https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Hikayat 2.161 Komunitas Penjaga Zamrud Khatulistiwa

Jumat, 19 Agustus 2022
masyarakat adat
foto © Rainforest Action Network
"Jangan terlalu dalam. Jika terlalu banyak diambil, Curupira akan marah,"

Pria berkacamata itu tampak kaget sekaligus setengah menahan geli. Namun anak laki-laki yang berdiri di sampingnya, menatapnya bergeming.

Tampak sangat serius dengan ucapannya.

Memang, bagi orang-orang Sao Paulo seperti dirinya yang terbiasa dengan kawasan perkotaan, Curupira terdengar seperti lelucon. Apalagi saat bocah itu mengaku tak pernah melihat sosok penghuni hutan yang konon bertubuh cebol dan punya kaki terbalik itu.

"Kau hanya melihatnya jika mengambil terlalu banyak dari hutan. Curupira akan membuat hutan menelanmu,"

Angin kemudian berhembus tepat saat bocah itu menyelesaikan kalimatnya. Daun-daun bergerak di atas mereka saat udara dingin menembus kerapatan hutan hujan Amazon, seolah sepakat dengan ucapan si anak laki-laki itu.

Hutan seperti memberi peringatan, sehingga Euclides Tavora (Marco Rodriguez) menarik pacekung yang sedari tadi dia benamkan di pohon-pohon karet untuk menyadap emas-emas putih milik Amazon itu.

Mungkin saja apa yang dikatakan bocah berusia belasan tahun itu nyata adanya.

Tavora yang mengakui kalau anak petani karet miskin itu memang pintar, jelas belum menyadari bahwa beberapa tahun mendatang sosok di hadapannya itu akan menjelma menjadi salah satu manusia paling berpengaruh bagi penduduk Brasil.
Chico Mendes - Ilzamar Mendes
foto © Miranda Smith
Kisahnya akan dikenang dalam berbagai generasi di seluruh penjuru Bumi, oleh mereka yang begitu peduli lingkungan.

Sang aktivis yang rela hidupnya berakhir setelah timah panas menembus tubuhnya itu, akan abadi sebagai seorang martir asal Amazon.

Kematiannya jelas tidak sia-sia. Karena itu memberikan sebuah warisan yang membuat namanya terus termahsyur.

Nama menggetarkan yang dijadikan simbol perlawanan sekaligus perjuangan.

Nama itu adalah Chico Mendes.
“At first I thought I was fighting to save rubber trees, then I thought I was fighting to save the Amazon rain forest. Now I realize I am fighting for humanity” - Chico Mendes

Para Tak Kasatmata yang Melindungi Hutan Indonesia

hutan hujan Amazon
foto © FG Trade/Getty Images
Aku mengenal Chico Mendes untuk kali pertama saat menonton film THE BURNING SEASON (1994) di sebuah kegiatan bedah film bertahun-tahun lalu. Kala itu aku masih belum memiliki ketertarikan atas isu lingkungan seperti sekarang, ketika bergabung sebagai Eco Blogger Squad (EBS).

Kendati begitu, film arahan John Frankenheimer yang dibuat berdasarkan buku karya jurnalis lingkungan Andrew Revkin ini berhasil menyadarkanku bagaimana melawan kapitalisme itu memang selalu diwarnai dengan pengorbanan sampai pertaruhan nyawa.

Hanya saja selain kehidupan Chico (Raul Julia) si penjaga Amazon yang penuh perjuangan sampai kematiannya, sosok Curupira yang dinarasikan Chico kecil (Jeffrey Licon) begitu menarik perhatianku dalam THE BURNING SEASON.

Cerita Curupira menyadarkanku bahwa di belahan Bumi manapun, ada keyakinan animisme yang begitu kuat dipegang oleh masyarakat terhadap hutan di sekitar mereka.

Kepercayaan bahwa setiap benda di Bumi ini mempunyai jiwa memang terdengar begitu purba. Namun di Indonesia, animisme masihlah berdenyut dan begitu dipegang teguh hingga saat ini oleh kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari alam.

Entitas yang disebut sebagai masyarakat adat.

Kalau kamu pergi ke Bali dan berkunjung ke kawasan hutan lindung Gilimanuk, akan ada beberapa mitos yang diyakini masyarakat sana. Mulai dari mitos Pura Bakungan, Pura Tirta Segara Rupek, Pura Dang Kahyangan Dwijendra dan legenda Jayaprana.

Kisah yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi itu membuat ada banyak sekali area yang dikeramatkan di hutan lindung Gilimanuk. Konon katanya siapa saja yang berkunjung dengan tujuan tidak baik dan merusak hutan, akan mendapat malapetaka terutama di sekitar tempat-tempat suci tersebut.
hutan lindung Soppeng
foto © Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia
Cerita hutan yang begitu mistis dan memiliki 'penjaga' gaib juga bisa ditemukan di dalam hutan Galimpuae, Desa Pissing, Kecamatan Donri-Donri, Soppeng, Sulawesi Selatan sana.

Mulyadi selaku tokoh masyarakat setempat kepada Detik pernah bercerita bahwa di dalam hutan Galimpuae terdapat kuburan dan sumur kuno besar milik dato’ setempat yang dijaga sosok tak kasatmata.

Lantaran begitu misterius itulah, tidak banyak warga yang bersedia masuk ke dalam Galimpuae dan membuat hutan tersebut begitu terjaga kelestariannya.

Bergeser dari Sulawesi, Kalimantan sebagai salah satu pulau pemilik area hutan hujan tropis terbesar di Indonesia juga tak luput dari keyakinan animisme yang menjelma sebagai penjaga belantara mereka. Setidaknya ada tiga hutan adat di Borneo yang dianggap angker oleh masyarakat setempat, sampai sekarang.

Pertama adalah area hutan di Kabupaten Kutai Kertanegara (kebetulan akan menjadi calon Ibu Kota Nusantara bersama Penajam Paser Utara), lalu hutan Ulin yang berada di Mungku Baru, Rakumpit, Kalimantan Tengah dan terakhir adalah hutan Bukit Raya.

Area hutan di Kutai Kertanegara dipercaya oleh masyarakat setempat dijaga oleh makhluk gaib yang akan menyesatkan siapapun yang datang tanpa tata krama. Siapapun yang berbicara sembarangan dan menebang pohon, konon akan hilang begitu saja. Memiliki hutan rawa gambut dengan kedalaman hingga enam meter dan dibelah oleh aliran sungai, membuat hutan ini memang tampak semakin tak bersahabat.

Lalu untuk hutan Ulin yang berstatus sebagai hutan adat paling angker di Kalimantan, memang memiliki aturan tak tertulis soal pelarangan penebangan pohon. Jika ada yang melanggara, maka akan mendapatkan musibah. Tak heran kalau hutan dengan luas total 500 hektar ini masih mampu menjaga kelestariannya, terutama pohon-pohon ulin yang begitu perkasa itu.

Terakhir hutan yang disakralkan di Kalimantan adalah rimba di kaki gunung Bukit Raya. Sebagai gunung tertinggi di Borneo, pesona alam hutan Bukit Raya memang seolah tanpa cela. Hanya saja untuk bisa memasuki area ini terutama jika ingin mendaki Bukit Raya, kalian haruslah memperoleh izin dari suku Dayak Ot Danum yang merupakan masyarakat sana.
hutan-bukit-raya
foto © geotourism.guide
Kelompok adat yang dikenal juga dengan nama Uut Danum atau Dohoi ini meyakini bahwa kawasan belantara Hutan Raya dijaga oleh seekor harimau gaib. Para pendaki yang hendak mencapai puncak Bukit Raya haruslah menjaga betul etika mereka termasuk larangan membakar ikan seluang, serta memberi pengorbanan ayam, babi atau sapi demi sosok tak kasatmata.

Sedangkan untuk masyarakat Jawa, nama Alas Purwo memang lebih dari sekadar mampu membuat bergidik.

Hutan lindung yang berada di ujung paling timur Jawa yakni di Kabupaten Banyuwangi ini memang sudah dikenal secara turun-temurun menyimpan banyak kisah mistis. Konon katanya si tak kasatmata penjaga hutan tertua di Jawa ini adalah Putri Gayatri yang cantik jelita.

Ketika ada pengunjung Alas Purwo yang tak mampu menjaga sopan santun baik ucapan atau perilakunya, Gayatri akan memberi peringatan entah lewat cuaca yang berubah tiba-tiba, maupun kehadiran hewan buas.

Mungkin bagi kita yang tinggal di kawasan perkotaan dan sangat terbiasa dengan teknologi, berbagai aturan-aturan masyarakat adat dan keyakinan atas sosok gaib penunggu hutan itu terdengar tidak masuk akal.

Namun tahukah kalian, itu hanya menempatkan kita seperti Tavora saat mendengarkan cerita Curupira dari Chico Mendes.

Padahal tanpa kita sadari, seperti Curupira, mitos-mitos sosok gaib yang mereka percaya itu mampu membuat rimba di sekitar komunitas adat terus terlindungi.

Secara turun-temurun, mereka memilih menggantungkan kepercayaan pada sosok gaib yang mungkin saja tak pernah dijumpai langsung itu. Mereka memilih mematuhi tanpa harus bersikap pongah.

Sesuatu yang dibanggakan masyarakat kota, tapi itu pula yang menggiring mereka pada petaka yang lebih sering terjadi daripada tidak.

Masyarakat Adat, Garda Terdepan Penjaga Rerimbunan

masyarakat adat Toraja
foto © Arai Amelya
“Ada alasan tersendiri kenapa orang-orang Toraja tidak dimakamkan di tanah. Selain karena kami yakin bahwa ada kehidupan setelah kematian, kami membiarkan tanah-tanah itu lestari untuk anak turunan kelak, daripada harus menjadi kuburan kami,”

Aku mengangguk mendengar penjelasan sang pemandu di depan goa Londa, salah satu makam kuno yang berada di Toraja Utara.

Di depanku berdiri, erong-erong (peti mati kayu) bertumpukan di tebing goa. Banyak di antaranya yang sudah lapuk, menandakan betul sudah melewati puluhan atau ratusan tahun lamanya. Mataku tertuju pada sebuah erong kuno yang digantung di salah satu sudut goa Londa.

“Kalau yang digantung itu artinya jenazah di dalamnya merupakan keturunan bangsawan. Semakin tinggi status sosialnya, erong akan terletak di tempat tertinggi pula,”

Aku kembali takjub. Tanah Para Raja ini memang memiliki pandangan yang berbeda saat membicarakan kematian.

Kini sang pemandu sudah menyalakan lampu petromak yang dia pegang sedari tadi dan menunggu diriku yang masih asyik mengamati erong dan tau-tau (patung kayu sebagai personifikasi jenazah) di depan goa. Suara panggilan dari rekanku yang tak sabar, membuatku tersadar.
goa Londa Toraja
foto © Arai Amelya
Beberapa menit kemudian, aku dan rekanku mengikuti langkah si pemandu memasuki bagian dalam goa Londa yang begitu gelap total. Saat pijaran petromak memenuhi area dalam goa yang cukup licin itu, ada ratusan erong ditumpuk begitu saja hampir di setiap sudut goa. Di liang bagian atasnya pada langit-langit goa maupun di dekat kaki kami berjalan, ada beberapa tengkorak yang sudah tergeletak, menandakan hanya itu yang tersisa saat petinya lapuk termakan usia.

Londa memang adalah pemakaman unik yang dimiliki oleh suku Toraja. Namun bukanlah satu-satunya.

Tempat pemakaman lain yang begitu terjaga oleh tradisi ratusan tahun adalah Loko’mata dan Bori’ Kalimbuang yang keduanya berada di wilayah Sesean.

Jika Loko’mata merupakan batu raksasa yang menjadi kuburan adat dengan setiap lubangnya berisi lebih dari satu jenazah, Bori’ Kalimbuang memiliki batuan menhir ratusan tahun serupa situs Stonehenge di Inggris sana. Yang menarik, di Kalimbuang juga terdapat pohon tarra tempat tradisi pemakaman passiliran dilangsungkan.

Sama seperti Londa, seluruh area makam tersebut dijaga betul kelestariannya oleh masyarakat adat Toraja. Mereka seolah sadar, bahwa tradisi tak hanya mengikat antar manusia, tapi juga dengan alam tempat di mana mereka menggantungkan kehidupan. 

Hal ini bahkan juga terjadi saat suku Toraja hendak membangun rumah adat mereka, Tongkonan. Menggunakan hasil hutan dalam hal ini adalah kayu untuk pondasi Tongkonan, orang Toraja memahami betul berapa banyak kayu yang boleh ditebang. Itupun harus diikuti dengan penanaman kembali pohon lain, sebagai pengganti kayu yang diambil.
Bori Kalimbuang Toraja
foto © Arai Amelya
"Penghormatan kepada alam, selayaknya menjadi napas kesadaran semua orang” – Irma Tambunan
Aah, aku jadi ingat cerita perjalanan seorang jurnalis Kompas, Irma Tambunan saat menelusuri hutan adat Tamulun Batuah di Kabupaten Sarolangun, Jambi sana.

Serupa dengan suku Toraja, masyarakat adat di sana juga menjaga betul kehidupan termasuk mengatur ketat masa panen kepayang. Hanya buah kepayang yang jatuh dari pohon saja yang boleh diambil. Ada larangan memetik buah langsung dari pohon yang mana kalau dilanggar, akan dikenai besaran denda adat tertentu.

Penghormatan saat hendak menggunakan hasil hutan juga dilakukan oleh masyarakat adat Desa Lampo, Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah sana.

Memiliki sekitar 376 hektar hutan lindung, masyarakat Lampo melakukan ritual adat sambulugana untuk meminta izin kepada 'penunggu' hutan ketika mengelola sumber daya di dalamya. Ritual ini sudah dilakukan secara turun-temurun sebagai cara mereka hidup, tanpa harus merusak keutuhan hutan dengan segala flora dan fauna di dalamnya.

“Masyarakat adat ini memiliki hukum adat. Namun aturan ditegakkan bukan untuk menghukum mereka yang bersalah, tapi demi mengembalikan keseimbangan. Setiap denda adat selalu melibatkan ritual terkait,” 

Mina Setra selaku Deputi IV Sekjen AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Urusan Sosial dan Budaya memulai ceritanya. Sebuah perbincangan seru soal kelompok yang luar biasa bersama kami, sekitar 60-an anggota EBS dalam sebuah webinar hari Jumat (12/8) pekan lalu.

Aturan yang dipaparkan oleh Mina itu juga bisa kalian temukan di kawasan hutan adat Marena di Desa Pekalobean, Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Sempat berada di bawah naungan Dinas Kehutanan sejak tahun 1975, hutan itu kini sudah dikelola oleh masyarakat adat Marena dan memperoleh pengakuan negara.

Setidaknya ada 676,32 hektar wilayah adat Marena yang diakui dan mencakup lima kampung dengan empat Sianene (pemangku adat). Semua yang tinggal di kawasan itu tunduk pada aturan adat Pamali dalam mengelola hutan.

Pamali mencakup tiga aturan yakni siapapun yang mengambil kayu di kawasan hutan lindung tanpa izin Sianene akan diusir, siapapun yang membabat hutan dengan kepentingan apapun tanpa izin Sianene tak boleh menggunakan sumber air untuk semua lahan pertaniannya, dan siapapun yang membakar tanaman di kawasan hutan lindung haruslah memotong tedong pujuk (kerbau hitam berukuran besar) untuk diberikan ke seluruh warga Marena.
hutan adat Marena
foto © Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
Sudah 23 tahun berkecimpung di dalam AMAN, Mina memang paham betul dengan keanehan pandangan masyarakat kota terhadap kelompok adat. Mungkin tak sedikit dari kita yang menganggap masyarakat adat ini sebagai kaum marjinal dan begitu primitif.

Keyakinan mereka bahwa setiap benda mati memiliki nyawa, justru adalah ajaran luhur yang menggiring manusia menjadi sebaik-baiknya makhluk hidup.

Masyarakat adat mungkin tak cukup paham bagaimana caranya mengunggah postingan di Instagram ataupun TikTok, tapi mereka tahu betul kapan waktu yang tepat untuk memulai musim tanam atau musim panen, hanya lewat pertanda bintang di langit.

Begitu pula dengan kita yang begitu lihai berbelanja pakaian online, masyarakat adat jauh lebih mampu mengubah serat-serat pohon menjadi perlengkapan sandang sehari-hari.

Keprimitifan yang selalu didengungkan itu, justru menjadi alasan pengetahuan tanpa batas yang mereka miliki.

Dari data yang diungkapkan AMAN per Agustus 2022, setidaknya ada 2.161 komunitas adat di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 750 di antaranya berada di Kalimantan, lalu 649 komunitas bermukim di Sulawesi, 349 lainnya berada di Sumatera, 175 kelompok berdiam di Maluku, 139 masyarakat adat menghuni Bali serta Nusa Tenggara, sisanya 54 rumpun terdapat di Papua dan bagian terkecil yakni 45 komunitas ditemukan di pulau Jawa.

Dari ribuan komunitas itu, jumlah total masyarakat adat di Nusantara hingga saat ini mencapai kurang lebih 70 juta jiwa. Mereka semua bernaung di dalam sekitar 10,86 juta hektar wilayah adat yang sudah terpetakan.

Di tangan-tangan mereka inilah, paru-paru Indonesia menggantungkan nasibnya.

Lewat perantara merekalah, Zamrud Khatulistiwa mempercayakan keindahannya.

Merekalah, garda terdepan pelindung belantara Indonesia.
infografis Masyarakat Adat
infografis Masyarakat Adat © AMAN

Sudah Saatnya Kita Menjaga Para Penjaga

masyarakat adat Likupang
foto © Arai Amelya
“Masyarakat adat ini adalah komponen pembentuk Indonesia. Mereka cermin kemajemukan negeri ini. 80% biodiversity dunia diamankan oleh masyarakat adat. Bagi mereka, hutan adalah supermarket karena semua yang dibutuhkan ada di sana mulai dari sayur, buah, daging, air, pepohonan, alam yang sejuk sampai oksigen,”

Aku terhenyak saat Mina berhenti berbicara. Memikirkan kalau memang yang terucap itu adalah kenyataan.

Benar kiranya kalau mereka mengatakan hutan adalah supermarket.

Namun supermarket itu adalah sesuatu yang begitu mereka jaga. Ya, masyarakat adat tak hanya sekadar mengambil sumber daya di dalamnya, tapi juga menjaga keasriannya karena sadar kalau hutan adalah sumber pangan manusia

Mereka paham betul bahwa hutan harus tetap lestari, sebagai warisan untuk anak cucu yang dinanti.

Tak ada kata berlebihan dalam kamus mereka, karena masyarakat adat paham jika manusia sepenuhnya menggantungkan hidup pada alam. Bahkan saat hendak berladang sekalipun harus membakar hutan, ada tata cara yang mereka ketahui untuk dilakukan.

Tidak seperti perusahaan-perusahaan yang seenaknya membakar lahan, masyarakat adat tunduk sepenuhnya dalam UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
materi Webinar EBS - AMAN
materi Webinar EBS - AMAN
Dalam Pasal 69 Ayat (2) dijelaskan bahwa pembukaan lahan dengan cara membakar memang diperbolehkan, sesuai dengan kearifan lokal daerah masing-masing.

Dari cerita Mina, masyarakat adat setidaknya hanya butuh waktu satu jam saja untuk pembakaran demi pembukaan lahan. Mereka memperhatikan batas-batas api supaya tidak merambat ke wilayah lain, karena jika itu terjadi maka denda adat bakal menanti.

Namun dalam kenyataannya di lapangan, masyarakat adat kerap jadi sasaran kriminalisasi atas kearifan lokal mereka sendiri.

Hak-hak tradisional mereka seolah terampas karena tudingan menjadi pelaku kejahatan. Padahal dalam aturan konstitusional, masyarakat adat memperoleh pengecualian untuk membakar lahan sebagai bagian dari tradisi. Di mana lahan yang bisa dibakar itu punya luas maksimal dua hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman varietas lokal dan dikelilingi sekat bakar, demi mencegah penjalaran api.

Diskriminasi yang dilihat dari kacamata kuda ini memang terjadi saat para penegak hukum tidak memperhatikan nilai kehidupan yang dianut masyarakat adat mengenai tanah dan sumber daya alam mereka.

Lebih parahnya lagi jika menyangkut pembakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi besar, negara seolah memalingkan wajah.

Kalian tentu masih ingat dengan pembakaran hutan Papua yang dilakukan dengan sengaja oleh anak perusahaan asal Korea Selatan, Korindo Group, bukan?
pembakaran lahan Papua
foto © Ardiles Rante/Greenpeace
Greenpeace International dan Forensic Architecture bahkan melaporkan ada sekitar 57 ribu hektar hutan di Papua yang sengaja dibakar untuk jadi perkebunan kelapa sawit selama tahun 2001 hingga 2019.

Pembakaran hutan ini jelas berdampak pada masyarakat adat di pedalaman Papua seperti suku Mandobo dan Malind karena hutan-hutan adat mereka terkikis akibat geliat ekspansi perkebunan kepala sawit

Semakin menyedihkan karena korporasi menggunakan berbagai cara demi memperoleh tanah dari kendali masyarakat adat. 

Ketika semua salah itu dipertanyakan, Korindo menggunakan dalih legalitas dan merasa sama sekali tak melanggar hak masyarakat adat.

Sebuah ironi yang benar-benar terjadi di Nusantara.

Sesuatu yang jika dibiarkan, akan membuat komunitas adat benar-benar terkikis.

Tak heran kalau akhirnya AMAN terus mendorong agar pemerintah segera merealisasikan RUU (Rancangan Undang-Undang) Masyarakat Adat yang sudah ada sejak 2010. Kurangnya dukungan publik, RUU itu hanya menjadi lembaran kertas selama 12 tahun lamanya.

Sebuah langkah besar ketika RUU Masyarakat Adat itu berhasil terwujud karena akhirnya komunitas lokal memperoleh pengakuan. Hak-hak mereka seperti wilayah adat dan hutan akan terpenuhi, membuat para penjaga ini bisa kembali dengan tenang melindungi hutan.

“Kami butuh dukungan seluruh penduduk negeri ini untuk semakin peduli pada Masyarakat Adat. Menceritakan soal keseharian mereka, pangan, kebudayaan, fashion hingga peran penting mereka dalam menjaga lingkungan serta tentunya mencegah perubahan iklim. Semakin banyak suara yang muncul, RUU ini bakal segera disahkan,” 

Kalimat tegas yang diucapkan Mina itu membuatku sadar. Memang tampak tak berlebihan kiranya jika pengesahan RUU Masyarakat Adat ini sangatlah bersifat urgensi.

Bak bunyi alarm yang memekakkan telinga, kita tak bisa lagi berpura-pura tidak mendengar.

Bukankah dalam setiap peperangan ketika serdadu di garda terdepan meminta pertolongan, kita yang ada di belakangnya harus turun ke medan perang dan membawa artileri?

Jangan biarkan para penjaga ini meregang nyawa sendiri karena tumpang tindih kepentingan.

Sudah saatnya kita menjaga para penjaga.
masyarakat adat Indonesia
foto © Andrew Newey

Sumber:

Mongabay, Kompas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Hutan, Detik, Jurnal Universitas Negeri Semarang, iNews, Viva, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Forest News, Katadata, Data Indonesia, Greenpeace, Bakumsu

Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life

  1. Walau dibilang mistis karena ada yang menjaga hutan dan itu tak kasat mata, tetapi bagi daku tak mengapa agar hutan kita terlindungi.
    Dengan begitu seharusnya memancing diri kita juga yang sama-smaa melihat keberadaan dan manfaat hutan, masa tidak tergerak untuk melindunginya, ya kan?

    BalasHapus
  2. Kalau ngomongin masyarakat adat pasti selalu ada cerita dibaliknya ya. Mereka adalah penjaga bumi dan pelestari alam sebenarnya. Sedih juga kalau melihat beberapa fakta tentang hutan di Indonesia yang kian direbut untuk kepentingan sekelompok pihak saja.

    BalasHapus
  3. Setiap mendengar kata hutan, aku selalu membayangkan sesuatu yang mistis. Wajar ya setiap film horor lebih banyak mengambil latar hutan. Tapi memang begitulah hutan selalu menyisakan cerita mistis, termasuk makhluk yang ada didalamnya. Terlebih masyarakat adat yang kian lama makin punah populasinya, masih saja menjunjung tinggi adat kebiasaannya. Kadang kita abai pada mereka, padahal merekalah garda terdepan pelindung hutan.

    BalasHapus
  4. Aku selalu suka mendengar kehidupan tentang masyarakat adat. Termasuk hal-hal mistis yang ada di antara mereka. Saat masih kecil aku ikut merantau kedua orang tuaku ke Kalimantan. Saat ada yang bercerita tentang adat, aku suka betah dengerin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seru ya, kak Yun..
      Rasanya selalu ada hal baru yang kita dengar dan bisa kita pelajari meskipun hal tersebut terkesan sederhana. Dan pembelajaran kesederhanaan dari masyarakat adat inilah yang bisa kita terapkan sehari-hari agar menjadi manusia yang lebih baik lagi.

      Hapus
  5. Seru sekali cerita perjalannya ke Toraja, Kak Arai. Serta cerita tentang masyarakat adat jadi pengetahuan baru buatku. Apalagi ternyata masyarakat adat sebagai garda terdepan yang menjaga hutan tetap lestari.

    BalasHapus
  6. Bicara tentang Alas Purwo aku juga baca tulisanmu yang, mending hutan disangka berhantu biar tak ada yang mendekat dan menebang. Tulisanmu selalu bisa menghipnotis Rai, bak magis.

    BalasHapus
  7. Duh impian banget yaa kak Arai bisa menengok bagaimana adat dan masyarakatnya di berbagai belahan Indonesia. Kayaknya kamu mesti bikin versi tulisan lengkapnya nih kayak triloginya Agustinus Wibowo

    BalasHapus
  8. Masyarakat adat adalah penjaga zamrud khatulistiwa kita
    Dengan kearifan lokalnya, masyarakat adat mengelola hutan dengan bijaksana

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan ini jadi teladan buat kita ya agar menjaga bumi ini dengan bijak.
      Jangan hanya mengambil manfaat tapi tidak merawatnya

      Hapus
  9. Kapan yaa aku bisa ke Toraja jugaa. Seru sekali mbaak tampaknya perjalananmu ke sana.

    BalasHapus
  10. Seru ya mbak bisa pergi ke daerah-daerah, ketemu sama masyarakat adat setempat, ngobrol ini itu tentang kehidupan mereka

    BalasHapus
  11. Concernnya kak arai di lingkungan khususnya alam ini sering membuatku terkesima deh. Tapi aku salah nangkap nih, yang ada lagu dengar alam bernyanyi yang sudah aku baca sebelumnya. ..

    Aku suka ulasan kak arai yang detil dan dari sini aku baru tahu ttg pemakaman di Toraja

    BalasHapus
  12. Kearifan lokal masyarakat adat lebih ditakuti daripada peraturan yang diberikan pemerintah. Ketentuan adat juga lebih pantang dilanggar daripada undang undang yang dibuat pemerintah.Seperti adat yang ada di masyarakat Toraja, jika ada yang memotong pohon harus menanam kembali, pasti dipatuhi oleh masyarakatnya...

    BalasHapus
  13. Mungkin sebenarnya Juga taktik orang tua zaman dahulu yang sering memberikan peringatan kepada kita, tapi ternyata hikmah dibaliknya Kita tahu maksud dari peringatan itu untuk menjaga sesuatu. Bseperti yang dibilang klo hultan ini mistis dll.

    BalasHapus
  14. Mitos mengenai hutan ini gak menjadikan manusia takut akan karma juga yaa..
    Namanya butuh, ditebang juga dan gak pakai milih-milih. Bener-bener dasyat kerusakan alam di Indonesia dari tahun ke tahun.

    Dengan adanya masyarakat adat, kita bisa tetap menjaga hutan bersama dan melindungi alam karena hutan sumber kehidupan manusia.

    BalasHapus
  15. Masyarakat adat itu cinta hutan melebihi dirinya sendiri
    Jadi perlu mereka terus ada sebagai reminder buat semua bahwa hutan itu penting

    BalasHapus
  16. peran masyarakat adat ini memang sangat vital menjaga bumi pertiwi dari krisis iklim dan degradasi kearifan lokal. Mari kita jaga dan hargai budaya masing-masing masyarakat adat apabila berkunjung ke desa tersebut. Let's be responsible traveler!

    BalasHapus
  17. Bener ya hutan itu seperti supermarket. Semua bisa kita manfaatkan. Makanya stoknya harus balance, jangan diborong oleh satu orang saja. Jadi riuweh kayak emak-emak kehabisan minyak goreng.

    BalasHapus
  18. Masyarakat Adat, baru dengar ini mbak. Tp memang iya, nyesek banget klo tradisi kita malah direnggut orang lain

    BalasHapus
  19. apapun alasan cerita legendanya, ini demi kebaikan bersama. Hutan menjadi alam dan terlindungi. Tentang adat istiadat ini memang harus dijaga betul, karena ini adalah hal yang perlu dilestarikan

    BalasHapus
  20. Jadi penasaran ama filmnya, itu bisa ditonton di aplikasi mana ya?
    Kalau di Bali dan beberapa daerah lain, hukum adatnya memang masih kuat dan dihormati betul. Intinya di mana tanah dipijak di sana langit dijunjung, jadi harus menghormati hukum adat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku waktu itu nonton di acara komunitas film mba Av hahahahaah, kayaknya di HBO atau Youtube (ilegal) ada sih mkwkw

      Hapus
  21. Kalau tidak ada komunitas adat yang menjaga wilayah hutan, dapat dipastikan hutan dan ekosistem di Indonesia akan terkikis habis.
    Masyarakat adat dengan budaya dan kepercayaananya harus dihormati oleh semua pihak

    BalasHapus
  22. Di Jawa Barat, Kab Tasikmalaya, ada Kampung Naga, yang juga masih menjaga hutan di wilayahnya yg disebut Hutan Larangan. Sama halnya di tampat lain diimbuhi dengan kisah mistis. Engga apa juga sih, demi pelestarian hutan. Miris juga ya, perusahaan yang membakar hutan u perkebunan sawit, masyarakat adat yang jadi kambing hitam.

    BalasHapus
  23. Cerita penjaga hutan membuat hutan terjaga untuk waktu yang lama, apalagi ditambah dengan keberadaan masyarakat adat yang mengelolanya dengan baik.
    Kalau di tempatku, seiring dengan mudahnya akses informasi, hutan semakin banyak yg beralih fungsi, kebijakan adat turun temurun mulai dianggap kurang relevan dengan perkembangan jaman, hiks.

    BalasHapus
  24. Senang banget dengan keberadaan masyarakat hutan ini
    Dengan kearifan lokalnya, mereka menjadi garda terdepan dalam menjaga hutan

    BalasHapus
  25. Selalu menarik kalau udah ngomongin masyarakat adat. Apalagi bisa bertemu dan Berinteraksi dengan mereka

    BalasHapus
  26. Antara percaya dan tidak, budaya di nusantara kita ini emang beragam banget. Mitos2 itu emang kadang emang dipercaya masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian budaya. Tak terkecuali hutan-hutan kita serta budaya2 lainnya. Semoga produk benda dan nonbenda di masyarakat adat kita tetap lestari sampai anak cucu kita nanti ya kak.

    BalasHapus
  27. Menarik banget cerita tentang masyarakat Adat ini mbak. Bener-bener berterima kasih banget sama mereka yaa, udah menjaga hutan dengan baik. Aku jadi malu karena belum bisa menjaga hutan dan bumi dengan baik.

    BalasHapus
  28. Semakin paham kini kenapa saat ke Baduy Dalam, atau ke Kampung Naga di Tasikmalaya, banyak sekali larangan terkait mandi, dan sebagainya. Itu mereka hakikatnya menjaga kebersihan air, tanah dan lingkungan ya. Duh seharusnya kita menjaga bumi ini seperti mereka

    BalasHapus
  29. Area hutan indonesia yg begitu luas, lengkap dengan ceritanya. Sungguh eksotik dengan kekayaan hayati

    BalasHapus
  30. Lengkap banget ceritanya Kak Arai tentang hutan lindung dan masyarakat adat! Tapi emang yaa, hutan lindung sama pegunungan dari jaman dulu tuh disisipi cerita-cerita mistis biar ga banyak orang luar masuk ke area tersebut, ya nyatanya berhasil menjaga hutan dan gunung tsb dari eksploitasi

    BalasHapus
  31. lengkap banget ceritanya mbak, Saya aja baru tahu dengan membaca selengkap ini. Btw, sedih saat ini volume hutan di Indonesia terutama sudah sangat jauh berkurang. seperti di batam, dulu saat datang nggak perlu pakai kipas. sekarang ini harus pakai kipas atau AC, kalau enggak ya mandi keringat terus.

    BalasHapus