https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Menoreh Tinta Budaya dari Kaki Gunung Arjuno

Rabu, 30 Desember 2020

batik Bantengan Anjani

Tahun 2013 tidak akan pernah dilupakan oleh Anjani Sekar Arum (22). Di saat perempuan seusianya sibuk merangkai cita-cita pada jenjang akhir bangku kuliah, Anjani dihadapkan pada dua hal yang sangat penting dalam hidupnya, cinta dan mimpi.

Keinginannya lulus secara sempurna dari jurusan Seni dan Desain di Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang harus menemui rintangan. Anjani saat itu sedang begitu bersemangat mengerjakan skripsi dan memenuhi mimpinya untuk menggelar pameran batik hasil karyanya sendiri. Bukan tanpa alasan kenapa luapan semangat Anjani sangat menggelora. Karena baginya, batik yang dia hasilkan ini adalah sebuah mahakarya. Seperti Picasso yang begitu bangga dengan Guernica, atau da Vinci dengan Mona Lisa-nya, begitulah yang ada di benak Anjani lewat lembar demi lembar batik hasil tangannya.

Di usianya yang masih sangat muda kala itu, Anjani membuat keputusan berani. Kenapa tidak memegang erat-erat cinta dan impian daripada harus melepaskan salah satu?

Dan langkah itulah yang tertulis dalam sejarah hidupnya. Saat masih berstatus sebagai mahasiswi semester akhir, Anjani menerima pinangan sang kekasih, Netra Amin Atmadi. Bukan pernikahan biasa, tapi sebuah kebahagiaan yang terselubung duka. Air mata Anjani harus mengalir di hari bahagianya itu karena dirinya menikah di depan jenazah sang mertua.

Berhasil memegang cinta dalam hidupnya, Anjani siap untuk kembali menarik tali mimpinya. Namun sepertinya Tuhan memiliki rencana lain ketika menitipkan makhluk kecil di dalam rahimnya, sebulan setelah pernikahan. Sekali lagi, Anjani harus memilih apakah ini waktunya berhenti dan menyerah atau justru melaju lebih kencang?

Anjani jelas memilih yang kedua.

Sembilan bulan mengandung, Anjani pun mendapatkan status sebagai seorang Ibu ketika Anandhaka Abyasa Gondokusumo terlahir. Melahirkan saat masih menulis skripsi dan kondisi keuangan rumah tangga buruk karena sang suami hanya menjadi guru honorer, tentu bukanlah situasi yang diharapkan Anjani. Penghasilan satu juta Rupiah per bulan dari sang suami haruslah bisa memenuhi seluruh kebutuhan sang buah hati. Namun meskipun dalam kondisi yang cukup tertekan, Anjani menolak melepas tali mimpinya. Bahkan ketika ada tawaran untuk beasiswa S2 dan menjadi dosen, Anjani pun sama sekali tak bergeming dan tetap menatap mimpinya itu.

Tepat ketika putra kecilnya berusia enam bulan di tahun 2014 kala itu, Anjani membuktikan kalau dirinya adalah manusia pilihan. Buah ketekunan, mental baja dan cinta yang sangat besar membuat Anjani bisa menyelesaikan skripsi sekaligus menggelar pameran tunggal batik Bantengan, karya yang menjadi mimpinya selama ini.

Dan pameran tunggal batik Bantengan itulah, yang menjadi awal dari pintu-pintu baru yang siap dibuka Anjani dalam kehidupannya.

Perjalanan 300 Kilometer ke Barat

Galeri Batik Bantengan Anjani di Bumiaji
Galeri Batik Bantengan Anjani di Bumiaji © Anjani Batik Gallery

"Saya lahir di keluarga seni. Bapak dan banyak anggota keluarga lain adalah pelukis. Karena itu saya suka melukis. Tapi sebagai seorang perempuan yang dikaruniai kelembutan, saya jatuh cinta dengan batik," cerita Anjani (29), membuka pembicaraan panjang kami siang itu, ketika hujan deras mengguyur Dusun Binangun, Desa Bumiaji, Kota Batu, tempat Anjani berkarya.

Pengakuan Anjani itu bikin saya terdiam. Kadang memang kita bisa jatuh cinta dengan alasan yang sederhana.

Namun perjuangan Anjani dalam mempertahankan hal yang dia cintai itu tidaklah sesederhana alasannya.

Memilih kriya batik sebagai fokus pendidikannya, Anjani harus gigit jari karena tidak ada dosen yang cukup ahli mengajarinya batik. Namun hal itu tidak dijadikannya sebagai alasan untuk berhenti. Anjani justru makin melaju untuk merengkuh apa yang dia mimpikan itu. Jika memang kampus tak memberi ilmu, Anjani bisa mencari ke tempat lain.

Menempuh perjalanan lebih dari 300 kilometer dari Batu, Anjani akhirnya tiba di Yogyakarta dan Solo, sentra industri batik Indonesia. Uang sekitar Rp6 juta dia keluarkan dari kantong pribadinya hanya untuk belajar teknik pewarnaan batik. Namun Anjani pantang hanya belajar satu resep teknik pewarnaan saja. Dipasangnya mata dan telinga baik-baik dalam pengembaraannya itu. Anjani 'mencuri' sebanyak mungkin resep pewarnaan dari para perajin di industri batik, dan dikunci baik-baik di benaknya.

Setibanya kembali di Batu, Anjani langsung mempraktekannya. Harapan tinggi untuk sukses lewat sekali percobaan pun membuncah di jiwa mudanya. Namun alih-alih berhasil, semua usaha otodidak Anjani gagal dan membuatnya kehilangan cukup banyak kain. Kegagalan itu tak hanya membebani mental, tapi juga fisiknya yang harus berulang kali menggosok lantai dan bak kamar mandi yang terkena pewarna batik.

Hanya satu yang menjadi alasannya untuk bertahan dan tidak mau menyerah, rasa cintanya yang luar biasa pada batik dan dunia seni itu sendiri, yang mengalir deras di dalam nadi-nadi tubuhnya.

Cahaya dari Kegelapan Seni Bantengan

Anjani dan batik-batik Bantengan karyanya
Anjani dan batik-batik Bantengan karyanya © PT Astra International/Anjani Batik Gallery

"Setiap seniman itu punya ego sendiri, kita semua pasti ingin punya ciri khas. Saya ingin melakukan sesuatu yang baru. Bukan hanya di Batu atau Jawa Timur, tapi Indonesia. Karena itulah saya memilih kepala banteng sebagai motif batik saya,"  cerita Anjani dengan mata berbinar di ruang tamu yang dipenuhi kain-kain batik Bantengan.

Tentu saja binaran pada sepasang mata Anjani itu bermakna kontradiktif bagi saya. Apalagi kalau mengingat pengalaman saya beberapa kali melihat pertunjukan seni Bantengan yang lebih berkesan kelam, gelap dan mistis.

Sebagai anak asli Jawa Timur yang besar di kawasan Batu dan Malang, pertunjukan seni Bantengan seringkali saya lihat di event-event karnaval. Biasanya para peraga akan mengenakan kostum serba hitam dan bergerak di balik kostum banteng. Diiringi musik tradisional dan aroma dupa yang menyeruak hidung, adegan-adegan silat bantengan akan semakin intens seiring dengan suara pecutan sang pendekar.

Tak jarang para peraga yang berpasangan mengenakan kostum banteng sampai berlompat dan menggelinjang tidak waras. Bahkan yang bertopeng singa atau kera, seringkali sampai memakan sesajian sambil kesurupan.

Namun bagi Anjani, seni Bantengan tidaklah pernah terasa gelap di matanya. Seni itu justru yang menjadi cahaya, penerang jalannya untuk menelusuri mimpi bersama lembar demi lembar kain batik karyanya. Bahkan sang Ayah, Agus Tubrun, adalah pendiri dari kelompok budaya Bantengan, Nuswantara.

"Saya selalu berusaha melihat nilai-nilai estetik pada setiap budaya. Bantengan adalah seni milik rakyat yang hampir selalu pelakunya adalah kalangan menengah ke bawah. Selama ini orang selalu mengira Bantengan itu menakutkan, mabuk, mistis dan dianggap negatif. Padahal sebuah seni yang dikemas dengan baik, justru akan membuat takjub. Hal ini yang membuat saya mengenalkan Bantengan dalam kain batik," lanjut Anjani.

motif-motif batik Bantengan Anjani
motif-motif batik Bantengan Anjani © Anjani Batik Gallery

Selayaknya seekor banteng yang tak akan berhenti berlari hingga menabrak kain merah sang matador dan terus berulang, begitu pula tekad perempuan berkulit sawo matang ini. Di saat banyak pengrajin batik di Kota Batu memilih sayur-sayuran dan buah sebagai motif batiknya, kepala banteng justru menarik hati Anjani untuk menjadi motif utama dari batiknya.

Tak heran kalau akhirnya Walikota Batu saat ini, Dewanti Rumpoko, yang pada tahun 2014 menghadiri pameran tunggal pertama Anjani sebagai Ketua Dekranasda Kota Batu, meresmikan batik Bantengan sebagai motif batik khas dari Batu.

Tinta yang Mengalir dari Desa Suci Warisan Majapahit

"Galeri saya ini dibuka bebas untuk umum, siapapun bisa belajar. Semua proses produksi terbuka, tidak ada yang ditutupi. Ada 42 orang pekerja di galeri mulai dari usia muda sampai 50 tahunan. Setengah di antaranya warga sekitar Bumiaji sendiri," lanjut Anjani sambil berkeliling ruang produksi batiknya.

Sabtu siang itu tak banyak pekerja, hanya ada seorang pemuda berusia 19 tahun sendirian sedang mewarnai selembar kain berwarna putih. Tio namanya. Pemuda lulusan SMK PGRI 2 Malang itu ternyata adalah keponakan Anjani yang memang sangat gemar melukis. Dia sempat mengajak saya untuk ikut mewarnai desain yang dibuat dengan lilin pada selembar kain berukuran 2,4 meter itu.

Tio sedang mewarnai kain batik Bantengan
Tio sedang mewarnai kain batik Bantengan

Seperti yang dituturkan Anjani, ada cukup banyak kain batik yang menumpuk di sudut ruangan produksi. Musim hujan memang membuat proses produksi batik terhambat sehingga belum mencapai tahapan fiksasi dan penjahitan di rumah rekanan. Enam tahun perjalanan batik Bantengan, karya yang awalnya puluhan ini memang sudah berkali-kali lipat peningkatan produksinya.

Meskipun memang selama pandemi Covid-19 ini, omzet bisnis yang biasanya setiap bulan menyentuh Rp50 juta langsung anjlok Rp10 juta, itu bukanlah masalah. Anjani memilih melihat ke sisi lain. Karena kapasitas produksi yang menurun tak perlu diratapi dengan pilu, tapi yang penting seluruh pengrajinnya tetap bisa hidup. Bahkan dirinya tak pernah menganggap menjadi seorang pemilik yang cuma bisa duduk menghitung uang hasil penjualan. Anjani masih turun ke ruang produksi setiap harinya, menggambar desain di lembar demi lembar kain, sama seperti saat masih duduk di bangku kuliah bertahun-tahun lalu.

"Saya bukan seorang pebisnis. Bagi saya, para pengrajin batik Bantengan adalah keluarga. Mereka bisa diajak susah dan juga senang. Selama pandemi ini profit sering minus, tapi kita semua berjalan sama-sama. Tidak ada yang namanya bos, semua setara. Saya memang owner, tapi saya bukanlah tukang perintah," lanjut Anjani sambil menemani saya berjalan memotret beberapa kain batik Bantengan yang sudah dibuat menjadi ikat kepala, tas hingga sepatu itu.

kain batik selesai dilukis
kain batik selesai dilukis
Semua karya yang dipajang di galeri batik milik Anjani ini tampak menggambarkan betul prinsipnya dalam membangun usaha. Dimana menurutnya, inti dari proses membatik itu adalah perasaan. Inti itulah yang juga dia jadikan pondasi dari usahanya selama enam tahun ini. Anjani mencoba menjaga perasaan setiap orang yang terlibat dalam batik Bantengan miliknya. Karena dia percaya, ketika semua menjaga perasaan satu sama lain, lilin dan cat lukis yang ditorehkan di lembaran kain itu akan hidup dan tampak memiliki jiwa. Karena ketika perasaan sang pembuat batik terluka, batik Bantengan hanyalah akan menjadi sebuah lembaran kain yang tidak istimewa.

Anjani Sekar Arum mungkin bukanlah Dewi Anjani dalam kisah Ramayana.

Reinkarnasi bidadari bernama Punjikastala sekaligus ibu dari Hanoman itu memiliki Cupu Manik Astagina yang jika dibuka bisa membuatnya mengetahui segala peristiwa di langit dan bumi. Namun Anjani yang duduk di depan saya ini juga sudah mengetahui dengan pasti apa peristiwa yang ingin dirangkainya di masa depan.

"Saya ingin batik Bantengan ini lebih bermanfaat ke warga sekitar. Saat ini kami sedang mengembangkan kampung wisata agar masyarakat bisa merasakan dampak dari karya saya. Bumiaji adalah desa pelosok yang memiliki keindahan alam luar biasa. Saya ingin masyarakat Bumiaji jadi lebih berkembang. Tidak hanya menanti warisan peninggalan orangtua, tapi berupaya menjadi pribadi yang lebih kreatif untuk dirinya dan generasi mendatang," jelas Anjani panjang lebar.

Mendengarkan keinginan tulus Anjani itu, saya jadi ingat sejarah Bumiaji. Desa ini pernah memiliki status penting bagi Kerajaan Majapahit yakni sebagai salah satu wilayah suci. Berada di lereng pegunungan Arjuno-Welirang, Bumiaji sangat kaya dengan hasil bumi hortikultura sejak masa kuno. Bahkan pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk (1350-1389 Masehi) hingga Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (1486 Masehi), Majapahit memutuskan Bumiaji menjadi salah satu daerah perdikan, yakni wilayah mandiri yang bebas dari pajak.

Kini ratusan tahun berlalu, Bumiaji masihlah menjadi desa yang kaya akan hasil buminya. Tuhan sepertinya sangat mencintai Bumiaji sehingga melimpahkan banyak obyek wisata. Disebutkan ada setidaknya 21 titik wisata yang menjadikan Bumiaji sebagai desa dengan atraksi pelancong terbanyak di Malang Raya. Namun dari puluhan titik wisata itu, tak ada obyek wisata kesenian.

produk yang dijual di galeri batik Bantengan Anjani
produk yang dijual di galeri batik Bantengan Anjani

Hal inilah yang membuat Anjani membuka pintu selebar-lebarnya untuk siapapun yang ingin berkenalan dengan batik di galerinya. Karena dirinya memang tidak menjual kain batik, melainkan nilai dari batik itu yang siap dia delegasikan. Bahkan Anjani tidak merasa tersaingi ketika murid-muridnya ada yang membuka usaha batik sendiri. Karena bagi Anjani, batik Bantengan hanyalah berasal dari 'rahimnya' dan akan selalu menjadi 'anak kandungnya'.

Melalui sebuah niat tulus yakni melestarikan budaya, tinta batik Bantengan itu mengalir deras dari kaki Arjuno. Bahkan ketika ada grup-grup kesenian Bantengan asal Batu sedang tampil di kota lain, kostum-kostum yang dipakai entah ikat kepala atau lembaran kain batik yang tertikat di tubuh para pendekar dan pemain alat musik, sudah dihiasi motif kepala banteng. Taiwan, Ceko, Malaysia, Singapura dan Australia adalah negara-negara yang pernah disinggahi batik Bantengan, bukti kalau mimpinya semasa muda itu sudah menemukan tempat berlabuh yang tepat.
 

Pintu Baru yang Diawali Pelapor Misterius 

Seperti segala sesuatu yang dikerjakan dengan hati, Anjani dengan tegas mengakui bahwa enam tahun perjalanan batik Bantengan tak pernah sekalipun memberikan duka. Dia bahkan membebaskan produk-produknya dijual dengan harga lebih mahal oleh para penggiat seni Bantengan, yang mana keuntungan akan dimanfaatkan kembali ke kelompok-kelompok Bantengan di Kota Batu.

Salah satu momen bahagia yang dia dapatkan selama membesarkan batik Bantengan inipun terjadi pada tahun 2017. Di tengah kesibukannya mengajari anak-anak kecil membatik di galeri lamanya yang berlokasi di kawasan Ngaglik, tengah Kota Batu, Anjani dihubungi panitia SATU Indonesia Awards yang memberitahu bahwa dirinya menjadi salah satu Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards 2017, untuk kategori Kewirausahaan.

Anjani Sekar Arum meraih SIA 2017
Anjani Sekar Arum meraih SIA 2017 © PT Astra International
Anjani bersama tujuh pemuda lainnya terpilih dari 3.234 pemuda menginspirasi di seluruh pelosok Indonesia. Penghargaan ini jelas sangat penting bagi batik Bantengan yang akhirnya makin kokoh menapakkan langkahnya menjadi salah satu batik khas negeri ini. Yang menarik, hingga saat ini Anjani tidak pernah tahu siapakah orang yang telah mengajukan dirinya untuk memperoleh penghargaan dari PT Astra International itu.

"Saya dari dulu itu jarang mengikuti kompetisi-kompetisi apapun. Jadi penghargaan dari Astra itu murni didapatkan dari orang lain karena sampai sekarang, saya tak tahu siapa yang mendaftarkan," kenang Anjani sambil tersenyum.

Namun bagi Anjani, SATU Indonesia Awards lebih dari sekadar piala penghargaan. Anjani tahu bahwa Astra memiliki tujuan seperti mimpinya yakni sama-sama Semangat Majukan Indonesia. Tiga tahun setelah meraih penghargaan itu, Astra tetap mendampinginya untuk membimbing pada pintu baru impiannya, menjadikan Bumiaji menjadi kampung batik Bantengan untuk Indonesia.

Dengan tujuan barunya yang begitu jelas, Anjani siap melangkah dengan pasti. Mungkin saja bagi masyarakat Bumiaji di masa depan nanti, Anjani Sekar Arum dan kecintaan luar biasanya terhadap batik Bantengan, adalah sang 'dewi' di lereng Arjuno. Sama seperti Dewi Anjani yang oleh masyarakat Lombok dianggap sebagai si cantik penguasa gunung Rinjani.

 

Tulisan ini diikutsetakan dalam Lomba Blog Anugerah Pewarta Astra 2020: Semangat Majukan Indonesia #KitaSATUIndonesia


Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life

  1. Hai kak Arai, tulisannya mengalir banget dan bikin ngga terasa sampai akhirnya di penghujung cerita. Sentuhannya detail banget.
    Baca kisah ini membuat saya jadi penggemar Anjani nih. Melihat bagaimana perjuangan beliau merintis usaha ini. Jatuh bangunnya melestarikan dan membuat kepala banteng menjadi lebih unik sebagai motif batik. Mengambil motif kepala banteng yang terkesan mistis dikemas dengan torehan tinta cantik adalah pilihan tepat. Karena kepala banteng juga dekat dengan kebudayaan bantengan masyarakat di sana.
    Semoga niat tulus beliau melestarikan budaya batik bantengan bisa diijabah dan diteruskan kepada generasi penerusnya, pun mimpi kak Arai.

    BalasHapus
  2. Terharuuuuu.
    Anjani dewasa bangettt. Seusianya waktu itu aku kayaknya sibuk sama cinta yang bahkan nggatau mau hidup seperti apa. Yg penting hidup bahagia sama pemuda impian. Karena kebanyakan nonton drakor kayaknya.
    Jadi berkaca juga baca ini, Anjani bikin saya menatap kembali mimpi masa kecil. Sudah melakukan apa saja untuk mimpi itu 😭😭😭😭
    Kok jadi pengin mewek yaaaaa.
    Selamat mba Anjani❤️

    BalasHapus
  3. Kalau baca di penghujung tahun kayak gini semacam tulisan perjalanan yg seru banget. Apalagi sosok Anjani sedari usia dini sudah dewasa banget yaaa, duh jadi malu sama diriku yg masa-masa muda kebanyakan galaunya wkwk

    BalasHapus
  4. Baca kisah Anjani serasa baca novel!
    Saya sampai scroll lagi ke atas untuk meyakinkan yang saya baca ini masih blog...
    Mengalir banget Ka Arai nulisnya, kereeeeeen!

    Sosok Anjani merupakan sosok wanita yang kuat, tidak pasrah akan stereotip wanita yang terbatas mengembangkan mimpinya.

    "Kalau bisa meraih dua-duanya, kenapa harus memilih salah satu?"

    Jadi terbawa semangatnya Anjani 💪🏻

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setujuuu banget kalau menulisnya ngalir. Bahkan, berasa aku ada di dalam alur yang diceritakan kak Arai. Simbol banteng di dalam setiap goresan motif batik, beneran menjadi pembeda nih dari batik-batik yang lain yang pernah aku temukan.

      Bagus pula pilihan warnanya.

      Hapus
  5. Anjani muda ini berani berspekulasi dengan impian masa depannya ya. Daaan terbukti keputusannya yang membawanya hingga sukses ya.

    BalasHapus
  6. Perempuan yang inspiratif banget yaaa beliau, satu hal yang patut diteladani adalah gak menyerah sama mimpinya

    BalasHapus
  7. Aku baca sampai akhir baru ngeh, maksud batik Bantengan. Ternyata batik dengan motif banteng. Keren banget, semoga udah diajukan hak ciptanya yah. Kagum ama semangat membaranya seperti banteng. Sukses terus mb Anjani...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kebetulan sudah diajukan mbak, hak cipta batik bantengan milik mbak Anjani. Karena itu beliau tidak khawatir dengan pesaing atau peniru motif batiknya. Karena batik Bantengan berasal dari seorang Anjani Sekar Arum

      Hapus
  8. Salut dengan semangat belajarnya Anjani. Saat ingin fokus pendidikan kriya batik namun tidak ada dosen yg mumpuni, ia beralih ke sentra seni batik di Jogja ya

    BalasHapus
  9. keren! hidupnya naik turun bak rollercoaster. pas di semester akhir, ada saja halangan. namun beliau tak putus asa dan terus maju melangkah. kondisi berbadan dua pun tak membuatnya bermalas2an, justru kian bersemangat menyelesaikan semuanya. hasilnya bs terlihat kini, batik luar biasa kebanggaan jawa timur

    BalasHapus
  10. masyaAllah mba anjani, luar biasa ya Mbak. Terima kasih sudah menceritakan pengalaman yang laur biasa dan menginspirasi. Semoga kita semua bisa menjadi pribadi yang bersemangat seperti beliau.

    BalasHapus
  11. Sebuah perjuangan yang tidak mudah dari Mbak Anjani. Semoga pelapor yang tidak diketahui itu mendapatkan kemudahan juga dalam hidupnya karena sudah memudahkan Anjani menggapai mimpinya

    BalasHapus
  12. Keren kisahnya keren tulisanya. Bener-bener ya. Rezeki emang tak akan kemana buat orang baik. Mbak Anjani yang produknya boleh dijual lebih mahal sama orang2 akhirnya dapat rezeki dari arah lain. Dapat SATU Indonesia Awards. Keren...

    BalasHapus
  13. Wah deket rumah nih galeri nya. Semoga klo mudik bisa berkunjung ke sini. Semoga Anjani terus berkarya dan membuat bangga kita semua ya. Semoga tercapai mimpi2 nya

    BalasHapus
  14. Salut sama keteguhan Anjani memperjuangkan mimpinya.
    Siapapun yang telah mengajukan nama Anjani dalam program penghargaan yang diberikan oleh ASTRA, adalah sosok yang sangat baik pula.

    Iya, kalau ada bantengan di sini, anak-anak saya takut, langsung masuk rumah. Setelah jadi motif batik, bagus-bagus ya. Jadi pengen punya batik motif bantengan

    BalasHapus
  15. jiwa pebisnis ibu anjani ini menurutku luar biasa. Bahkan kalo disejajarkan dengan pebisnis pada umumnya, level beliau jelas diatasnya.

    Bukan hanya mengedepankan keuntungan semata melainkan bagaimana tetap menjaga kesejahteraan para pekerja dan dengan tulus iklas melestarikan budaya batiknya.

    BalasHapus
  16. Kisah yang inspiratif, dituliskan dengan keren. Suka sekali caranya menuliskan ceritanya, mengalir dan tidak membosankan, tau-tau sudah di paragraf akhir.

    Semangat mba Anjani, semoga menginspirasi kita semua untuk selalu memperjuangkan impian. Btw good luck untk lombanya ya.

    BalasHapus
  17. Wah tulisan ini keren banget. Saya gak pernah kepikiran nulis tentang warisan batik, padahal ada pusat batik juga. Trims ya kakak, jadi terinspirasi

    BalasHapus
  18. Kak Arai aku mampir lagi dan nga bosen2nya baca Anjani ini. Biar jadi self reminder buat aku. Usia muda jangan leha2. Berasa dipecut gitu 😂

    BalasHapus
  19. Waduh panjang banget ceritanya dan sangat menginspirasi sekali dalam dunia karya seni. Salut deh dengan kisah Anjani ini



    (Alya)

    BalasHapus
  20. Tulisannya deskriptif sekali, seolah aku turut berada dalam cerita kehidupan Anjani. Terharuu dengan segala perjuangan Anjani meraih mimpi, aku pun jadi termotivasi dengan sosok Anjani. Keren deh

    BalasHapus
  21. Anjani sosok yang luarbiasa ya. Perjalanan hidupnya dan kisahnya sangat mengislirasi sekali. Seniman sejati memang hebat ya. Aku jadi pengen main juga ke gallerynya dan ngedengerin cerita nya.

    BalasHapus
  22. Paling seneng aku membaca kisah inspiratif gini mbak arai, apalagi ada sosok perempuan disana, huah! serasa spirit itu juga ikut mengalir. Sosok perempuan dengan teguh memegang mimpi dan cintanya, semuanya berbuah manis seperti sekarang ini

    BalasHapus
  23. Hey, Arai!

    Tadinya aku kira ini semacam cerpen lho, ternyata kisah nyata ya, hihi.. Bahasa yang kamu tulis itu lho selalu ada cirinya, gampang dimengerti, dan enak untuk dibaca.

    Btw, hebat sekali sih mbak Anjani ini, masih terus memikirkan mimpinya disaat telah menemukan cintanya. Sampai pada akhirnya, semua kegigihannya terjawab sempurna diakhir cerita. Kereeenn!!

    BalasHapus
  24. Dibalik kesuksesan seseorang pasti ada cerita haru biru yg luar biasa ya mba,
    Btw bru tau klo nama rinjani dari nama dei anjani lho

    BalasHapus
  25. Pemilihan katanya pas banget, kisah nyata berasa sedang baca novel. Aku terhanyut dengan kisah perjalanan Anjani beserta kekuatan prinsipnya dalam memperjuangkan cinta dan mimpinya. Satu kata buat mbak Arai Kereeen ..!

    BalasHapus
  26. Mengalir bgt cerita perjuangan Mbak Anjani yg kak arai sampein...luar biasa ya perjalanannya. Aku jadi pengen coba batik bantengnya itu cantik2

    BalasHapus
  27. Baca kisah Anjani ini mengingatkan akan mimpi yang makin lama makin pudar, hari ada renungan ntuk menata kembali mimpi yang pudar itu ...

    BalasHapus
  28. Pernah belajar membatik langsung di Pekalongan aku Mba, tapi emang nggak bakat hehehe nggak jadi. Tapi ya cukup puas sudah menjajal kemampuan diri. Mba Anjani sunggu menginspirasi sekali

    BalasHapus
  29. Ya Allah menginspirasi sekali kisahnya. Tidak pantang menyerah dengan keadaan. Namuun saya yakin ada dukungan sangat kuat dari ornag-orang disekelilingnya.

    BalasHapus
  30. anjani menurut saya termasuk orang yang sedikit di dunia ini, gak pantang menyerah walau dihimpit kesulitan ekonomi dan hal lainnya. hal yang tidak mudah and i feel it. semua kembali ke pilihan, dan anjani memilih menempuh impiannya dan berhasil, bagi yang memilih untuk berhenti karena alasan lain yang sama krusialnya, mungkin tidak berhasil dengan impiannya tapi ada kemungkinan berhasil menemukan impian baru.

    dibutuhkan bahan bakar semangat dan komitmen yang tinggi untuk tetap berada di jalur yang diimpikan. semangat anjani bisa menular dengan hebat bagi mereka yang membaca artikel ka arai kali ini.

    semoga menang ya kak arai, tulisan mu indah sekali.

    BalasHapus
  31. anjani cantik dan dewasa bangettt,,, karya batiknha nggak kalah cantik,,, dijadikan tas wanita makin kece badaiii

    jadi nge fanssssss

    BalasHapus
  32. Masya Allah, bener-bener buah dari ketekunan dan kerja keras yang diridhai Allah ya, Mbak. Aku takjub baca bagian menolak tawaran S2. Dan bahwa ternyata apa yang diperjuangkan ternyata bisa sekaligus memberdayakan masyarakat dan melestarikan budaya, sesuatu yang takkan kesampaian andai menyerah di awal.

    BalasHapus
  33. Baca dari awal sampai habis, ini ceritanya keren kak ngalir aja gitu jadi gak kerasa udah sampai paragraf akhir bacanya. Sangat kagum sama sosok Anjani ini, meski saat itu sedang kesusahan tapi ia masih bisa untuk melanjutkan mimpinya.

    BalasHapus
  34. tuh jadi pengen ke sana untuk eksplore semua keindahan apa lagi ada kaitan sama kearifan lokal gitu kan jadi gimana ya

    BalasHapus
  35. keindahan itu ada di dalam negeri tak perlu pergi jauh juga bisa ya

    BalasHapus
  36. perjuangan Anjani sangat inspiratif... artikel ini juga sangat mantap.. tulisannya mengalir dan enak dibaca

    BalasHapus
  37. Pastinya membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan satu batik lukis ini yah mbak.

    BalasHapus