https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Wisata Labuan Bajo: Menikmati Satu Rotasi di Atas Samudera

Jumat, 06 Januari 2023
Pemandangan Labuan Bajo dari Puncak Waringin
Pemandangan Labuan Bajo dari Puncak Waringin © Arai Amelya
"It was my first clue that atheists are my brothers and sisters of a different faith, and every word they speak speaks of faith"
Kalimat Piscine Molitor Patel alias Pi dalam novel LIFE OF PI karya Yann Martel itu, langsung muncul di benakku saat kakiku berpijak di kapal usai berpindah dari speedboat kecil.

Ya, dari Dermaga Biru Kampu Ujung, kami bersembilan memang harus menggunakan speedboat bergantian untuk mencapai kapal kayu yang berukuran standart itu.

Kulihat jam tanganku, hampir pukul dua belas WITA, sehingga aku tak menyalahkan matahari Labuan Bajo yang menyalak begitu galak. Sekitar empat kali para crew kapal yang berjumlah tiga orang itu bolak-balik sebelum akhirnya kami berdua belas ada di kapal seluruhnya.

Setelah memilih ranjang tidur masing-masing yang berada di empat kabin kamar terpisah (tiga kabin di lambung dan satu kabin di dek atas), memasukkan koper dan berganti baju, aku langsung bersantai di dek utama depan anjungan sang kapten bersama sembilan peserta trip lainnya.
kapal kami saat sailing trip Labuan Bajo
kapal kami saat sailing trip Labuan Bajo © Arai Amelya
Ada tiga orang yang kukenal dalam trip kali ini yakni mbak Raiyani, fotografer profesional kelas wahid yang kuketahui saat ikutan trip gratis ke Toraja Utara tahun 2021 lalu, bang Deni si pekerja kapal pesiar AIDA yang kukenal dari kegiatan Kelas Inspirasi Malang 2017, dan tentunya Koimba. Kalau kalian membaca catatan perjalananku saat melihat ritual Kasodo, Bromo pada bulan Juni 2022 lalu, ini adalah trip ketigaku dengan Koimba, fotografer asal Pinrang, Sulawesi Selatan.

Kebetulan, trip ini juga di–handle oleh mbak Rai dan Koimba lewat ISO Phototrip.

Dari sembilan peserta trip, ternyata hanya diriku sendiri yang berasal dari Jawa Timur tepatnya Malang, karena delapan lainnya (kak Nana, maMita, bang Suhud, mbak Tri, kak Iva, kak Puji, bang Deni, dan kak Ira) masyarakat Jabodetabek.
"Sekitar tiga atau empat jam lah nanti kita baru sampai pulau Padar,"
Ucap Koimba sambil duduk di bangku dek utama, waktu kutanya berapa lama perjalanan kami siang ini saat mesin kapal menderu dan berjalan meninggalkan Labuan Bajo.

Meskipun November di Malang begitu basah karena hujan, tampaknya matahari begitu bergembira di Labuan Bajo sehingga aku tak menyalahkan rekan-rekan tripku saat menggunakan sunscreen dan sunblock ke seluruh tubuhnya.
pulau di gugusan Labuan Bajo
salah satu pulau yang kami lewati di perairan Labuan Bajo © Arai Amelya
Sesuai dengan yang kulihat dari angkasa waktu pesawatku hendak landing, kapal kami melewati berbagai pulau di gugusan Labuan Bajo. Kak Maria yang merupakan local guide menjawab beberapa nama pulau berpenghuni itu sambil bolak-balik dari dapur mengantarkan masakan untuk makan siang.

Aku bisa merasakan usus besarku tersenyum karena sejak berangkat diri hari dari Malang menuju Bandara Juanda dini hari tadi, aku belum makan secara layak. Aku hanya membeli sarapan nasi kuning seadanya di dekat Dermaga Biru setelah kemudian mbak Rai dan Koimba menyuruh kami segera menyeberang ke kapal.

Seperti kata orang bahwa makanan bisa menyatukan manusia selain musik dan sepakbola, itulah yang terjadi di makan siang kami yang pertama. Ditemani hembusan angin samudera yang semakin sepoi-sepoi dan deru mesin saat kapal membelah perairan Manggarai Barat, kami berdua belas saling tergelak saat menikmati makanan. Obrolan kami berjalan langsung lancar meskipun itu kali pertama kami ber-12 berjumpa, seolah menembus batas jenis kelamin, status, usia, pekerjaan dan asal daerah.
menu makan siang di kapal laut
menu makan siang pertama kami di atas kapal © Arai Amelya
Salah satu hal yang sangat kusukai saat traveling lewat open trip, karena bisa bertemu orang-orang asing.
"Coba lihat deh dari dek atas, pemandangannya lebih keren,"
Karena penasaran, akhirnya aku mengikuti bang Deni untuk naik ke dek atas dari kapal ini. Jauh lebih lega dari area di bawahnya, hanya ada satu kabin kamar yang sudah ditempati bang Deni dan bang Suhud di sini.

Seperti ucapannya, aku bisa jauh lebih bebas menikmati pemandangan dari geladak atas meskipun hembusan angin terasa makin kencang dan matahari makin panas. Sambil bersandar di airbag, kami seperti sepasang sosialita di kapal pesiar mewah yang tengah menikmati lautan Labuan Bajo tak berujung.
"Aku kalau di kapal juga biasanya suka ngelihat laut sambil bengong. Tapi kapalku jauh lebih besar, seukuran mall. Jalan dari kamarku ke kantor aja bisa kayak olahraga udahan,"
Aku tergelak.

Bang Deni temanku yang bermulut tajam ini memang sudah sangat khatam dengan kehidupan di kapal, wajahnya tampak terlalu santai dengan deburan ombak yang menggoyangkan kapal. Berbeda denganku yang hanya punya pengalaman terlama selama tiga jam di atas laut saat menyeberang Pelabuhan Kalianget ke Gili Labak di Madura, sailing trip di Labuan Bajo ini membuatku benar-benar seperti Pi (Suraj Sharma) di film LIFE OF PI (2012).
"Nih, pesenanmu. Heran, orang-orang pada suka ke tempat itu padahal cuma kumpulan batu. Literally, batu doang!"
batu magnet Stonehenge
batu magnet Stonehenge dari bang Deni, semoga bisa ke tempat aslinya yak!
Aku tersenyum lebar sambil menerima magnet berbentuk miniatur Stonehenge dari bang Deni. Sejak kami saling terkejut karena ternyata ada di trip yang sama, aku memang meminta oleh-oleh dari Eropa saat kita bertemu di Labuan Bajo.

Puas melihat pemandangan di geladak atas, aku turun ke dek utama. Rekan-rekanku sudah banyak yang tergeletak di depan anjungan kapten karena memang ada beberapa kasur lipat di sana.
"Kalau mau pake air tawar, nyalain shower di atas. Air yang diember itu air laut,"
Koimba tertawa saat aku mengeluh padanya usai buang air kecil di toilet, karena airnya lengket. Beruntung pisang goreng keju dan segelas jus mangga yang dibawakan kak Maria dan chef kapal mampu membuat mood kembali normal usai salah basuh saat buang air dengan air asin.

Aku tak tahu entah karena terlambat sarapan atau memang doyan makan, aku menghabiskan sendiri sekitar empat hingga lima pisang goreng padahal aku sudah makan siang dengan lahap sebelumnya.

Setelah cukup kenyang, aku kembali ke kasur lipatku. Kulihat mbak Triyani di sebelahku sudah tertidur dan Koimba di belakangku, masih asyik di depan ponsel yang menyebalkan sekali penuh sinyal Telkomsel. Aku mengutuk XL yang sudah hilang sinyal sejak dua jam lalu.
pemandangan dari tempat tidurku di dek utama
pemandangan dari tempat tidurku di dek utama © Arai Amelya
Tak terasa hampir tiga jam berlalu dan perairan yang dilintasi kapal kami sudah semakin membiru, menandakan sangat dalam. Entah Laut Sawu, Selat Lintah, Laut Flores atau Selat Sape yang kami lewati, yang pasti ini adalah perairan di mana arus Samudera Pasifik dan Samudera Hindia bertemu.

Perlahan, mataku yang sedari tadi mengamati pulau yang silih berganti dan deburan air laut, semakin lelah. Akupun terlelap di atas samudera.

Menikmati Waktu Jadi Suku Bajo Saat Gelap Terang

pemandangan sunrise di dekat Pulau Komodo
pemandangan sunrise di dekat Pulau Komodo © Arai Amelya
"Heran semua bisa pada tidur, aku sama sekali nggak bisa. Bingung masukin kamera sama laptop ke dry bag, takut, ombaknya gede semalem,"
Aku tertawa mendengar cerita Koimba saat kami sarapan, karena belio tidak bisa tidur semalaman.

Tanpa kuketahui, ternyata sang kapten memutuskan melanjutkan perjalanan dari Padar ke Komodo saat dini hari. Menurut cerita Koimba, kapal kami berjalan dalam kegelapan membelah samudera dan ombak yang cukup besar sehingga membuatnya tak nyaman. Barulah sekitar pukul setengah empat pagi, kapal bersandar di dekat dermaga Pulau Komodo dan menghentikan mesinnya.

Kalau kalian bertanya padaku, apakah aku merasakan ombak yang membuat kapal terombang-ambing cukup keras?

Ya, aku merasakannya.

Aku bahkan bisa merasakan angin laut yang berhembus sangat kencang semalam. Meskipun ada kabin-kabin kamar, setengah dari kami memang memilih tidur di anjungan dek utama.

Bahkan kak Puji terlelap di salah satu bangku di belakang haluan, yang kurasa angin berhembus jauh lebih tanpa ampun. Namun dia tampaknya jauh lebih terlelap. Ternyata kak Puji sempat tidur di salah satu kabin kamar semalam, sebelum akhirnya memutuskan keluar dengan alasan takut tenggelam jika kapal kecelakaan, karena air laut masuk ke kabin yang terletak di bawah dek utama.

Melihat mayoritas penumpangnya enggan tidur di kabin kamar yang sudah ber-AC, kapten dan crew kapal lain akhirnya memasang layar penutup di sekeliling dek utama. Namun karena angin laut di malam hari yang cukup kencang, aku memilih membungkus tubuhku dengan selimut.

Semalam, kami memang tampak begitu lelah.

Setelah flight dari Jawa dan langsung naik kapal selama lebih dari empat jam, kemudian mendaki Pulau Padar, mayoritas dari kami langsung terlelap di malam hari. Padahal hingga tengah malam, kapal kami masih bersandar di sekitar perairan Padar sehingga suasana lebih tenang. Namun usai makan malam dengan seafood yang lezat, kami bersembilan hanya bermain undian untuk mendapat hadiah oleh-oleh yang dibawa mbak Rai dari Nepal.
oleh-oleh dari Nepal
oleh-oleh mbak Rai dari Nepal © Arai Amelya
Ya, beberapa hari sebelum sailing trip Labuan Bajo ini, mbak Rai memang baru saja melakukan pendakian ke Annapurna, salah satu puncak Everest di Nepal sana. Beruntung, aku mendapat satu set permainan kartu bergambar bocah-bocah Nepal, meskipun cukup iri dengan kak Puji yang mendapatkan kaos Nepal.
"Kalau mau foto bagus bisa di buritan atau dek atas sana. Agak sulit sih kalau mau pakai tripod, tapi fotografer kan kudu kreatif. Kita belum bisa ke dermaga, soalnya Pulau Komodo belum buka operasionalnya,"
Aku melirik mbak Rai yang sudah siap dengan dua kamera seharga kendaraan bermotor miliknya, bersiap berburu sunrise pagi ini. Selain mbak Rai, sudah ada kak Nana dan Mamita, dua sahabat heboh asal Bekasi yang ajaibnya di pukul setengah enam pagi itu sudah mandi dan berdandan cantik. Sangat berbeda dariku yang masih wajah bantal.

Sama seperti mbak Rai dan kak Nana, Koimba juga sudah menenteng si kuning kamera Nikon Z6 kesayangannya, siap mencari sunrise di bagian buritan kapal. Sayang mbak Triyani yang juga seorang fotografer memilih kembali lelap karena belio lebih suka memotret landscape dengan tripod.

Karena suasana buritan terlalu ramai, aku memilih naik ke dek atas. Ada bang Deni yang masih sama-sama berwajah bantal menyapaku, sedangkan bang Suhud terdengar mendengkur di kabin kamar.
matahari terbit di dermaga Pulau Komodo
matahari terbit di dermaga Pulau Komodo © Arai Amelya
Sebagai orang yang lebih sering mengamati sunrise di puncak gunung, menanti bagaimana semburat jingga matahari mengoyak langit malam saat fajar di tepi laut, tentu pemandangan yang syahdu. Tak salah memang kalau momen terindah itu adalah sesaat setelah gelap terangkat. Meskipun kameraku tidak semantap rekan trip lainku yang para fotografer, aku cukup bangga dengan hasilnya.
"Arai, fotoin bentar dong, bisa kan?"
Aku menoleh, ada kak Iva yang sudah menyusul ke dek atas, sudah tampak cantik dan segar karena mandi.
"Kok bisa sih pada mandi pagi, mandi itu aturannya habis sarapan dong," 
Ujarku yang langsung disembur tak setuju oleh bang Deni, seperti biasanya.

Cukup lama aku di dek atas, bahkan sampai mendapat sesi tutorial foto secara gratis dari mbak Rai. Hingga akhirnya kami bergantian turun dan kembali ke dek utama, saat kak Maria dan anak buah kapal mulai menata sarapan kami.
berburu foto sunrise di Pulau Komodo
Koimba dan Kak Nana saling berburu foto sunrise di Pulau Komodo © Arai Amelya
Berlatar perairan pulau Komodo yang luar biasa tenang, sarapanku pagi itu mungkin salah satu yang terindah, selain berbagai sarapanku di gunung. Kulahap nasi goreng dan omelet yang disediakan sambil memandang matahari perlahan muncul di sebelah timur, menerangi Komodo, pulau terbesar yang berada di gugusan Kabupaten Manggarai Barat ini.

Aah, mungkin seperti inilah kiranya orang-orang Bajo menghabiskan hari mereka setiap harinya. Memandang perairan tanpa batas yang begitu mempesona dan juga misterius.

Kalian tentu tahu dengan kaum nomaden laut yang menjadi inspirasi James Cameron untuk klan Metkayina dari suku bangsa fiksi Na'vi di dua installment AVATAR (2009) dan AVATAR: THE WAY OF WATER (2022), itu bukan? Sama seperti Ronal (Kate Winslet) dan Tonowari (Cliff Curtis) yang bisa bertahan belasan menit di dalam air tanpa alat bantu oksigen, suku Bajo pun demikian.

Bahkan nama Labuan Bajo sendiri diambil dari suku Bajo yang menurut cerita melintasi Laut Flores dari bumi Celebes hingga akhirnya tiba di Nusa Tenggara Timur.

Ternyata memejamkan dan membuka mata di atas laut, sama sekali tidak buruk.

24 Jam Tanpa Mabuk Laut yang Tak Terlupa

melaju meninggalkan Pulau Komodo
kapal kami melaju meninggalkan Pulau Komodo © Arai Amelya
"Lengket banget sih ya, sampe hotel nanti bakal langsung mandi sih ini,"
Aku setuju dengan ucapan kak Ira, karena meskipun ada dua kamar mandi di kapal, air tawar yang bisa kami pakai memang cukup terbatas. Mungkin kalau ada keluhan selama sailing trip Komodo ini, keberadaan air tawar adalah satu-satunya masalahku.

Kondisi cuaca yang makin gerah usai kami mampir ke Pulau Komodo juga membuat tubuh makin lengket. Sekitar pukul sepuluh WITA, kapal kami sudah melaju menuju area pink beach, sebelum kembali ke Labuan Bajo pada sore hari nanti. Tanpa terasa, sudah 24 jam lamanya aku hidup di atas kapal dengan pemandangan laut sepenuhnya.

Ini adalah waktu terlamaku hidup di atas kapal laut.

Mengisi waktu siang, kami ber-12 sudah menumpuk di area dek utama. Tak lain karena bang Suhud yang melakukan sesi ramalan gratis menggunakan tarot. Setahuku ada kak Iva, kak Ira dan Koimba yang diramal. Entah bualan semata atau memang pandai membaca karakter orang, narasi ramalan bang Suhud ditanggapi masuk akal oleh para kliennya.

"Imba ini bahaya. Dia sering menempatkan dirinya sebagai korban dalam hubungan, tapi punya banyak cadangan. Tobat, Imba. Mau nikah kan tahun depan?"

Kami semua tergelak, tapi tawa paling kencang keluar dari Koimba. Tak perlu jadi cenayang, aku tahu kalau ucapan bang Suhud benar adanya. Koimba memang sedang merencanakan pernikahan di tahun 2023 ini dengan mantan gebetannya saat sekolah dulu.

Keseruan kami terpecah saat kak Maria yang lagi-lagi datang membawa masakan dari dapur kapal. Setelah menu seafood sejak kemarin, makan terakhir kami di atas kapal berlauk ayam. Tak butuh waktu lama, kami yang habis bermain di pink beach langsung melahapnya, padahal aku sempat menyantap popmi goreng di tepi pantai.

Kulirik jam di tanganku, pukul setengah dua WITA. Setidaknya masih dua jam lagi sebelum sampai di Labuan Bajo.

Berada di laut, pemandangan indah samudera dan pulau dalam kondisi perut kenyang, rasa kantuk menguasaiku. Kulihat Koimba di dekat kakiku sudah siap rebahan, sementara mbak Tri dan kak Iva di samping kami sudah terlelap entah ke mana.
kondisi dek utama kapal kami
kondisi dek utama kapal kami © Arai Amelya
"Tidur aja dulu. Nanti kalau sempet kita mampir ke Pulau Kelor, gue mau nerbangin drone bentar. Baru kita ke hotel dan sunset di Bukit Sylvia,"
Aku menoleh, tampaknya mbak Rai tahu betul aku yang sedang bengong sambil terkantuk-kantuk menatap laut.

Tak butuh waktu lama, aku sudah berada di alam mimpi. Terombang-ambing di kapal pecah seperti Pi, tapi dengan komodo.

Seperti biasanya, matahari usai tengah hari memang bersinar dekat dengan wajah kita, seperti itulah aku terbangun. Semua orang asyik dengan camilannya sambil lagi-lagi mengerubuti bang Suhud yang melakukan sesi ramalan cinta. Aku ingin mencoba diramal, tapi aku cemas nanti tidak berjodoh dengan Song Joong Ki.
"Tuh udah keliatan Labuan Bajo, tapi mumpung brenti bentar di Kelor, aku juga mau nerbangin drone kayak mbak Rai,"
Pemandangan Labuan Bajo dari lautan
Pemandangan Labuan Bajo dari lautan © Arai Amelya
Aku mengangguk mendengar penjelasan Koimba sambil menatap siluet Labuan Bajo yang semakin jelas di depan. Waktuku di atas laut akan segera berakhir. Perlahan suara mesin kapal mulai teredam, tanda siap mengapung sejenak di perairan Pulau Kelor.

Kulihat Koimba tampak cekatan mengeluarkan drone DJI miliknya dari tas. Aku ingat drone itu sudah menemani kami saat menjelajah Bromo, Batu, hingga Lumajang sekitar enam bulan lalu. Semakin membuat hasrat ingin memiliki drone beranjak naik, tapi anjlok lagi saat mengetahui harganya.
"Aaa! Coba lihatin dong yang di bawah, ada drone jatuh nggak?"
Teriakan mbak Rai dari dek atas mengagetkan kami semua, yang langsung berlari ke area haluan kapal. Mata kami bersepuluh langsung menatap perairan, menemukan mesin drone terapung yang tak terlihat sama sekali. Bisa dipastikan, pesawat tanpa awak itu sudah tenggelam ke dasar laut.

Mbak Rai tampak lemas saat turun dari dek atas bersama bang Deni. Menyadari kalau baru saja melakukan sedekah laut Labuan Bajo lewat drone seharga sekitar tujuh juta Rupiah itu.

Tak ingin mengalami kejadian serupa, Koimba memasukkan kembali drone miliknya yang siap terbang. Aku sedikit tergelak.
"Yah, ngelarung drone deh gue, bakal dicariin tuh sama anak entar. Yaudah deh, nggak mungkin juga terjun ke laut karena pasti drone-nya udah rusak kena air asin. Cuma sayang memori card-nya aja, belum dipindah tuh file-nya,"
Aku mengangguk sambil menatap mbak Rai yang merapikan sisa perlengkapan drone miliknya. Meskipun tampak kehilangan, mbak Rai masih bisa bercanda. Tentu berbeda denganku yang mungkin akan menangis seperti kehilangan negara, saat drone jatuh ke laut.

Mesin kapal pun kembali dinyalakan, sang kapten melajukan kapal kayu kami ke Dermaga Biru. Saat makin dekat dengan Labuan Bajo, gerimis kecil pun turun. Kulihat beberapa daratan di pulau yang kami lewati tadi, sudah diselimuti mendung gelap.
"Untung banget sih kakak semua nggak dapat hujan kemarin dan hari ini pas sailing. Padahal lusa sebelumnya di Labuan Bajo ini hujan deres, lho,"
Kami semua tersenyum bangga, lengkap dengan kelakar berkah anak soleh mendengar penjelasan kak Maria.

Ya, Tuhan tampaknya ingin memamerkan Labuan Bajo miliknya dalam kondisi cuaca terbaik. Akupun dalam hati berjanji, semoga lain waktu bisa berkunjung ke Pulau Rinca dan Kanawa yang termahsyur itu.
peserta sailing trip Komodo
aku dan para bestie sailing trip Komodo © Imba Jaya

Author

Arai Amelya

I'm a driver, never passenger in life

  1. omaigod baca ini jadi kangen Bajo dan Flores, sumpahh keren banget Flores.
    Apalagi Waerebo ya, meskipun tracking sekian jam tapi worth it banget
    seru banget kalau rame rame gini ya, dapet temen baru juga.

    BalasHapus
  2. Kok jadi ngiri banget ya... Asyik banget bisa traveling bareng teman sambil bikin bikin konten di lautan lepas. Pingin banget bisa gitu tapi takut mabuk laut

    BalasHapus
  3. seru banget Kak wisata Labuan Bajonya, perginya bareng teman-teman yang udah saling kenal ya meski ada yang baru juga ya.
    asyik banget bisa fefotoan melihat indahnya sunrise di atas kapal, jadi ingat 2007 lalu ikut Pelayaran Kebangsaan, 10 malam di kapal menuju Atambua, hingga finish di Surabaya. Sempat melewati selat Bali juga dan emang itu ombaknya aduuhaaii bikin mabok sebagian peserta.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kereen kak Diah udah ke Atambua aja, aku pengen juga tuh ke Kupang terus ke arah timur sampe Timor Leste sama ngelanjutin Ende, Maumere, Larantuka hahaha

      Hapus
  4. Cakep banget perjalanan kak Arai ke Labuan Bajo.
    Rasanya kuat banget staminanya euuii.. Penuh semangat apalagi bebikinan konten di atas laut. Tapi kalau ada temennya banyak begini sih seru-seru aja ya..

    Sesampainya di darat apa masih kerasa efek goyang-goyang kapal gitu?

    BalasHapus
  5. Jadi kangen liburan nih. Pemandangan Labuan Bajo cantik banget. Jadi pengin ke sana.

    BalasHapus
  6. Masya Allah.. kerennya Labuan Bajo, dan saya pengin sekali ke sana, Mbak. Semoga bisa terlaksana. Aamiin.
    Dan keren sekali perjalanan liburannya ya, Mbak. Pengalaman naik kapal menyusuri pulau-pulau itu juga keren. Terus walau lagi banyak turun hujan di daerah lain, Labuan Bajo tetap cerah ceria ya, Mbak. Makanya awan putih dan langit birunya dapat banget.

    BalasHapus
  7. seru bangeet mba, btw aku dulu nginap 30 hari loh di kapal.. dan emang airnya itu ga enak buat mandi hahah di kulit rasanya keriing gimanaa gitu. beda ama air tawar..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huwaa mba Nabila 30 hari? Bentukannya gimana tuh mwkwkkw. Kalau aku emang ngga terlalu suka laut sih, mending ke gunung aja deh kemana-mana. Jadinya ini hampir dua hari di laut, udah kangen daratan. Alhamdulillah kemarin di Bajo nggak mabok

      Hapus
  8. Daku dari Labuan Bajo baru sampai Pulau Rinca aja kak. Itu aja pas mau pipis di toilet kapal deg-degan dengan posisi kapalnya dan airnya yang terbatas. Jadinya gak jadi, nunggu sampe Pulau Rinca dulu baru cari toilet wkwkwk

    BalasHapus
  9. Jadi kepikiran kok bisa ya James Cameron Memilih Suku bajo buat jadi inspirasi film avatar terbaru. Keren banget euy semoga nanti bisa ke sana

    BalasHapus
  10. Ya ampyun mba aku mencoba menghayati dan membayangkan labuan bajo. Belum pernah kesana senoga bisa kesana.

    Ya Allah mba aku ikut nyesek drone tmnnya jatuh tenggelam 😭😭
    (Gusti yeni)

    BalasHapus
  11. Seru banget wisata ke Labuan Bajo. Aku pun ketagihan naik kapal laut nih walopun kemarin gak begitu jauh travelingnya. Semoga nanti bisa nyusul ke Labuan Bajo.

    BalasHapus
  12. kwkwkwkw enak banget apalagi kalo sama pujaan hati yaa >.<
    Sambil berburu sunset

    BalasHapus
  13. Wah baca ini bikin ngiler pingin segera liburan lagi. Apalagi liburan kemarin aku bener2 cuma rebahan ama nonton pilem doang. Haha...

    BalasHapus
  14. seruuu banget sih! pengen ngerasain sailing trippp bajo! epik banget yaa pas perjalanan dini hari membelah samudera, tidur di dek sambil liatin bintang-bintang ~

    BalasHapus
  15. duh makin mupeng bgt pengen liburan ke labuan baju, salah satu destinasi jalan2 impian aku banget nih, kuy lah semangat nyisihin uang buat travelling ya ges ya

    BalasHapus
  16. Wah pengalaman yang asyik banget bisa Sailing Komodo apalagi ramai-ramai. Tapi aku ga bisa bayangin 24 jam di kapal tanpa persediaan air tawar yang memadai tuh pasti gelisah yaa.
    Angin laut apakah tidak bikin masuk angin mba?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ajaibnya sih enggak masuk angin mbak, aku kayaknya lebih cocok kerja di air daripada di darat hahaha. Ini naik mobil bentar dua jam udah mual dan mabok mwkkwkwwk

      Hapus
  17. Wah keren banget Kak Arai udah melakukan trip ke Labuan Bajo yang pemandangannya aduhai banget, pasti jadi pengalaman yang berkesan sekali ya. Well semoga nanti bisa balik lagi ke sana dan sempetin mampir ke Pulau Rinca dan Kanawa

    BalasHapus