https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Menjadi Bangsa Pemanen Energi Matahari

Rabu, 26 Oktober 2022
transisi energi
Siang itu waktu menunjukkan pukul setengah satu.

Berulang kali ponselku berbunyi, pesan demi pesan dari rekanku yang menunggu sedari tadi di Cikini memang sengaja tak kubaca. Aku tahu dia pasti sudah kehilangan sabar karena menungguku lebih dari satu jam. Tapi dia tak boleh mengeluh, karena pemandangan di sekitar stasiun BNI City terlalu indah untuk dibiarkan tanpa diabadikan oleh kameraku.

Segera setelah mengabadikan terowongan Kendal yang merupakan icon dari Dukuh Atas, kularikan sedikit tubuhku untuk memasuki stasiun Sudirman. Ini adalah kali pertama aku menaiki KRL di Jakarta.

Dari banyaknya transportasi massal di ibukota, aku begitu terpikat dengan KRL. Aku bahkan tak bisa menahan geli saat harus berdesakan dengan para pencari cuan di Jakarta saat berganti gerbong di stasiun Manggarai. Sebagai anak daerah, berdesakan di kereta dan berlarian di tangga mungkin pengalaman yang tak setiap hari kurasakan dan anehnya aku begitu menikmatinya.

Gerbong yang kunaiki pun meninggalkan stasiun Manggarai dan tak berapa lama berhenti di Cikini. Sialnya, aku tak bisa berjalan lebih jauh lagi menuju TIM (Taman Ismail Marzuki) karena hujan turun dengan sangat deras.

Aku duduk bersandar di peron stasiun Cikini, melihat KRL yang kunaiki pergi dan melanjutkan perjalanan membelah hujan.
gerbong KRL
Dalam hati aku berpikir, KRL mungkin termasuk salah satu inovasi transportasi umum yang patut diapresiasi di Indonesia. Tak perlu dibandingkan dengan negara tetangga atau di luar negeri yang jauh lebih rapi dan berkualitas, karena KRL adalah salah satu yang terbaik yang kita punya saat ini.

Bahkan tenaga penggerak KRL bisa dibilang begitu go green yakni listrik yang bersumber dari PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Coba bandingkan dengan kereta api konvensional yang masih menggunakan diesel, bukankah KRL benar-benar ramah lingkungan? Bukankah KRL sangatlah keren dan wajib menjadi transportasi massal di seluruh Indonesia? KRL adalah solusi untuk memangkas emisi karbon dari kendaraan bermotor! KRL adalah transportasi yang dibutuhkan negeri ini!

Atau, seperti itulah yang awalnya kukira.

Karena aku akhirnya menyadari bahwa kendati tenaga penggerak KRL adalah listrik dari PLTA, ternyata gerbong-gerbong KRL tetap mengeluarkan emisi berupa gas freon (CFC) dari penggunaan AC. Bagi kalian yang tidak tahu, CFC adalah salah satu penyebab terkikisnya lapisan ozon di Bumi karena CFC berubah menjadi karbon saat terlepas ke atmosfer.

Diperparah dengan penggunaan energi fosil dalam penerangan stasiun-stasiun KRL, tetap saja emisi karbon yang terlepas jauh lebih besar daripada penggunaan listrik dari PLTA yang menggerakkan KRL.

Negeri ini, masih jauh dari harapan NZE (Net-Zero Emission)

Memanen Matahari, Menjadi Indonesia yang Lebih Hijau

polusi Jakarta
polusi udara di Jakarta
Sebagai negara berkembang, emisi karbon yang dihasilkan Indonesia memang tidak sebesar China, Amerika Serikat, Rusia, India atau Jepang. Hanya saja apakah itu menjadi pembenaran untuk tidak melakukan perubahan?

Tentu tidak.

Tanpa kita sadari, Bumi semakin kehilangan kemampuan untuk menjaga kestabilan suhunya, karena terus bertambahnya karbon yang dilepaskan ke udara oleh manusia. Lapisan karbon dalam bentuk polusi yang makin tebal ini jelas memicu pemanasan global (global warming) yang akhirnya menyebabkan perubahan iklim (climate change) dan berbagai bencana di dunia.

Kalian tentu merasakan perubahan iklim lewat panas yang kelewat terik dan hujan yang kelewat deras hingga banjir menggenang di berbagai pelosok Indonesia akhir-akhir ini, bukan?

Kalau sudah begini, masihkah kita tidak mau ikut ambil bagian dalam menyelamatkan Bumi dan mengurangi karbon?

Indonesia sendiri disebut menghasilkan emisi karbon terbesar dari aktivitas industri (27%) dan kemudian sektor transportasi (27%), sesuai laporan Climate Transparency Report 2020. Kedua kegiatan penyumbang emisi karbon terbesar ini tak dipungkiri karena penggunaan sumber energi fosil.

Wah, kalau begitu, haruskah kita berhenti menggunakan energi fosil?

Tepat.

Lantas mau diganti dengan apa?

Bagaimana kalau kita mulai memanen matahari?

Bicara soal memanen matahari, mungkin banyak di antara kalian yang mengira ini adalah premis dari sebuah film fiksi ilmiah. Namun aku bisa memastikan, bahwa ‘memanen’ energi matahari bukanlah sebuah kelakar belaka dan benar-benar bisa diwujudkan dengan teknologi peradaban manusia di dunia nyata.

China sebagai negara dengan penyumbang emisi karbon terbesar di dunia bahkan berambisi untuk ‘memanen’ matahari di luar angkasa demi mengaliri listrik ke Bumi. Dilansir CNN Indonesia, China berencana menghasilkan 1 MW dari luar angkasa pada tahun 2030 nanti.
panel surya milik China
panel surya penuhi ambisi China memanen matahari luar angkasa
Hal ini dilakukan karena matahari adalah salah satu Energi Baru Terbarukan (EBT) sehingga sudah pasti bersih dan tidak menghasilkan karbon. Sebuah upaya yang sesuai dengan rencana China untuk menuju nol emisi karbon pada tahun 2060 mendatang.

Upaya memanen matahari juga pernah dilakukan para ilmuwan di Michigan State University pada tahun 2014 lalu. Di mana para peneliti mengembangkan panel surya transparan yang memungkinkan orang-orang ‘memanen’ matahari dari jendela, seperti dilansir We Forum.

Perusahaan Amerika Serikat, Ubiquitous Energy bahkan tengah mengembangkan jendela surya yang nantinya akan membuat gedung-gedung pencakar langit menjadi sebuah peternakan surya vertikal. Jika sesuai rencana, jendela surya ini akan mulai diproduksi secara massal pada tahun 2024 mendatang.
bangunan jendela surya Ubiquitous Energy
bangunan jendela surya milik Ubiquitous Energy di Colorado
Beruntung sebagai negara yang berada di Khatulistiwa dan memperoleh pancaran sinar matahari sepanjang tahun, Indonesia mungkin bisa mewujudkan upaya memanen matahari sebagai sumber energi ramah lingkungan secara lebih mudah.

Bahkan menurut Kementerian ESDM, potensi energi surya milik Indonesia sangatlah besar yakni mencapai 4.8 KWh/m2 atau setara 112 ribu GWp. Dari jumlah itu, yang dimanfaatkan barulah 10 MWp. Dengan masih banyaknya daerah-daerah di pelosok Indonesia yang belum dialiri listrik, PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) akan menjadi alternatif yang sangat tepat.

Dengan fakta bahwa potensi EBT di Indonesia yang lebih dari 400 ribu MW dan 200 ribu MW di antaranya adalah energi matahari, upaya transisi energi di Indonesia adalah sesuatu yang sudah tak bisa diganggu gugat.

Sudah saatnya kita mengucapkan selamat tinggal pada sumber energi fosil seperti batubara, minyak bumi dan gas alam.

Transisi Energi, Kunci Selamatkan Bumi

PLTS di Likupang
ladang PLTS di Likupang, Sulawesi Utara
Dalam online gathering yang kuikuti bersama rekan-rekan EBS (#EcoBloggerSquad) pada Selasa (18/10) pekan lalu bersama Fariz Panghegar selaku Manager Riset Traction Energy Asia, aku semakin disadarkan bahwa transisi energi adalah satu-satunya hal yang harus sesegera mungkin kita lakukan demi menyelamatkan Bumi lewat pengikisan emisi karbon.

Semakin meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi berbahan bakar fosil jelas semakin memperparah efek GRK (Gas Rumah Kaca) yang sebetulnya sudah diperburuk oleh sektor-sektor industri pengguna bahan bakar fosil. Sebuah lingkaran setan yang seluruhnya bermuara pada bencana lingkungan.

Tak hanya di Indonesia, perubahan iklim yang seperti kubilang sebelumnya disebabkan oleh penebalan polusi karena peningkatan emisi karbon memang sudah jadi ancaman global. Mulai dari berkurangnya sumber air, sumber pangan hingga tempat tinggal yang aman dari bencana, sebetulnya itu semua merupakan alarm tanda bahaya dari Bumi.

Tak ingin berdiam diri, pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpres No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang mana kontribusi EBT dalam energi primer nasional di tahun 2025 memiliki porsi 17%.

Di mana dari bagian 17% itu terdiri dari BBN (Bahan Bakar Nabati) (5%), panas bumi (5%), biomassa, nuklir, air, surya dan angin (5%) serta batubara yang dicairkan (2%). Demi mewujudkannya, transportasi dan industri jelas harus sesegera mungkin melakukan transisi energi.

Untuk sektor transportasi yang menjadi salah satu dari dua penyumbang emisi karbon terbesar di Tanah Air, transisi energi dilakukan pada ketiga pilarnya yakni darat, laut dan udara lewat penggunaan biodiesel, bioavtur dan kendaraan listrik.

Terdengar mudah, tapi bukan berarti tak memiliki tantangan.
Online Gathering EBS 2021 (1)
Kalian harus tahu bahwa biodiesel di Indonesia masihlah 100% bersumber pada minyak CPO (Crude Palm Oil) dari kelapa sawit. Artinya, semakin banyak biodiesel yang dipakai, makin besar pula kebutuhan akan kebun kelapa sawit dan hutan-hutan pun digunduli demi alih fungsi lahan yang justru memicu perubahan iklim karena kerusakan lingkungan.

Simalakama.

Sedangkan untuk kendaraan listrik di Indonesia, masih menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar batubara sehingga artinya belum sepenuhnya bebas emisi GRK karena meskipun di hilir sudah go green, di hulu masihlah berkarbon.

Lantas bagaimana dengan sektor industri? Apakah mungkin kita segera mengubah sumber energi fosil menjadi energi angin atau tenaga matahari?
PLTB Sidrap Sulawesi Selatan
PLTB Sidrap Sulawesi Selatan
Indonesia boleh bangga sudah punya PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) Sidrap (Sidenreng Rappang) di Sulawesi Selatan yang menjadi pembangkit listrik energi bayu/angin pertama di Indonesia sekaligus terbesar di Asia Tenggara. Begitu pula dengan PLTS Likupang di Desa Wineru, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara yang memiliki 64.620 hamparan panel surya di ladang seluas 29 hektar untuk memanen matahari. Jangan juga lewatkan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) Silangkitang Tambiski di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara yang menghasilkan 53 KW dan sudah mengaliri listrik ke 150 KK dan 13 fasilitas umum.

Namun kalian harus tahu, instalasi EBT di Indonesia masihlah membutuhkan biaya yang cukup besar (dibandingkan dengan pembangkit listrik energi fosil). Belum lagi lokasi daerah potensial cukup jauh dari kawasan penduduk sehingga membutuhkan infrastruktur penunjang, serta minimnya kurikulum pendidikan EBT yang membuat sektor industri komponen EBT belum tumbuh sesuai harapan.

Menjadi bangsa pemanen matahari masih menjadi mimpi di negeri ini.

Melakukan Transisi Energi dari Diri Sendiri

Online Gathering EBS 2021 (2)
Dengan berbagai tantangan di sektor pembangkit listrik, industri dan transportasi, transisi energi memang masih membutuhkan jalan panjang.

Namun itu bukanlah alasan bagi kita untuk tidak bisa ikut terlibat memangkas emisi karbon.

Kalian bisa mulai menghemat penggunaan listrik, mengurangi pemakaian kendaraan pribadi sampai terlibat dalam pengumpulan limbah rumah tangga untuk biodiesel dan biogas.

Benar, transisi energi bisa dimulai dengan sampah.

Tanpa kalian sadari, sampah yang dihasilkan sehari-hari itu bisa menjadi sumber energi hijau.
Online Gathering EBS 2021 (2)
Minyak jelantah contohnya yang bisa kalian temukan di dapur, jika dikumpulkan bisa menjadi BBN (biofuel) sebagai bahan biodiesel. Atau yang lebih besar lagi, sampah-sampah di dapur hingga kotoran ternak yang merupakan limbah organik, bisa diolah menjadi biogas penghasil energi listrik.

Terdengar menjijikkan?

Katakan itu pada TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Supiturang di Kota Malang.

Menggunakan sistem sanitary landfill, sampah-sampah yang dibuang manusia di TPA Supiturang dipadatkan, ditumpuki coral dan akhirnya mengeluarkan cairan sampah menjadi biogas. Dari 700 ton sampah tiap harinya, 400 ton di antaranya diolah lewat sanitary landfill yang mampu menerangi minimal 60 rumah, seperti dilansir Tribun.

Sebuah upaya kecil, jauh lebih murah dalam hal instalasi dan mampu memberikan dampak besar bagi penggunaan EBT dan mengurangi karbon.

Jadi tunggu apalagi? 

Sudah saatnya kita melakukan sesuatu untuk Bumi sebagai sebaik-baiknya planet tempat tinggal manusia di alam semesta.

Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life

  1. Bumi kita ini sudah rusak. Tapi sayang masih banyak penghuninya yang tidak peduli. Mereka terus mencari keuntungan tanpa memikirkan dampak terburuknya. Semoga langkah kecil kita, bisa memberikan kontribusi untuk kelestarian bumi...

    BalasHapus
  2. Mantap deh kalau bisa punya banyak energi alternatif ya. Enggak lagi kelimpungan sama harga BBM

    BalasHapus
  3. Ternyata KRL tetap ada emisi yg berbahaya buat lingkungan toh. Kirain karena listrik yg jadi penggeraknya, bakal tanpa polusi. Waaah saya baru tahu. Jadi pengen naik KRL jg, pengen tau lebih banyak lg soal transportasi yg satu ini, bukannya karena mau makin banyak polusi loh ya

    BalasHapus
  4. harus peran serta kita semua ya, Mbak. Mulai dari hal-hal kecil saja yang bisa kita lakukan. Misalnya hemat listrik di rumah. Misalnya juga, saya membayangkan, ada lampu, yang otomatis siang hari akan mati sendiri. jadi saat rumah ditinggal penghuninya, lampu teras tidak menyala sepanjang waktu.
    Terus saya baru baca, memang kotoran ternak bisa dijadikan sumber energi juga.

    BalasHapus
  5. kak, aku mendukung banget semua upaya untuk mengurangi polusi dan memerdayakan alam ini untuk kepentingan manusia, memanfaatkan matahari, angin untuk pembangkit listrik karena melimpah. keluarga ada yg kerja di pertambangan ternyata tambang itu suka pindah2 ya ketika sdh ga menghasilkan. Mknya suka mikir gimana nih kalo ga ada lg yg bisa ditambang harus ada alternatif energi lain mulai dr sekarang. yuk atuh orang2 pinter suarakan lebih lantang

    BalasHapus
  6. Bumi ini seolah sudah tidak sehat. Pencemaran terjadi dimana2. Bahkan dari sampah bisa mengakibatkan berbagai pencemaran, baik udara, air maupun pencemaran limbah yang sulit terurai. Padahal semua itu berawal dari kita yang suka sembarang membuang sampah. Dan kebersihan bumi kita hanya kitalah yang harus mengupayakannya.

    BalasHapus
  7. Meski nggak bisa ngebayangain teknisnya gimana, tapi aku dukuuuung soal memanen sinar matahari ini. Negara kita berlimpah sinar matahari gini lho, masa nggak dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat? Ya kan, ya kan?

    BalasHapus
  8. Harus kuakui. Awalnya memanen matahari itu adalah sebuah premis film. Pas baca, aku penasaran. Ini nontonnya dimana? Kok nggak ada informasinya. Ternyata oh ternyata.

    Tapi bener sih. Energi matahari nggak bakal ada habisnya. Nggak menimbulkan efek samping pula. Kecuali buat kulit sih.

    BalasHapus
  9. aku juga setuju soal memanfaatkan energi matahari, seperti ambisi china yang ingin "memanen matahari" atau dengan membangun lebih banyak PLTS. Juga dengan memanfaatkan sisi lain dari sampah yang ternyata bisa dijadikan energi alternatif jika ini dilakukan pasti kuota penerimaan sampah di TPA tetap stabil atau bahkan jadi berkurang sehingga tak perlu membuka lahan baru untuk dijadikan TPA.

    BalasHapus
  10. Menggunakan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan memang sudah keharusan sih ya. Biar bumi ini tetap lestari. Apalagi pemanfaatannya adalah energi matahari, yang bisa dikatakan energi alami. Yuk bisa yuk..

    BalasHapus
  11. Upaya menjaga lingkungan supaya tidak rusak saat ini berbagai pihak sudah menjalankan, emang smua harus ikut serta terlibat sih.
    Sudah mulai ada yang menggunakan panel surya, mobil listrik sdh mulai banyak yg menggunakan tp di kota spt jakarta sih.

    Smg lingkungan alam tdk tambah rusak...(gusti yeni)

    BalasHapus
  12. Teknologi energi yang terbarukan memang patut untuk didukung sepenuhnya, karena sifatnya yang ramah lingkungan. Mengingat bumi kita saat ini bisa dikatakan sudah tidak baik-baik saja mengingat berbagai isu lingkungan yang semakin nyata

    BalasHapus
  13. Paling mudah untuk dibiasakan sedari di rumah sebenarnya mengurangi penggunaan listrik sesederhana lekas mencabut colokan seusai dipakai sih ya buat yang masih belajar. Semoga kelak di masa depan, tanah air kita benar-benar menjadi ladang panen energi matahari. Aamiin.

    BalasHapus
  14. Wahh.. Aku justru baru tau kalau KRL berasal dari PLTA. Ramah lingkungan banget ya kak. Hmm.. membicarakan global warming dan selimut polusi emang hal yang kompleks banget. Nah, naik transportasi umum seperti KRL menjadi langkah kecil untuk menciptakan perubahan di bumi, nih

    BalasHapus
  15. Pas baca memanen matahari auto bengong aku, hah? manen matahari? Ternyata pakai panel surya. Ternyata di Sulawesi Utara, Indonesia memiliki 64.620 hamparan panel surya dengan luas ladang 29 hektar. Sungguh aku baru tahu. Seneng banget baca artikel transisi energi ini. Karena baru tahu juga kalau minyak jelantah bisa jadi BBN

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya lho mbak. Sekarang aku juga lagi nabung jelantah nih. Sedikit demi sedikit, berusaha ikut berguna bagi bumi ini.

      Hapus
  16. Teknologi terbarukan, bagus bgt. Apalagi panel surya skg ud dimana2, di rumah pun bisa kan asal hubungi pln

    BalasHapus
  17. Ngeri banget ya kalau ingat polusi di kota-kota besar semakin tak terkendali. Makanya nih penting banget untuk membantu mengurangi polusi dengan cara menggunakan teknologi terbarukan yang ramah lingkungan

    BalasHapus
  18. bumi bebannya semakin berat, hal yang sederhana saja membuang sampah pada tempatnya masih sulit dilakukan dan sungai dianggap menjadi tempat sampah, btw saya juga lagi belajar untuk penggunaan plat di rumah sebagai tempat mencadangkan energi maahari untuk dirubah menjadi listrik, tapi masih otodidak dan masih bingung, ada komunitasnya gak ya? makasih

    BalasHapus
  19. Biogas ini idenya bagus juga. Jadi memanfaatkan yang ga kepakai. Sayangnya belum banyak yang menerapkan.

    BalasHapus
  20. Sebagai negara yang selalu disinari matahari hampir sepanjang tahun, sudah pasti ini energi matahari bisa jadi sumber energi yang cukup untuk berktifitas. kudu banget teknologinya berkembang disini

    BalasHapus
  21. Semoga makin banyak kota lain yang mengikuti jejak Kota Malang untuk menyediakan sanitary landfill untuk mengolah kotoran yang dibuang oleh manusia yang justru bermanfaat sebagai sumber energi

    BalasHapus
  22. yes sejak tau panel surya, dari dulu cuma mikir, ih pengen deh pake panel surya rumahan, waktu itu mikirnya cuma biar hemat dan ga usah bayar listrik LOL. Tapi ternyata jauh dari pada itu, jadi kontribusi penggunaan energi baru terbarukan yaa, semoga bisa sama kaya china bisa memanen energi matahari, apalagi kita negara tropis kan. Soal pengolahan sampah jadi biofuel, tapi kita masih kebingunan ya harus kemana, karena masih minim info dan lokasinya juga

    BalasHapus
  23. PR besar bagi semua manusia diseluruh lapisan bumi ini untuk menyelamatkan bumi. Ngeri sekali dampaknya. Utamanya panas, hujan, dan cuaca yang ekstrem seperti saat ini. Saat nya selamatkan bumi bersama-sama

    BalasHapus
  24. Setuju banget sih kalau kita pakai energi surya. Secara matahari di negara kita menyinari dg banyaknya.

    Dg begitu perlahan bisa mengurangi polusi yang udah tebel menyelimuti bumi.

    BalasHapus
  25. Aku bgt pertama kali naik krl di jakarta keheranan melihat org lari dan rela berdesakan di stasiun, krl, dan mrt. Tapi beraharwp bbgt kendaraan umum gt makin banyak jg bahkan di daerah lain ya. Biar polusinya makin berkursng

    BalasHapus
  26. Bumi sudah benar-benar tidak baik-baik saja huhuhu
    krisis iklim melanda, bencana dimana-mana

    BalasHapus
  27. Memang masih menjadi tantangan besar dalam penggunaan sumber energi listrik yang dihasilkan dari bahan bakar fosil. Tetapi, Indonesia pasti bisa walau secara perlahan yang penting dijalani untuk beralih ke energi ramah lingkungan seperti pemanfaatan sinar matahari menjadi tenaga listrik.

    BalasHapus
  28. udah jatuh ketimpa tangga pula ya kak. bumi ny sudah semakin dihancurkan, lingkungan dan keadaan buminya juga tidak pernah diperhatian. Lantas, bagaimna keberlanjutan kehidupan dimasa yang akan datang ya kak

    BalasHapus
  29. Ada-ada aja, ada kalanya ide ilmuwan itu nggak bisa diterima sama nalar kita. Contohnya kayak memanen matahari. Namun terkadang ide konyol itu malah membuahkan hasil yang positif bagi umat manusia. Semoga saja ada inovasi yang bisa membantu Bumi tetap bertahan dengan baik. Namun sambil berjalan, perlu ada tindakan preventif dari semua manusia untuk menjaga Bumi agar tetap sehat untuk masa depan generasi nantinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener mas. semoga soal memanen matahari ini bisa terealisasi hingga bisa di terapkan kesetiap negara

      Hapus
  30. Memanen energi matahari bisa jadi solusi untuk melakukan transisi energi ya mbak
    Memilih energi yang ramah lingkungan tentu lebih baik untuk kelestarian bumi

    BalasHapus
  31. wah setuju nih, karena peluang kita ada di garis Khatulistiwa yang bisa dapat panas sepanjang tahun ya, jadi rasanya tidak mustahil kalau bisa memanfaatkan matahari :)

    BalasHapus
  32. Semakin padat penduduk membuat sampah semakin meningkat. Susah juga kalau mengatasi polusi tapi masih banyak yang kurang sadar untuk menjaga semuanya bersih.

    BalasHapus
  33. Secara geografis memang sebetulnya kita cukup mudah untuk dapat sinar matahari ini ya mbak, tapi penggunaan panel surya masih belum familiar di sini (sepertinya)

    BalasHapus