol Perjuangan

Meskipun gundik tak ubahnya kata lonte yang memiliki kesan negatif, sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer justru menjadikan gundik sebagai 'jantung' dari Tetralogi Pulau Buru, lewat sosok Nyai Ontosoroh. Sejatinya jika kamu cukup menggemari karya-karya Pram, tentu sepakat bahwa peran Ontosoroh bisa dianggap lebih kuat daripada Minke, meskipun dirinya tak secantik si Bunga Penutup Abad, Annelies Mellema itu.

Ontosoroh digambarkan sebagai perempuan keras hati yang nantinya menjadi mentor Minke dalam mengungkapkan kegelisahan demi kegelisahan dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, di masa penjajahan Hindia-Belanda. Mulai dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, kita bisa melihat perjuangannya membalikkan penderitaan menjadi sebuah perjuangan.

adegan Nyai Ontosoroh di film BUMI MANUSIA
adegan Nyai Ontosoroh di film BUMI MANUSIA

Siapakah sosok yang menyuruh Minke untuk menulis?

Nyai Ontosoroh.

Siapakah orang yang berani menikahkan Annelies dengan Minke?

Nyai Ontosoroh.

Siapa juga yang tetap membiayai sekolah Minke sekalipun Annelies sudah meninggal?

Nyai Ontosoroh.

Pram begitu cerdik memperlihatkan keteguhan dan perjuangan seorang perempuan sekalipun dirinya dianggap durjana oleh masyarakat. Sang Nyai yang bernama asli Sanikem ini tak mau hanya menjadi perempuan simpanan pemuas nafsu pria saja, tapi justru ingin menjadi seorang pejuang dalam perlawanan relasi kuasa, memperjuangkan ketidak adilan yang memang identik dengan kehidupannya.

Meskipun Sanikem ini adalah tokoh fiktif, saya tak bisa tidak menghormatinya. Saya selalu menganggap Nyai Ontosoroh sebagai contoh perempuan Jawa yang hidup tidak menjadi seonggok daging di muka bumi ini. Sebuah bukti feminisme tanpa tedheng aling-aling!

Prostitusi dalam Rekaman Kamera Film

Kembali lagi, saya tak bisa menampik kalau kata lonte mau diucap dengan nada seperti apapun, tetap bakal berkesan negatif. Tak berbeda jauh dengan gundik yang selalu memberikan kesan tak baik, sekalipun tak semua Nyai hidup berkalang ranjang saja.

Sejatinya, kesan negatif ini memang tak lepas dari hasrat paling purba dari manusia, yakni mengenai urusan seksual. Bicara soal urusan seksual, film sebagai media budaya paling populer (selain lagu), justru paling sering membahas soal hal ini. Tak hanya fokus pada kata lonte saja, dunia prostitusi bahkan begitu seksi untuk digarap.

PRETTY WOMAN
PRETTY WOMAN (1990)
Sosok PSK dalam film yang pertama kali saya tonton adalah PRETTY WOMAN (1990). Salah satu film romantis klasik terbaik yang kebetulan sangat digemari Ayah saya ini bercerita mengenai Vivian Ward (Julian Roberts), PSK yang disewa pebisnis tajir bernama Edward Lewis (Richard Gere) untuk jadi pendampingnya, tapi malah terjerat cinta.

MEMOIRS OF GEISHA
MEMOIRS OF GEISHA (2005)
Ingin menonton sosok lonte yang lebih berkelas? Ada MEMOIRS OF GEISHA (2005) yang adalah salah satu film favorit saya. Dalam film arahan Rob Marshall ini, kamu akan melihat kecantikan Gong Li, kehidupan Geisha yang adalah wanita penghibur dengan keahlian di bidang seni, sekaligus perjuangan Chiyo (Zhang Ziyi).

Lalu, apakah ada film yang membahas kata lonte dan dunia prostitusi berkualitas dari Indonesia?

Tentu saja ada dong!

Dan ini bukanlah film esek-esek yang tidak punya cerita menarik selain cuma memperlihatkan buah dada itu.

Rekomendasi saya adalah LOVELY MAN (2011). 

LOVELY MAN
LOVELY MAN (2011)
Berbeda dengan film-film tentang dunia prostitusi lainnya, LOVELY MAN fokus pada kisah Cahaya (Raihaanun) yang mencari Ayayhnya, Syaiful alias Ipul (Donny Damara), Syaiful pergi meninggalkan Cahaya saat dirinya masih berusia empat tahun, dan kini menjadi seorang PSK transgender di Taman Lawang, Jakarta. 

Baca juga: Cerita Si Gembul, Kucing Sembuh Dari Virus Panleukopenia

Dan Kata Lonte, Tentu Akan Tetap Menjadi Sebuah Identitas Negatif

Kembali lagi pada pembahasan kata lonte. Meskipun sudah dipaparkan dengan sangat panjang lebar bahwa kemungkinan kata itu berasal dari seekor kumbang hama kelapa, tetap saja dalam perkembangannya lonte tidak memiliki hal yang bagus sedikitpun. 

Kendati lonte juga bisa disebut sebagai gundik, masuk dalam budaya-budaya populer entah buku, novel, lagu sampai film, kata lonte seolah tidak akan pernah bangkit dari kasta terbawah.

Bahkan di masa kini, lonte tidak hanya menjadi julukan untuk perempuan penghibur dan PSK saja, tapi justru kerap dilontarkan untuk sosok perempuan genit yang mungkin mempunyai pekerjaan bergengsi, hanya saja perilakunya tidak dapat memuaskan sebagian orang. 

Kalau sudah begini, siapakah yang justru mempermalukan dirinya sendiri? Si pengucap atau obyek dari kata lonte?


Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life

  1. Kalau wang wung ini sering lihat mbak rumahku kan di pegunungan jadi hewan-hewan gini sering lihat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah, kalau di tempatku sudah sulit kak nemuin wangwung. Boro-boro wangwung, pohon kelapa aja udah banyak yang ditebangin jadi perumahan

      Hapus
  2. Ternyata kata kata lonte itu asal usulnya malah seperti itu ya ka, bahkan diberbagai daerah pun beragam maknanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget kak. Tapi saya justru kagetnya ternyata ada kaitannya dengan kumbang yang dijuluki lonthe. Karena jujur, meskipun saya tinggal di Jawa, nggak pernah tahu ada kumbang disebut lonthe mwkwkkw. Mungkin Jawa saya kurang ke pelosok ya?

      Hapus
    2. Iya ka, ternyata malah kumbang ya bahass jawanya lonthe bukan kupu-kupu juga 😁

      Hapus
  3. Edukasi baru nih, aku gak pernah benar2 mencari tau darimana asal kata lonte itu yang awalnya ku pikir itu bahasa daerah

    BalasHapus
  4. Laaaa, balon itu sama dengan lonte? Bahasa dari daerah mana itu mba?

    Ya ampuuun, saya baru tahu lonthe itu serangga si kumbang kelapa. Wkwkwk. Perumpamaannya sih persis emang. Kumbang kelapa keluar menjelang malam hari, menarik perhatian lawan jenis dengan cara meneluarkan bau harum khas.

    Praktik pergundikan di Indonesia zaman kolonial dulu kurang lebih sama ya seperti di Jepang. Saya pernah menonton film Silence, yg main Andrew Garfield. Salah satu yang disoroti di sana adalah perempuan gundik milik pejabat lama diserahkan sebagai istri atau pelayan pejabat baru. Jadi seperti warisan gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di beberapa kota Jawa Timur kayaknya mbak, terutama yang logatnya cenderung 'kasar'. Tingkat negatif balon sama dengan lonte, anak2 kecil bakal ditampar kalau ngomong itu hahaha.

      Orang2 zaman nenek saya, sering nyebut itu. Saya bahkan denger pertama itu balon, bukan lonte untuk penjelasan pelacur.

      Iyes bener, hampir sama pergundikan di era Shogun dengan kolonial di Indonesia ya. Bagus itu SILENCE mbak, pergulatan sunyi seorang martir, saya belajar banyak soal penyebaran Kristen di Jepang lewat film itu.

      Hapus
  5. Whuaaah, pemaparan yang panjang untuk sebuah kata. Sebuah kata dalam bahasa daerah atau bahasa asing memang sering diserap menjadi bahasa Indonesia. Pengetahuan baru nih bagi aku tentang kata lonthe dan teman2nya.

    BalasHapus
  6. Baca kata gundik langsung inget Nyi Ontosoroh deh emang. Dan baru tau kalo lonthe itu kumbang kelapa yang keluar malam hari. Trus germo itu pemburu harimau. Germo pemburu lonthe wkwkwk.
    Sebuah kata dengan pemaparan yang panjang, detail dan membuka wawasan sekali. Good job kak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tumpang tindih ya kak. Kebiasaan orang Jawa mungkin, menyebutkan sesuatu dengan yang menyerupainya, hehe. Makasih udah dibaca, L!

      Hapus
  7. Jangan kasar kak wkwkwk
    Btw aku baru tahu loh kasus yg ada lonte2nya itu. Astaghfirullah. Emang yaa mulutmu harimaumu.
    Jadi jejak digital yg engga akan terlupakan.

    BalasHapus
  8. Woalah ternyata asal usul kata yang satu ini banyak juga ya kak, dan mulanya dari hewan hama kelapa, aku bilangnya kumbang sih itu ehehe, padahal cuma mirip yak. Bener juga, gundik pun heboh di 2019. Tapi perumpamaannya memang nyambung sih ya dengan pekerjaan kupu-kupu malam. Makasih nih aku dapet wawasan soal asal muasal kata tersebut :)

    BalasHapus
  9. Hey, Arai!

    ya ampun, aku baru tau loh ini, ternyata memang sebutannya beda-beda ya. asal ususlnya sendiri juga seumur-umur baru tau, haha.. Eh tapi itu lucu lho, ada nama makanan, othe-othe, hihi..

    BalasHapus
  10. Judul ini mengandung clickbait, hehehehe..salam kenal mbak arai temannya mbak Jihan ya. Aku suka nama blognya. Mencerminkan sosok perempuan sepertinya senang bertualang, tangguh. Akhirnya artikel ini menjadi penutup bacaanku di sore hari. menarik ulasannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaah, memanfaatkan yang lagi viral ya mbaak. Bener, aku temennya J. Makasih udah mampir yah. Yuk kapan2 travelling bareng

      Hapus
  11. Ternyata panjang banget asal muasal lonte ya. Aku baru ngeh juga itu bahasa jawa. Lonthe emang gak asing di telinga memang terasa umum sebutan itu. Tapi kalau istilah lainnya dari bahasa jawa itu aku baru tau juga. Padahal aku turunan jawa juga.

    BalasHapus
  12. kok baca artikel ini jadi nostalgia jaman kecil dulu. Emang ada benernya kata "tersebut" sering diucapkan oleh orang-orang untuk memanggil kumbang kecil di hutan dengan sedikit lumeran cabe hijau di beberapa batang pohon yang besar.

    Kemudian setelah berkumpula jadi satu, langsung deh sikat masukkin ke dalam kranjang besar. Setelah sampai rumah lalu digoreng tanpa minyak di atas wajan. Em..rasanya seperti anda menjadi robocop, sumpah enak banget!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, jadi dulu sempat jadi pemburu 'lonthe' dong, haha? Kedengaran ambigu yak. Baru tahu lho aku kalau ternyata kumbang2 gini bisa dimakan. Kalau aku dulu pas di kampung almarhum nenek, cuma sering makan laron gitu. Nggak ngerti kok suka, tapi sekarang kalau ketemu dan disuruh makan pasti ogah

      Hapus
  13. Kaget loh waktu baca judulnya hehe.. dan yang unik memang ternyata lonte berasal dari serangga? Hehe.. nah kalo aku dengar kata gundik jadi ingat cerita si Dewi Ayu di novel Eka Kurniawan yang judulnya Cantik itu Luka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, Cantik itu Luka salah satu karya Eka yang saya sukai selain Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Lengkap sih di novel itu, gundik iya, pelacur iya. Dewi Ayu yang jadi Jugun Ianfu di rumah Mama Kalong, Ma Iyang yang dijadikan gundik. Tapi memang lebih fokus ke kisah pelacuran. Novel itu bikin saya sadar, kalau mungkin perempuan yang 'kotor' tidak selamanya sosok lemah dan menyerah pada keadaan. Mungkin saja juga punya prinsip kayak Dewi Ayu, meskipun tidak membenarkan pilihan hidupnya

      Hapus
  14. Aku baru tau nih asal usul kata lonte. Ternyata setiap daerah pun berbeda maknanya ya. Makasih tulisannya jadi tau tentang lonte 😊

    BalasHapus
  15. Kalo di sunda, aku sering denger telembug sih, tapi kalo tarigu itu biasanya namanya lain dari terigu, hihi. but, makasih yaa mba arai, udah nyeritain asal usul kata lonte dgn sumber2nyaa, jadi wawasan baru nih.

    eh iya, saya baru tahu nyai itu adalah panggilan utk wanita malah juga pas nonton film ini, dulu soalnya saya tahunya nyai itu adalah panggilan untuk istrinya kyai nih. di buku ada penjelasan tentang ini ga kak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ooh ternyata telembug ini ada di Sunda ya kak Ghin? Info baru nih.

      Kalau setahu saya, Nyai yg bermakna gundik ini dipakai di periode kolonial sih. Dalam perkembangannya, berbagai daerah di Jawa juga sering nyebut Nyai sebagai istri Kiai, atau penghormatan kepada perempuan yang dituakan atau lebih hebat (kekuatan mistik/spiritual).

      Hapus
  16. Baca artikel "lonte" ini hehe serasa menambah wawasan dari perspektif banyak ragam budaya/bahasa daerah yang beragam. Jadi makin bersyukur dengan indahnya bahasa daerah walau memiliki makna berbeda dan untuk kata yang sama. :D lonte..oh...lonte

    BalasHapus
  17. Trrnyata betawal dari nama serangga kelapa nokturnal yang suka mengelilingi cahaya dan mengeluarkan wangi walau terus saja sebutan lonte nggak pernah naik kasta.

    Senang bisa mampir ke mari dan dapat pengetahuan baru

    BalasHapus
  18. Istilah per gundul an ternyata byk bgt ya mbak hihi

    Baru tau juga asli klo lonthe nama sejenis serangga. Di terapkan di dunia nyata kata lonthe kesannya kuasaaarr bgt

    BalasHapus
  19. Wah selama ini saya berpikir lonte itu yah julukan ntuk perempuan bakal ternyata makanya luas dan punya asal usul yah. Emang kata ini pernah tren di Twitter bbrp hr yang lalu

    BalasHapus
  20. Di lingkungan saya (jawa) ini memang sebutan kasar banget, saya pertama kali mendengarnya malah dari obrolan teman-teman sebaya. Saya hanya tau secara sekilas, jika itu berarti negatif. saya baru tau disini klo sejarahnya panjang ya ternyata.. hehe. thanks mbak

    BalasHapus
  21. Wah unik topik pembahasannya Mom, hihihiii, dan keren juga berani ngambil topik ini. Karena postingan ini, saya khusus mencari kata lonte dalam KBBI dan ternyata terdaftar dalam KBBI loh, heheheee. Thank you infonya Mbakk.

    BalasHapus
  22. Waaawww...sbnernya luas bgt ya soal kata2 dgn makna itu ya mba, jujur ku ga penah ucapain kata "lonte" dan ini kali pertama saya menulisnya, hahaha

    BalasHapus
  23. Menikmati bacaan serius tapi ringan aslinya, apalagi dijabarkan ke penjelasan film jadinya seru banget mba hahaha. Ternyata lonte ini bisa merambah ke mana-mana, dari buku, film, bahkan perseteruan.

    BalasHapus
  24. Baru tahu lho asal-usul kata tersebut. Btw Kak Arai kalau nulis lengkap analisisnya. Bahasanya juga asyik. Keren! Berapa lama waktu yang dibutuhan untuk menulis sepanjang dan serunut ini kak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berapa lama ya kak Tri, lumayan lama kok 2 jam kayaknya. Itu kebantu karena memang lumayan ngerti Nyai Ontosoroh dan film2 aja sih, yang bikin lama riset kata lonte itu benernya

      Hapus
  25. Kamu sudah nonton film apa aja neng. pembendaharaan film kamu buanyak banget..kalah aku. keren bisa mendifiniskan kata lonte dalam berbagai versi. siapa sih yang nyuruh kamu nulis begitu rinci dan detail begini? nyai ontosoroh juga kah? 🤔

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maklum pengangguran tuna asmara kak, jadi banyak waktu kosong buat nonton terus dan berceloteh deh doal lonte mkwkw

      Hapus
  26. Mantab banget mbak Arai. Saya baru tau lho kalau kata itu berasal dari Hewan. Mencerahkan dan informatif banget sih tulisannya.

    BalasHapus
  27. Selain Lovely Man, film-film diatas sudah pernah saya tonton dan memang sudut pandangnya menarik soal lonte yang kemarin sempat rame.

    Yang mungkin perlu diulas lagi dari salah satu film nasional adalah Ca Bau Kan, cuma saya belum nonton jadi gak bisa berkomentar hehe

    Mantap ulasannya kak Arai. Aktual dan tajam khas jurnalis :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak, CA-BAU-KAN adalah salah satu film Indonesia paling capek yang pernah saya tonton. Konspirasinya, intriknya, konfliknya banyak hahaha.

      Kebetulan saya juga udah nonton, filmnya nggak hanya soal Cabaukan atau pergundikan aja, tapi sampai kemerdekaan Indonesia, persaingan bisnis juga.

      Nggak saya masukin soalnya waktu itu niatnya kasih cerita tentang lonte yang berbeda, hehe. Pelacur transgender

      Hapus
  28. Ulasannya mbak atau bikin penasaran.

    Wajib ini ntn lovely man... Kayaknya sarat makna

    BalasHapus
  29. Selalu belajar yang baru nih kalau mampir ke blog Kak Arai.
    Sekarang jadi tau kalau si Kumbang apa sih namanya itu, atau Othe othe ternyata yang memberikan inspirasi buat lonte karena muncul di malam hari dan wangi.

    Belum lagi rekomendasi film yang bikin saya penasaran, Lovely Man. Sepertinya film yang mengharu biru.

    BalasHapus